Betulkah aktivitas dialog antar-agama belakangan mulai meredup? Saya sebenarnya ingin menjawabnya tidak betul. Bukannya meredup, inisiatif yang bertujuan membangun saling pengertian dan respek itu semakin marak dan melampaui batas-batas dialog formal hingga memunculkan kolaborasi dan bahkan persahabatan lintas agama yang genuine. Tapi, kenyataannya, optimisme ini tak didukung oleh bukti-bukti konkret.
Justru di saat dialog lintas agama semakin dibutuhkan sekarang lebih dari sebelumnya, para pemrakarsa dan mereka yang menaruh perhatian terhadap inisiatif tersebut mulai “tergoda” oleh hal-hal lain sehingga wacana dan praksis dialog tidak sesemarak pada masa-masa terdahulu. Tampaknya, aktivitas ini perlu direjuvinasi (disegarkan kembali) karena mengendornya wacana dan praktik dialog lintas agama justru membuka ruang bagi menguatnya ketegangan dan intoleransi.
Tak dapat dimungkiri, menguatnya intoleransi dan kekerasan atas nama agama pada era pasca-reformasi terjadi seiring dengan meredupnya wacana dan praksis dialog agama. Tentu saja keterkaitan keduanya bisa diperdebatkan. Tapi, yang jelas, aktivitas dialog lintas agama di Indonesia kontemporer memang tak sesemarak pada tahun 1990-an. Seperti diketahui, sejumlah pemrakarsanya sudah mulai berguguran, tetapi regenerasi untuk melanjutkan dan merejuvinasinya harus tetap dilakukan dan digalakkan.
Kenapa Perlu Rejuvinasi (Peyegaran Kembali)?
Rejuvinasi dialog lintas agama merupakan kebutuhan kita bersama karena bisa menjadi solusi atas berbagai ketegangan dan intoleransi yang belakangan semakin menguat. Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan tentang pentingnya keterlibatan komunitas-komunitas agama dalam wacana dan praksis dialog, baik secara sosiologis, pragmatis maupun teologis.
Secara sosiologis, dunia saat ini lebih plural dan terpolarisasi. Hal ini tidak berarti bahwa dunia di masa lalu tidak plural, tapi berbagai perkembangan baru modernitas telah menyebabkan pluralitas begitu dekat dengan diri kita sehingga tak mungkin lagi dihindari untuk tidak dibicarakan dan dihadapi. Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, misalnya, telah mengakselarasi perjumpaan dan persinggungan masyarakat dunia.
Saat ini tak ada lagi orang atau kelompok yang hidup terisolasi dari komunitas lain yang punya pandangan keagamaan berbeda. Jika bukan tetangga kita yang menganut agama berbeda, teman anak-anak kita ternyata berbeda agama. Di kantor, teman sejawat kita menganut agama berbeda. Di jalan dan di pasar kita bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari komunitas agama berbeda.
Karena itu, keharusan dialog lintas agama untuk menumbuhkan saling pengertian dan penghargaan antar-komunitas menjadi tak terelakkan. Hans Kung, seorang teolog Katolik asal Swiss, dikenal dengan pernyataannya “tidak akan ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian antar-agama; tak ada perdamaian antar-agama tanpa dialog antar-agama”. Dan untuk mewujudkan dialog lintas agama diperlukan pengetahuan tentang fondasi agama-agama.
Jumlah komunitas agama di dunia sangat fantastis. Lihat, misalnya, berapa jumlah kaum Muslim dan Kristen? Bukankah fakta jumlah mereka sudah cukup untuk mendorong kedua komunitas perlu terlibat dalam dialog Muslim-Kristen? Kristen dan Islam bukan hanya merepresentasikan agama dengan jumlah pengikut terbanyak di dunia, tapi juga merupakan agama yang mengedepankan sudut pandang universalis dan tersebar di seluruh pelosok jagat raya.
Demi kepentingan masyarakat dunia, komunitas berbeda agama harus hidup berdampingan secara damai, saling menghargai, dan menghormati norma-norma sosial. Walaupun berhak atas klaimnya sendiri, mereka juga harus menghormati hak komunitas agama lain, termasuk soal kebebasan beragama dan bentuk-bentuk kebebasan yang lain. Hal itu dibutuhkan untuk menjamin keharmonisan hidup dalam dunia yang plural.
Dan untuk menumbuhkan rasa saling respek tersebut diperlukan pengetahuan yang memadai tentang kultur dan tradisi keagamaan komunitas lain. Pengetahuan tersebut dapat membantu mengatasi prasangka buruk atau ketegangan keagamaan. Maka, jika kita hanya mengetahui satu agama, sesungguhnya kita tak tahu apa-apa. Dan, untuk menjadi religius di atas jagat raya yang plural ini kita perlu menjadi interreligious!
Tantangan dan Arah Masa Depan
Semua agama mengajarkan pentingnya memperhatikan dan mencintai orang-orang di sekitar. Nabi Muhammad, misalnya, disebutkan pernah bersabda, “tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Mencintai Tuhan dan mencintai tetangga merupakan ajaran inti dari agama Kristen.
Al-Qur’an mengakui keberadaan komunitas keagamaan berbeda. Dalam surat al-Ma’idah ayat 48 ditegaskan bahwa “Tuhan menciptakan hukum dan cara berbeda bagi berbagai komunitas yang berbeda. Jika Tuhan menghendaki Dia bisa saja menjadikan manusia sebagai satu komunitas, tapi Dia hendak menguji manusia terkait apa yang Dia wahyukan.” Ide toleransi dan pengakuan terhadap keragaman agama begitu terang-benderang dalam ayat tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai “manifesto” al-Qur’an tentang pluralisme agama.
Tentu saja ada ayat-ayat dalam al-Qur’an dan juga Kitab Suci agama lain yang bisa dipahami sebagai kendala dialog lintas agama. Terutama ayat-ayat yang tampak mengedepankan aspek superioritas atas komunitas agama lain sehingga terkesan membenarkan diskriminasi atas dasar perbedaan agama. Ayat-ayat tersebut dapat mengakibatkan mentalitas tertutup bagi upaya membangun kesetaraan dan sikap saling menghormati antar-komunitas berbeda agama.
Dan dialog tak mungkin—atau setidaknya sulit—dilakukan manakala mentalitas dan pikiran kita tertutup. Jika kita berkeyakinan bahwa hanya kita yang memiliki kebenaran dan orang yang berbeda agama dari kita sepenuhnya salah, maka tak akan dimungkinkan terjadinya pertemuan dan dialog yang otentik.
Memang, untuk terlibat dalam dialog, kita tak seharusnya mengorbankan keyakinan kita. Tetapi keyakinan atas kebenaran agama kita tidak seharusnya menutup adanya kebenaran dalam agama lain. Jika sudut pandang inklusivistik seperti ini tak dimungkinkan, setidaknya kita perlu membuka diri dan pikiran untuk mau belajar tentang agama lain.
Pentingnya belajar tentang agama lain tidak boleh diabaikan sebagai bagian dari upaya rejuvinasi (penyegaran kembali) dialog lintas agama. Tidak sulit untuk berargumen bahwa ketidaktahuan seseorang tentang agama lain, dan tentu juga tentang keluasan agamanya sendiri, kerap menjadi rintangan menuju dialog. Sementara kebodohan tentang agama lain seringkali memicu prasangka buruk, stereotyping, dan bahkan penghinaan, kebodohan tentang agamanya sendiri bisa menyebabkan ketertutupan. Keduanya merupakan hambatan serius dialog lintas agama.
Saya kira arah baru dialog lintas agama harus ditopang oleh orang-orang yang punya komitmen tinggi dalam memajukan dan menggalakkan dialog. Komitmen tinggi saja memang tidak cukup. Mereka perlu qualified secara keilmuan untuk terlibat dalam dialog dengan berbagai bentuk dan dimensinya.
Di sinilah tantangan serius berada. Para pelajar Muslim umumnya masih kurang tertarik untuk mendalami atau mengambil spesialisasi agama-agama lain. Mereka terperangkap dalam kerangka “perbandingan agama”, yang dipahami untuk membuktikan keunggulan agamanya sendiri, sembari mendiskreditkan agama lain. Sejujurnya, saya masih kesulitan untuk menghitung dengan jari jumlah kaum terpelajar Muslim yang di-training dalam kajian Kristen, misalnya.
Untuk merejuvinasi dialog lintas agama, minat studi agama lain perlu didorong. Peran yang bisa dimainkan oleh pakar lintas agama ialah membantu pihak-pihak lain untuk merintis berbagai inisiatif yang diperlukan dan memperkuat struktur yang memungkinkan dialog lintas agama berlangsung secara berkesinambungan. Dalam konteks itu, kita juga perlu meninjau ulang hal-hal yang menyebabkan kemandekan dialog lintas agama saat ini. Penguatan tekad dan reaktulisasi dialog perlu dibarengi dengan paradigma dan etika baru.
Jangan biarkan api wacana dan praksis dialog meredup karena yang dipertaruhkan adalah keberlanjutan hidup damai umat manusia di masa depan.
Baca juga: