Jumat, April 26, 2024

Pertanyaan Abadi Manusia: Bagaimana Seharusnya Aku Hidup di Dunia? (3)

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

SEORANG wartawati bertanya padaku, ”Bagaimana cara menjadi penulis yang cepat terkenal?” Kujawab, ”Jika ingin cepat terkenal, ada cara yang lebih cepat: jadilah youtuber.” Sebab, lebih lanjut kukatakan, tujuan menulis bukan untuk menjadi terkenal, melainkan lebih untuk menyampaikan gagasan. Kalau hendak memakai kata-kata Pramoedya Ananta Toer, maka menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan, abadi itu bukan soal cepat, tapi soal proses. Soal bagaimana menempuhnya, bertahan dalam kondisi bagaimanapun, setia berjuang, dan bahkan siap gagal.

Lalu, di lain kesempatan, Fahmi Ilman, santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Kota Malang, mengirim pesan singkat. Dia meminta masukan padaku atas persoalan yang dialami. “Saya kesulitan menulis novel,” tulis laki-laki dari Jember itu. Demi memberi apa yang ia minta, kujawab, ”Tulis cerpen. Dan, berlatihlah menulis yang lain-lain juga, sebelum menulis novel.” Tentu saja, aku tidak sedang berkata bahwa menulis cerpen lebih mudah daripada menulis novel. Masing-masing memiliki tingkat kesulitan yang khas.

Aku hanya berharap Fahmi belajar mengolah stamina menulis dulu. Tidak tergesa-gesa merasa harus menulis novel. Ia mengawali karir menulis dari puisi, bahkan telah melahirkan dua buku puisi dalam kurun setahun, jika aku tak salah ingat. Secara semangat, bagus. Secara stamina, harus diolah. Saran yang sama juga kusampaikan kepada Zulaikha, santriwati Pesantren Lirboyo, yang tertunda penerbitan buku puisinya. Bagiku, puisi justru yang paling sulit dituliskan. Sebab, menulis puisi bukan cuma merangkai kata, namun menuruni lembah-lembah diri.

Menulis memang salah satu medium mengenal diri sendiri. Tidak selalu harus dengan menulis karya. Imam Ghazali menulis hal-hal yang telah dan batal atau gagal dilakukannya sepanjang hari sebelum berangkat tidur malam. Juga menulis rencana untuk esok hari. Aku suka melihat siapa pun yang gemar mencatat, memberi rincian pada hal-hal yang ia cermati, dan merenungkannya. Ingin belajar mengenal dirimu sendiri? Bisa. Tulislah sepuluh kesenanganmu sesuai urutan. Sudah? Coba susun ulang. Siapa tahu yang di nomor satu seharusnya di nomor empat, misalnya.

Aku yakin, menulis kesenangan kita sendiri tentu mudah. Tapi, nanti dulu. Siapa tahu susah. Apalagi ternyata jika kita harus menyusun ulang urutannya. Jangan-jangan, setelah berpikir ulang, sesuatu yang kita senangi ternyata bukan sesuatu yang paling kita senangi. Jangan-jangan, kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan atas kemauan kita sendiri, melainkan atas dorongan —bahkan paksaan—dari pihak lain. Nah, siapa pun di mana pun kapan pun boleh memberi pengaruh, tapi kitalah yang memutuskan untuk menerima atau menolak pengaruh itu.

Sudah? Lanjut dengan menuliskan sepuluh kebaikanmu. Kemudian susun ulang. Ini tentu mudah. Kita paling pintar jika diminta mengungkit-ungkit kebaikan kita, bukan? Jangan-jangan, jika dibatasi hanya sepuluh, tak akan cukup. Tapi, coba setelah itu tulislah sepuluh keburukanmu. Susah? Pasti. Susun ulang. Lalu, tulislah sepuluh juga kelebihan dan susun ulang setelahnya. Tentu, tahu bedanya antara kebaikan dan kelebihan, ya. Yang sama, dua-duanya sama-sama kita sukai jika disebut-sebut melulu. Sebagai penutup, tulislah sepuluh kekuranganmu.

Menulis dalam sepuluh urutan, lantas menyusun ulang, membacanya, dan membacanya lagi, kita bisa belajar lebih tentang diri sendiri dari kesenangan, kebaikan, keburukan, kelebihan, dan kekurangan sendiri. Becermin, mawas diri, introspeksi. Alangkah memalukan jika kesenanganku yang paling utama ternyata mencela orang lain, misalnya. Merasa diri lebih baik dan benar, tapi bukannya memperbaiki lingkungan, justru memperkeruhnya dengan olok-olok dan umpatan. Seburuk itukah kita? Dengan menulis hal-hal di atas, kita dapat belajar jujur pada diri sendiri.

Sering kita bertanya pada diri sendiri, ”Bagaimana aku harus melewati hari demi hari dalam hidup?” Jika berkenan mencontoh Rasulullah Muhammad SAW, niscaya jawabannya adalah hidup dengan jujur. Yang perlu kita ingat, putra Abdullah ini mulai meniti hidup dengan berdagang. Ia menempa diri untuk jujur dan terus-menerus jujur sampai pada akhirnya dimandati gelar Al-Amin atau Yang Tepercaya. Jika bahkan pada dirimu sendiri saja kau tidak jujur, masih bisakah kau percaya pada dirimu sendiri? Jika kau saja tidak, siapa yang akan percaya padamu?

Tapi, jangan tanyakan itu pada Danny Setiawan. Meski berambut gimbal, yang bahkan lebih menyeramkan dibanding Buto Rambut Geni, anggota raksasa begundal dalam lakon pewayangan, Danny tidak hanya dipercaya orang-orang. Ia bahkan dicintai, terutama oleh anak-anak. Walau jika tersenyum tampaklah merah gusinya yang nyaris tanpa gigi lagi, Danny percaya diri dan percaya pada dirinya sendiri lantaran ia selalu jujur dan berusaha tetap jujur pada dirinya sendiri dan orang lain. Dari sebuah gardu pos ronda yang tidak lagi dipakai, ia membangun rumah baca.

Pada mulanya, Danny mengira mendaki gunung ialah hal yang paling ia senangi. Sejak remaja, ia suka menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Lawu. Seiring waktu, ia menemukan jawaban yang lebih tepat tentang apa yang ia senangi, yaitu berorganisasi. Hingga pada akhirnya, Danny punya satu kesimpulan: ternyata yang paling ia senangi adalah memberi manfaat. Sampai-sampai, ini mungkin buruknya, ia tak punya apa-apa lagi karena telah ia berikan segala yang ia bisa berikan pada yang membutuhkan. Danny cuma mengambil sedikit untuk dirinya sendiri.

Pengalaman menempuh pendakian dan berorganisasi diolahnya menjadi bekal dalam menjalani hidup dengan sesuatu yang paling disenanginya: memberi. Ia tak memiliki modal apa pun selain sikap hidup jujur. Dengan meyakinkan banyak kalangan, Danny membangun jejaring literasi di Solo dan sekitarnya. Namanya semakin dikenal masyarakat sejak kegiatan di Rumah Baca Teratai di Kampung Sangkrah mendapat publikasi dari media cetak, elektronik, dan online, skala nasional. Danny, menurutku, telah mengetahui bagaimana seharusnya ia menjalankan perannya di dunia.

Empat pilar dari bangunan karakter pada diri Muhammad SAW dapat kita jadikan pilar pula dalam hidup di dunia. Pilar-pilar itu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Shiddiq itu bertindak benar, amanah itu tepercaya, tabligh itu menyampaikan, dan fathanah itu arif bijaksana. Bukan bertindak gegabah, apalagi berbuat salah, bukan pula suka berdusta, apalagi mempergunjingkan keburukan orang lain plus membumbui. Bukan merintangi, apalagi melarang kebaikan dan kebenaran disampaikan, bukan pula picik dan licik, apalagi sampai menghakimi hidup orang lain. (bersambung)

Kolom terkait:

Pertanyaan Abadi Manusia: Untuk Apa Aku Hidup di Dunia? (2)

Rumus Allah untuk Bahagia: Bersyukur dan Berbagi 

Kaleidoskop Diri: Bertahan Hidup di Dunia Gerlap yang Gelap

Bahkan untuk MenyembahNya, Hamba Perlu Pertolongan Tuhan

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.