Jumat, Maret 29, 2024

Pertanyaan Abadi Manusia: Sampai Kapan Aku Hidup di Dunia? (4-habis)

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

KAMI memang belum saling mengenal dekat. Ia hanya menyebut dirinya suka jazz dan aku menyahut, ”Yuk, kita bikin Jazz Sufi!” Namun, November 2017 ia mengejutkanku. Laki-laki berkepala plontos dan berkacamata itu, yang tak pernah melepas senyum dari bibirnya, wafat. Widyasena Sumadio, nama temanku itu. Teman baruku. Sosok yang ternyata sudah menjadi orang lama bagi umat jazz di Indonesia. Di akhir hayatnya, Widyasena berkhidmat pada Nahdlatul Ulama. Ia menjadi salah satu pengurus di Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia di pengurus besar.

Dalam beberapa kali perjumpaan, di antaranya di kantor kami di Jalan Kramat Raya No 164, Jakarta Pusat, lantai 8, Mas Wid—demikian kusapa ia—menunjukkan pribadi yang asyik dan memiliki visi jauh ke depan. Lebih dari itu, ia terlihat sehat-sehat saja. Tiada dinyana, ia tak lama di dunia. Bagiku, hidup menjadi semakin misterius saja. Lantaran bergelut dengan kesibukan di dunia masing-masing, kami tak banyak bertemu. Tentu aku menyesal belum terlalu kenal dekat dengan Mas Wid, tapi Allah sudah punya janji dengannya yang tak bisa diurungkan siapa pun.

Beberapa bulan sebelumnya, sekira Juli di tahun yang sama, teman jauhku nun di Balikpapan, Kalimantan Timur, Arif R. Rachman, juga meninggal dunia di usia relatif muda, 44 tahun. Ia bekerja di sebuah surat kabar di sana. Kami sekali bertemu, kemudian berteman dari jauh dan saling mendukung. Juga di bulan yang sama, fotografer Kristupa Saragih, yang lewat linimasa bisa dilihat betapa sibuk ia keliling daerah, bahkan dunia, untuk mengabadikan momen-momen unik dengan kamera, meninggal dunia. Kepergian pendiri FotograferNet ini di usia 40 tahun terasa terlalu cepat.

Ketiga temanku itu para pejuang di dunia masing-masing dan pahlawan di keluarganya. Alangkah waktu terlalu ringkas dan umur terlampau singkat untuk menampung cita-cita dan asa. Sepanjang tahun 2017, nama-nama besar berpulang. Sebut saja, antara lain, KH Hasyim, AM Fatwa, Djohan Effendi, Bondan Winarno, Umar Anggara Jenie, Eko DJ dan Bambang Gentolet Srimulat, Cahyono Jayakarta Group, Leo Kristi, Jupe, dan Laila Sari. Pada awal tahun 2018, Yon Koeswoyo dan Sys NS pun pergi selamanya. Kita menunduk, murung, beberapa saat.

Tentu saja kepergian mereka adalah kehilangan besar bagi kita. Belum lagi jika ditambah kabar duka dari keluarga, kerabat, saudara, tetangga, teman dekat, dan kolega. Kehadiran mereka tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Tapi, berapa lama kematian bisa mengingatkan kita betapa kehidupan di dunia ini fana? Kita seperti tak punya waktu lama, atau tak menyediakan waktu yang cukup, untuk menunduk lebih dalam pada rasa kehilangan. Daftar kesibukan kita terlalu panjang, sementara itu rentang waktu terlalu pendek. Kita terjebak di dalamnya.

Banyak orang yang berjasa dalam hidup kita, namun tak banyak waktu kita untuk mengenangnya sejak jasad beliau-beliau dikebumikan. Padahal, mereka mendarmabaktikan sepanjang hidupnya untuk kita. Untuk mengajar, mendidik, menemani, mempengaruhi, menghibur, dan menumbuhkan, kita. Ya, kita. Nama-nama besar yang kusebut di atas, ya, kita tumbuh bersama dan karena mereka. Kita anak zaman, dan mereka penanda zaman kita. Mereka wafat di masa peralihan sehingga kehilangan momentum untuk sekadar berlama-lama kita bahas kebaikannya.

Besok pagi, bahkan tidak sampai besok pagi, kita sudah punya tema baru—dan banyak stok—untuk diramaikan. Mereka, dari A.M. Fatwa hingga Sys NS, gugur dalam sunyi sebagai pahlawan yang seperti tanpa jejak, kecuali hanya berita sekali dua kali tayang. Alangkah kita kurang berterimakasih. Padahal, kita belum tentu bisa sebesar mereka dalam memberi manfaat pada hidup dan kehidupan. Srimulat pernah selalu berhasil membuat penonton terbahak-bahak, meski lawakannya diulang berkali-kali, tapi lihatlah kini betapa kita semakin tak mempunyai tawa canda.

Hidup menjadi semakin kerontang karena perebutan air di mana-mana, dari mulai air got sampai air bah. Tak mudah lagi saling ejek seperti dulu, yang menunjukkan keakraban. Kini, kita merasa tiba-tiba tak mengenal kawan lama gara-gara berseberangan pilihan politik dan aliran agama. Saling ejek sekarang ini benar-benar saling ejek, membongkar aib orang, menjatuhkan kehormatan orang, mempermalukan orang, seperti dirinya sendirilah yang paling manusia di antara orang-orang. Debat hukum dan politik pun semakin nyata saja kehilangan marwahnya.

Orang-orang berebut mikrofon, berebut kamera. Berebut perhatian, berebut kekuasaan. Seolah-olah hari ini akan selama-lamanya dan besok adalah keabadian berikutnya. Padahal, tanpa harus menunggu kiamat datang, besar kemungkinan kita sudah lebih dulu dijumpai ajal. Wallahu a’lam bishawab. Sampai kapan kita akan hidup seperti ini? Kapankah kira-kira memikirkan diri kita sendiri dapat diartikan memikirkan nasib kita sendiri kelak di akhirat? Jika memang kehidupan di dunia ini kekal, siapakah yang bisa menunjukkan apa yang jadi tanda-tanda kekekalannya?

Orang-orang datang dan pergi. Ada yang lahir, ada yang mati. Kematian hanya soal giliran. Dan antrian ternyata tidak berdasarkan bilangan usia. Entah bagaimana dulu kau mengambil nomor urutmu. Lebih dulu mana antara kau dan aku? Di majelis-majelis pengajian bahkan, ketika aku dimandati bertutur seperlunya, aku menanyakan tentang kematian pada jamaah. “Siapa yang mencintai Allah?” Semua mengacung. Siapa yang mencintai Rasulullah?” Semua mengacung. “Siapa mau masuk surga?” Semua mengacung. “Siapa mau berangkat sekarang?” Bengong.

Tak ada yang benar-benar siap untuk mati, meski ia seorang yang teramat beriman. Sebab, semakin beriman seseorang, semakin ia menyadari tak punya bekal yang cukup untuk dibawa ke hadiratNya. Namun, percaya atau tidak, suka atau tidak, rela atau tidak, dan siap atau tidak, setiap yang berjiwa akan mengalami kematian. Dan, tak ada adegan ulang untuk pengalaman akhir hidup ini. Kematian adalah batas kita berkehidupan di dunia ini. Lantas, apa yang telah kita persiapkan untuk kehidupan selanjutnya? Benci dan dengki? Atau kasih dan sayang?

Kolom terkait:

Pertanyaan Abadi Manusia: Bagaimana Seharusnya Aku Hidup di Dunia? (3)

Rumus Allah untuk Bahagia: Bersyukur dan Berbagi 

Kaleidoskop Diri: Bertahan Hidup di Dunia Gerlap yang Gelap

Bahkan untuk MenyembahNya, Hamba Perlu Pertolongan Tuhan

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.