Saya punya seorang siswa beragama Hindu, namanya Winni Laxmi Dewi. Dia masih keturunan asli etnis India. Sebelum menuliskan artikel ini, saya bertanya perihal bagaimana dia akan merayakan Hari Raya Nyepi. Dia menjawab bahwa yang “khusus merayakan” Hari Raya ini adalah umat Hindu-Bali.
Saya kemudian mengerti bahwa betapa indahnya Indonesia, betapa semaraknya Indonesia, betapa beragamanya Indonesia. Agama Hindu, meski boleh diakatakan berasal dari India, tetapi dia malah mengacu pada budaya setempat, dalam hal ini Indonesia. Inilah barangkali namanya “Hindu-Nusantara”.
Sebelum ini, kita pernah sibuk mendebat perihal Islam Nusantara. Banyak yang pro, tetapi banyak juga yang sangat kontra. Alasan yang dibeberkan adalah tak mungkin kita “menasionalisasi” agama. Entah itu benar atau salah, yang pasti, menurut pemahaman saya, jika toh kita tak bisa “menasionalisasi”, tampaklah bahwa betapa agama itu sangat kaku. Saking kakunya, agama tak bisa diterjemahkan sesuai dengan konteks. Agama menjadi benar di segala tempat dan juga di segala waktu.
Agama bahkan tampak menjadi barang mewah yang dominan dan determinan. Agama mengangkangi negara dan negara terlihat tak bisa mengarah atau menyesuaikannya ke adat setempat, termasuk ke hukum setempat. Dalam hal ini, warga negara yang hidup dari negara terlihat sekali lebih menakuti aturan agama daripada aturan negara. Boleh jadi itu benar. Tetapi, apakah agama tak membenarkan keberadaan sebuah negara?
Lalu, bukankah negara justru mendorong kita agar patuh pada hukum negara? Lagi pula, tidakkah idealnya manusia lebih tinggi dari agama? Agama hanya jalan, bukan sosok yang akan masuk surga?
Agama itu Luwes
Maksud saya menanyakan ini adalah betapa kakunya kita selama ini mengartikan agama. Padahal, agama itu sangat luwes dan memberi kita ruang yang luas untuk memaknainya. Buktinya, tersebarnya agama Islam dan Nasrani di negeri ini pada masa kolonialisme adalah terjadi karena keluwesannya dan keberterimaannya pada budaya setempat. Agamalah yang menyesuaikan diri pada budaya, bukan sebaliknya.
Saya tak mau bilang agar kita menolak ajaran agama, tetapi justru mengajak agar kita memandang bahwa agama itu bukanlah sesuatu yang sangat otoriter. Agama bukan Hitler.
Nah, kembali ke Hari Raya Nyepi. Nyepi adalah sebuah ritual yang meniscayakan agar umat kembali suci, bersih, dengan pendalaman spiritual yang mantap. Ini dirayakan secara khidmat melalui caturbrata (empat pantangan), yang terdiri atas melasti atau mekiyis, tawur, sipeng (nyepi), dan ngembak nyepi (geni).
Mengutip I Nengah Segara Seni, melasti adalah ritual melaksanakan upacara untuk angamet sarining bhuana, angelebur malaning bhumi atau mengambil sari-sari bumi dan membersihkan kotoran dunia. Adapun tawur adalah upacara di perempatan jalan, pada pusat pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa) untuk menetralisasi keadaan bhuana agung (jagat raya) dan bhuana alit (tubuh manusia).
Sehari setelah upacara tawur, barulah dilaksanakan puncak acara, yakni sipeng (nyepi), yakni inti dari peringatan pergantian tahun. Ada empat hal yang selalu menjadi titik perhatian dari caturbrata (empat pantangan), seperti amati geni (tak menyalakan api), amati karya(tak bekerja), amati lelungan (tak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Inti dari semua pantangan itu manusia sebagai makhluk ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa harus menjalani puasa secara utuh, baik secara aktivitas duniawi maupun rohani. Jadi, hari ini merupakan salah satu hari raya yang mendorong kita untuk menyepi. Menyepi untuk mengumpulkan kekuatan spiritual agar kita kembali menjadi manusia yang sejati, yang bersih.
Tanpa bermaksud mendangkalkan, tetapi justru menguatkan, agama-agama samawi juga punya spirit yang sama dengan Nyepi, yaitu melalui puasa. Puasa, sebagaimana kita tahu, adalah juga bukan semata merayakan untuk tidak makan dan minum, tetapi menarik diri pada keheningan.
Budha juga punya ritual yang identik, yaitu melalui meditasi. Maka, dapat dibilang, puasa, meditasi, nyepi, adalah ritual yang menarik manusia pada keheningan. Mengapa keheningan?
Merayakan Nusantara
Keheningan adalah keadaan manusia paling awal, tepat ketika kita berada di rahim. Tuhan pun mencipta kita dari sebuah keheningan. Keheningan adalah tempat untuk menjenguk kebatinan. Kebatinan ini dijenguk karena selama ini kita terlalu mengasyiki yang lahir hingga lupa merayakan yang batin. Apa itu yang lahir dan yang batin?
Yang lahir adalah keriuhan dan yang batin adalah keteduhan. Mestinya, keduanya berimbang, tetapi kita, sekali lagi, lebih doyan menghinggapi keriuhan. Kita lebih suka mengikuti irama hiruk-pikuk. Kita lebih suka pesta huru-hara. Padahal, kesegalanya itu, sebagaimana yang dipentaskan oleh para politisi dan pesohor berikut dengan nafsu-nafsu kekuasaan serta keserakahannya hanyalah luapan ego manusia yang mengapung dangkal di permukaan kehidupan.
Ini tentu bukanlah hakikat hati dan tubuh kita. Bukankah kita terlahir ibarat kertas putih, seperti kata Ebiet G. Ade, kita mesti telanjang dan benar-benar bersih? Tidak ada yang melekat, kecuali keheningan saat kita lahir? Dengan demikian, segala kemelakatan yang ada pada kita hanyalah kosmetika yang sama sekali tak penting!
Maka, sejatinya manusia tidak pernah dan tak akan pernah bahagia dengan semua kemelakatan karena memang, itu bukan diri kita. Ibarat begini, karena perang adalah keriuhan, mungkinkah manusia dapat bertahan hidup dalam situasi seperti ini, di mana bara permusahan dan kebencian meletup-letup?
Jadi, memaknai Hari Raya Nyepi ini adalah sebuah imperasi agar kita kembali bereuni dengan diri kita, dengan tubuh kita. Melihat diri kita yang telanjang dan yang suci. Jika di sana, yaitu di tubuh kita, melekat ketidaksenonohan, kehebohan, keserakahan, kemewahan, inilah saatnya bagi kita melepasnya. Mungkin, sangat tak mungkin kita melepasnya untuk selamanya. Tetapi, bukankah menjadi kesenangan tersendiri manakala kita bisa kembali bereuni, bahkan setubuh kembali dengan tubuh dan jiwa kita?
Dalam konteks yang lebih luas, memaknai Nyepi bagi negeri kita Indonesia ini juga menjadi kemestian agar kita melihat sejarah tubuh negeri kita yang guyub, yang berbeda tapi bersama, yang menghormati sama lain, yang mengagungkan persaudaraan.
Kita boleh menerima paham dari yang lain, tetapi bukan menjadi sebuah bentuk penjajahan dan pengingkaran atas budaya kita. Bukankah dari dulu kita menerima “agama impor” ini (Nasrani, Hindu, Budha, Islam, Konghucu) karena agama ini mampu menerima budaya kita?
Nah, kalau agama ini menerima budaya kita, mengapa kita menjadi arogan yang lalu menganggap budaya kita sebagai yang tak pantas masuk agama? Mengapa kita tak membuatnya menjadi Nusantara sebagai perekat? Ya, merayakan Nyepi adalah membawa tubuh dan jiwa kita kembali ke sejarah kita yang adalah satu. Tak ada pengingkaran. Selamat Hari Raya Nyepi dan selamat merayakan Nusantara!
Kolom terkait:
Nyepi 2018: Bali Berani Berhenti?