Abdus Somad, nama sosok ustadz yang terus berkibar akhir-akhir ini. Sosok ini nyentrik, menarik. Ustadz Somad, nama panggilannya, berani tampil penuh energi di dalam arus kontroversi di sekitarnya. Apa pun yang dikatakan publik, Ustadz Somad bergeming, tetap melaju sesuai dengan kaidah agama yang selalu disampaikannya. Selalu tampil berani dan meyakinkan.
Tapi, akhir-akhir ini ada yang ganjil. Bagi saya, bahkan sangat ganjil. Karena ini terkait dengan korupsi. Dalam video yang tersebar luas di media sosial, Ustadz Somad menyebut istilah sogok syariah. Sungguh berani, karena istilah syariah disandingkan dengan praktik kriminal.
Sogok dan syariah, dua kata yang sangat berbeda. Penggabungan kedua kata itu sangat merusak makna. Menyogok itu jelas bertentangan dengan kaidah syariah. Mana mungkin ada sogok syariah? Sesat pikir yang sangat berbahaya. Simak ini sekilas penjelasannya dalam video tersebut.
“Sogok dibagi menjadi dua. Sogok yang pertama penerimaan guru PNS. Syarat satu, honorer 5 tahun. Syarat dua, ijazah IKIP (guru). Syarat tiga, jumlah IPK 3,7. Ketika dia datang ke Diknas, orang Diknas bilang wani piro? Dia meminta 50 juta. Lalu orang ini bayar 50 juta. Maka dia tidak makan uang haram, kenapa? Karena dia cukup syarat, hanya saja si penerima ini yang zolim,” tegas Ustadz Somad.
Mendidik Korupsi
Pernyataan tersebut sangat jelas, Ustadz Somad tidak tahu sosiologi hukum. Menurut pakar sosiologi hukum, Prof. Satjipto Raharjo, hukum bukan dilihat secara formalitasnya saja, bukan dari batas-batas peraturan hukum, tetapi juga hukum itu adalah keseharian perilaku masyarakat. Jangan sampai hukum kehilangan ruhnya dari kehidupan sosial kemasyarakatan.
Ini sama dengan gagasan Kiai Sahal Mahfudh, Rais Aam NU 1999-2014, yang mengusung gagasan fiqh sosial. Bagi Kiai Sahal, hukum dalam fiqh selalu terkait dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Fiqh bukan bagian lain dari masyarakat, karena fiqh lahir dari masyarakat.
Di sini sangat jelas, apa yang disampaikan Ustadz Somad tidak mengamati apa yang terjadi di masyarakat. Logika hukum yang dipakai Ustadz Somad sangat menyesatkan, karena menghalalkan sogok. Selain bertentangan dengan kaidah Islam, ini juga bertentangan dengan sosiologi hukum. Ustadz Somad justru mendidik masyarakat untuk korupsi. Ustadz Somad terjebak dalam formalisme hukum, ijazah, dan IPK. Ini bertentangan dengan naluri masyarakat dalam memberantas korupsi.
Dalam konteks fiqh sosial Kiai Sahal, apa yang ditegaskan Ustadz Somad juga mencederai kaidah fiqh. Bagaimana mungkin ijazah dan IPK dijadikan rujukan, sementara kemaslahatan publik yang nyata di masyarakat diabaikan. Kita juga tahu, IPK dan ijazah bisa didapatkan dengan segala cara. Menolak kerusakan, dalam kaidah fiqh, harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Ustadz Somad sepertinya harus lebih jeli lagi dalam berdakwah. Urusan hukum dan korupsi bukanlah ceramah tentang makna syukur dan taubat yang bisa dijelaskan dengan logika-logika sederhana untuk memberikan ketenangan kepada umat.
Urusan korupsi harus menggunakan dalil hukum yang jelas dan tegas, tidak ijtihad sendiri yang kehilangan konteks sosiologis di Indonesia. Padahal, Munas Alim Ulama’ NU di Jakarta tahun 2002 menegaskan bahwa jenazah koruptor jangan sampai disalati oleh tokoh agama, cukup orang awam saja. Ini fatwa ulama yang sangat kontekstual, sesuai dengan sosiologi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kini, tahun 2018, kok malah ada fatwa sogok syariah? Sungguh tragis, Pak Ustadz! Apalagi contoh yang disampaikan adalah terkait guru dan pendidikan. Ini jelas sangat menyinggung pendidikan kita. Contoh ini sungguh merugikan karakter anak bangsa, karena pendidikan adalah ujung tombak generasi masa depan.
Mendidik Masyarakat
Kasus Ustadz Somad ini menjadi pelajaran bersama semua anak bangsa. Semua harus saling menguatkan dalam mendidik masyarakat. Seorang ustadz adalah pendidik, bukan sebatas penceramah. Kalau ceramah saja, maka yang lahir bisa konflik antar sesama. Ceramah yang hanya dilandasi retorika tanpa kejernihan hati dalam membaca denyut nadi masyarakat bisa memicu anarki bahasa.
Dari sinilah seorang ustadz atau tokoh agama mesti memahami gerak fiqh sosial sebagaimana diajarkan Kiai Sahal dalam mendidik masyarakat. Yakni, fiqh hadir sebagai etika sosial. Menurut Husein Muhammad (2014), fiqh sosial Kiai Sahal mengantarkan pada gagasan untuk mengambil basis-basis fundamental kebijakan publik/politik. Ia adalah “kemaslahatan sosial/publik”.
Kemaslahatan sosial/publik yang dimaksudkan dalam hal ini tidak terbatas pada kerangka hukum “dar al-mafasid wa jalb al-mashalih” (menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan) belaka, melainkan pada perwujudan kehidupan sosial yang menghargai hak-hak dasar manusia.
Kiai Sahal berkali-kali mengemukakan tentang perlunya fiqh dan kebijakan publik-politik mendasarkan diri atas “Maqashid al-Syari’ah” yang dielaborasi secara ringkas dalam “lima hak-hak dasar manusia” (al-Ushul al-Khamsah). Yakni “hifzh al-din” (perlindungan atas keyakinan), “hifzh al-nafs” (perlindungan atas hak hidup), “hifzh al-‘aql” (perlindungan atas akal, hak berpikir dan berekspresi), “hifzh al-nasl” (perlindungan atas hak reproduksi) dan “hifz al-maal” (perlindungan atas hak milik).
Inilah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal yang sudah lama dicanangkan oleh Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, dan dikembangkan lebih luas oleh Abu Ishaq Al-Syathibi (w. 790 H), mujtahid dari Granada, dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.
Selain itu, seorang ustadz dalam memahami sosiologi di dalam masyarakat, juga mesti meneliti berbagai macam persoalan masyarakat sekaligus mencari jalan keluarnya. Setidaknya melalui tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
Seorang ustadz harus mengerti betul praktik korupsi dalam tiga tahapan tersebut, sehingga mampu mendeteksi dengan baik status hukumnya, kemudian menggali jalan keluar terhadap kasus sebuah korupsi, dan memberikan basis etis fiqh dalam menyegarkan naluri dan akhlak masyarakat.
Abdus Somad lahir sebagai seorang ustadz, guru, pendidik. Itulah khittahnya yang harus didoakan selalu. Seorang ustadz yang hadir memberikan basis etik bagi keseharian masyarakat.
Kolom terkait:
Dari Suap Syariah sampai Naturalisasi
Ustaz Somad dan Salah Kaprah NU Garis Lurus
Jangan Bully Ustazah Nani Handayani
Akrobat Ustadz “Seleb” dan Gelinjang Media Sosial
Solidaritas untuk Rina Nose dan Perempuan yang Melepas Jilbab