TATKALA sampai pada pertanyaan di manakah kita saat ini, orang-orang tidak segera menjawab. Mereka terbelah jadi dua. Yang satu berpendapat, kita berada di bumi—yang oleh karena itu manusia ditahbiskan sebagai khalifah fil ardhi. Yang lain berpendapat, sesungguhnya kita berada di dunia—yang oleh karena itu manusia berdoa, ”Rabbanaa aatinaa fi ‘d-dunyaa hasanatan, wa fi ‘l-aakhirati hasanatan, wa qinaa adzaaba ‘n-naar.” Nah, mana yang benar? Berada di bumi, mengapa mohon kebahagiaan di dunia?
Sesungguhnya, apa perbedaan antara bumi dan dunia? Bumi adalah ruang, yang berpasangan dengan langit. Sedangkan dunia adalah waktu, yang berpasangan dengan akhirat. Sehingga, walau berada di dalam ruang, kita ternyata memohon kebahagiaan di dalam waktu. Disebutkan pada Q.S. Al-Ashr, Allah bersumpah demi waktu yang telah senja, betapa manusia dalam kerugian. Dari sini jelas dapat kita pahami bahwa keuntungan dan kerugian berada dalam kandungan waktu, tinggal bagaimana manusia melahirkannya.
Berbicara mengenai ruang, sesungguhnya manusia berada di mana? Di bumi yang berada di garis orbit planet, yang berada di galaksi Bima Sakti, yang berada di Tata Surya, yang berada di Alam Semesta, yang berada di dalam Allah Yang Maha Pengatur Alam Semesta. Jika ditarik lagi, maka manusia berada di titik terdalam dari keberadaan Allah, di ulu paling inti. Memahami ini, Kekasih Allah tidak lagi merasa khawatir dan sedih sebab ia yakin tidak pernah memisah dan terpisah dari Allah Yang Meliputi Segala Sesuatu.
Berbicara tentang waktu, sesungguhnya manusia berada di antara yang mula dan yang kemudian. Kita senantiasa berada dalam naungan waktu yang sekarang. Tak bisa kita bertahan di masa lampau, pun tidak bisa melesat mendahului masa yang akan datang. Bahkan, masa sekarang ini sejatinya masa lalu di masa mendatang. Betapa ringkas waktu bagi manusia. Kita dibatasi oleh usia. Setiap usia bertambah, setiap itu pula waktu berkurang bagi kita. Manusia tak bisa pegang sekarang yang tadi, tak bisa kejar sekarang yang nanti.
Pemetaan ini penting sebelum berdoa, ”Ihdina ‘s-shiraatha ‘l-mustaqiim, mohon tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus.” Harus lebih dulu sadar berada di mana dan kapan. Yakni berada di pusat, kini.
Dalam sejumlah kesempatan, saya telah menulis, ”Aku bukan barat, bukan timur, bukan utara, bukan selatan. Aku tepat berada pada diriku sendiri. Aku penentu segala penjuru.” Sesuatu disebut berada di kanan karena kau berada di kirinya, dan sesuatu disebut berada di depan karena mau berada di belakangnya.
Ya, kita berada di dimensi waktu kini, sekarang, yang seketika berlalu ketika datang. Sedetik sebelumnya, masih nanti. Sedetik kemudian, sudah tadi. Sekarang bahkan lebih cepat dari cepat. Namun demikian, bagi manusia, umur sekarang bisa panjang sepanjang umur manusia itu sendiri: sekarang, sekarang, sekarang, dan seterusnya hingga sekarang yang terakhir, yakni saat ajal tiba menghabisi waktu bagi kita. Masalahnya, bagaimana kita bisa memanfaatkan sekarang yang sekarang? Apa yang harus kita lakukan?
Kita membutuhkan petunjuk yang fokus pada tujuan, yang tidak disorientasi. yang tidak berpaling dari yang paling utama sesungguhnya dituju, yaitu Allah, Rabba ‘l-‘Aalamiin. Di setiap jalan dan perjalanan, selalu ada kemungkinan persimpangan dan penyimpangan. Tidak setiap pejalan pula memandang lurus menuju alamat, ada yang suka menoleh, ada yang gemar berubah pandangan. Pejalan, jalan, dan perjalanan membutuhkan tidak sekadar peta, namun juga petunjuk arah, bahkan pengantar yang bersanad dan mumpuni.
Peta dan penunjuk arah inilah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan pengantarnya adalah ulama, wa bi ‘l-khusus yang kita kenal dengan waliyan-mursyidan. Siapa yang menggunakan ketiganya, maka ia akan diantar sampai di depan gerbang kebahagiaan, yaitu kenikmatan. Shiratha ‘l-ladziina an’amta ‘alaiihim, yaitu jalan orang-orang yang Kau beri kenikmatan. Siapa mau menerima karunia Allah dan merasa cukup terhadapnya, kemudian bersyukur, ia akan dibawa dari gerbang kenikmatan menuju istana kebahagiaan.
Q.S. Al-Fatihah ayat 6 kian menegaskan manusia tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Sudah jelas-jelas berada di pusat segala hal, yakni poros ruang dan waktu, manusia masih mengiba petunjuk jalan yang lurus. Semakin jauh seseorang dari pendalaman, pemahaman, pengalaman, dan pengamalan Al-Fatihah, kian dekat ia pada tafsir yang menafikan kenikmatan, seolah jalan yang lurus melulu jalan pada Ilahi. Jalan yang lurus menurut redaksi Allah tidak bicara tentang kebenaran, tapi jalan mereka yang Kau beri kenikmatan.
Oleh karena itu, lagi-lagi, pembacaan Al-Fatihah akan kembali membawa kita ke ayat kedua, yakni Alhamdu li ‘l-laahi rabbi ‘l-‘aalamiin, segala puji bagi Allah, Tuhan Pengatur alam semesta. Sebab, hanya ia yang bersyukur atas nikmat yang akan Allah tambahkan nikmat baginya. Jika nikmat terus bertambah, diterima dan disyukuri, itulah kebahagiaan. Maka, jika ditanya apa itu jalan yang lurus, jawaban atas pertanyaan itu adalah jalan menuju kebahagiaan, yang ditempuh oleh orang-orang yang mensyukuri kenikmatan.
Tanpa petunjuk dari Allah, tiada yang kita temukan selain jalan yang sesat. Dan, tanpa kenikmatan dari Allah, yang kita dapatkan hanya kefakiran. Dan, kefakiran dekat pada kekafiran, yang oleh karena itu akan dimurkai Allah. Pun kesesatan dekat pada kemurkaan Raja Diraja Hari Pembalasan. Na’udzu billahi min dzalik.
Semoga Allah memberi kita petunjuk jalan yang lurus. Yakni jalan orang-orang yang diberiNya kenikmatan, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat, ghairi ‘l-maghduubi ‘alaihim wa la ‘d-dhaalliin. (bersambung)