Belum lama ini Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama Tiongkok sudah terbentuk. Secara resmi, lahirnya organisasi sosial-keagamaan ini ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Nomor 185/A.II.04.d/10/2017 tentang Pengesahan PCI NU Tiongkok, setelah sebelumnya digelar Konferensi Pertama sekaligus pembentukan PCI NU Tiongkok di Malang, Jawa Timur, Indonesia.
Sebagai mahasiswa Indonesia di China yang tergabung dalam kepengurusan NU Tiongkok, saya melihat organisasi ini bisa menjadi wadah bagi masyarakat Indonesia di luar negeri yang ingin berperan dalam promosi Islam dan perdamaian dunia. Selain akan membawa nama baik Indonesia, kegiatan semacam itu bisa memantapkan citra positif Islam di mata masyarakat internasional. Tentu juga diharapkan akan berdampak positif bagi masyarakat China, khususnya umat Muslim di negara itu, dan lebih luas lagi.
Saya akan memulai dengan menyuguhkan data statistik pemeluk Islam di China, dan hubungannya dengan sikap pemerintah penganut paham komunis tersebut. Menurut laporan yang diterbitkan situs www.religion-facts.com, jumlah umat Muslim di China sebanyak 24.144.120 orang atau 1,8 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 1.341.340.000 jiwa.
Dari 27 provinsi di China, umat Islam yang berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 13,800 (2012), 14.000 (2014), 14.500 (2015). Sementara itu, pihak Asosiasi Islam China terus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Arab Saudi agar diberi kuota tambahan bagi 1.000 calon peziarah (www.chinadaily.com.cn).
Dibanding pemeluk agama lain, jumlah umat Islam di China bukan yang paling sedikit, meski juga bukan yang terbesar. Pemeluk agama Kristen sebanyak 68.408.340 orang (5,1%), penganut agama Buddha 244.123.880 orang (18,2%), penganut Hindu 20.000 orang (0%), dan pengikut ajaran agama lokal berjumlah 293.753.460 orang (21,9%).
Islam Nusantara dan Dogma Cinta Tanah Air
Dalam sejarahnya, Pemerintah China yang mengimani paham komunis kuatir bila agama akan menjadi kendaraan bagi masuknya paham asing dan berujung bagi tumbuhnya kesetiaan yang salah arah. Jangan sampai agama mengajarkan kesetiaan kepada “tuhan”, dan mengalahkan kesetiaan kepada bangsa dan negara sendiri. Karena hal ini, pada tahun-tahun awal pemerintahan komunis, agama yang terlembaga dilarang.
Bagaimana dengan kondisi saat ini?
Sejak berada di Harbin, China, satu setengah tahun lalu hingga sekarang, saya aktif mengikuti (terutama) jamaah salat Jum’at di beberapa masjid. Beberapa hari yang lalu, atas budi baik seorang mahasiswa asli China, saya juga berkesempatan mengunjungi Gereja Katolik, Gereja Protestan, Gereja Kristen Ortodoks, dan Kuil Buddha yang semuanya berada di tengah kota.
Berdasarkan data yang saya peroleh, penganut agama Islam, Buddha, Kristen, Hindu serta agama lokal seperti agama Taoisme, Konfusius, dan lainnya bebas melakukan ritual keagamaan di rumah ibadah mereka masing-masing, meski tetap di bawah kontrol ketat. Pemerintah mengawasi dan mengendalikan umat beragama melalui asosiasi yang dikelola oleh negara.
Hal yang paling diwaspadai oleh negara adalah tumbuhnya potensi perlawanan terhadap otoritas moral negara, terutama yang datang dari pihak luar.
Dalam kondisi demikian, umat Muslim di China membutuhkan mitra sekaligus referensi keberadaan umat Islam yang memiliki pola relasi antara agama dengan negara di posisi masing-masing. Pemerintah dan masyarakat China membutuhkan contoh bahwa keberadaan kaum beragama sejatinya bisa menjadi soko guru bagi tegaknya negara, dan bukan sebaliknya.
Referensi yang saya maksud tidak lain adalah kontribusi kaum santri bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari masa lalu hingga kini.
Di sinilah para duta muda Indonesia yang tergabung dalam kepengurusan cabang istimewa NU Tiongkok bisa mengambil peran. Dengan menampilkan wajah Islam yang toleran dan menghargai budaya lokal di satu negara, maka kekhasan Muslim Indonesia akan dikenali masyarakat dunia.
Target jangka panjang adalah terjalinnya program persaudaraan antara Muslim Indonesia dengan Muslim China. Warga Nahdliyin Tiongkok akan menjadi semacam mediator bagi adanya diplomasi kultural ini.
Apakah hal ini mungkin terjadi? Mari kita diskusikan.
Selama ini warga NU (terutama dipelopori para tokoh dan kaum mudanya) konsisten menampilkan ajaran Islam yang toleran dan berperan penting dalam menjaga kedaulatan bangsa. Lihatlah lembaran sejarah panjang peran NU. Sejak NKRI digerogoti penjajah hingga perkembangannya saat ini, ketika sejumlah orang menyusup dengan proyek ideologi baru, sikap warga NU tegas, mendukung kedaulatan negara.
Kajian fikih yang diminati para santri di pesantren hingga perguruan tinggi tidak mentolerir bagi perongrong kewibawaan pemerintah yang sah (mereka disebut bughat; pemberontak). Mereka yang ingin mendirikan negara dalam negara, kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI (separatis), mereka yang melakukan tindakan kejahatan terhadap agama, atau yang ingin menguasai sebagian wilayah (kekayaan alam negara kita), maka baginya harus dihentikan.
Oleh sang maha guru di kalangan NU, KH Hasyim Asy’ari, prinsip-prinsip di atas kemudian dirumuskan dalam dogma yang berbunyi hubbul wathan minal iman. Mencintai negara kita sendiri merupakan bagian dari ketundukkan kepada aturan Tuhan.
Sementara itu, umat Muslim di China saat ini sedang getol meyakinkan kepada publik dan pemerintah, bahwa keberadaannya tidak ingin membahayakan siapa pun. Di sisi lain, masyarakat dunia sedang dilanda ketakutan terhadap wajah Islam, yang oleh sebagian pihak ditampilkan dengan garang disertai ujaran kebencian (teror).
Sampai di sini, kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah kita akan membiarkan saudara-saudara kita menyusuri jalanan terjal seorang diri, atau setidaknya kita akan berbagi peta dan tips aman dalam perjalanan yang kita miliki.
Gagasan persaudaraan Muslim Indonesia-China bisa dimulai dengan menumbuhkan empati dan rasa ingin tahu tentang pengalaman beragama dari kedua belah pihak. Bila dimungkinkan, bisa dilanjutkan dengan pengiriman tokoh-tokoh agama. Kedua belah pihak bisa saling mengunjungi, belajar, dan menyaksikan budaya beragama dari jarak dekat.
Lokasi yang dituju adalah pusat-pusat pendidikan Islam dan lingkungan perkampungan yang menjadi representasi masyarakat di masing-masing negara.
Program yang hampir sama pernah dirintis PBNU (2013) dengan memberikan beasiswa kepada 23 mahasiswa dari Afghanistan. Anak-anak muda dari negara yang dilanda konflik ini kemudian dikuliahkan di Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Indonesia. Selain belajar sesuai bidangnya, mereka dikenalkan Islam Nusantara, Pancasila, dan pentingnya menghargai perbedaan.
Bagi Muslim China, dengan mengetahui model beragama masyarakat di Indonesia akan menjadi referensi bagi pertumbuhan dan masa depan Islam di negara Tirai Bambu itu, sekaligus membuat blue print (kerangka kerja terperinci) relasi antara agama dan negara untuk program jangka panjang.
Bagi Muslim Indonesia, kegiatan ini menjadi ajang untuk mengenalkan Islam Nusantara yang ramah dan memungkinkan hidup berdampingan dengan nilai-nilai kearifan (budaya) setempat. Selain sebagai bentuk diplomasi kultural yang mengandung misi perlindungan kepada kelompok minoritas, kegiatan ini juga bisa menurunkan tensi ketegangan masyarakat Indonesia, yang akhir-akhir ini menjadi konsumen berita negatif tentang bangsa bermata sipit itu.
Lebih penting lagi, program ini menjadi kontribusi umat Muslim Indonesia untuk perdamaian dunia. Kalau kerja-kerja seperi ini tidak kita ambil, maka ruang yang tersedia akan dimanfaatkan oleh pihak lain yang justru ingin menyebarkan bibit permusuhan dan teror.
Kita membutuhkan partisipasi berbagai pihak, pemerintah, tokoh-tokoh pengusung perdamaian dan pluralisme, dan terutama anak-anak muda untuk meneriakkan perdamaian di muka bumi.
Kolom terkait:
Ramadhan dan Masa Depan Islam di China
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?
Islam dan Arab: Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur