Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912. Perjalanan organisasi Muhammadiyah yang sudah mencapai 104 tahun harus disyukuri dengan usaha yang positif dan berkemajuan. Kelahiran Muhammadiyah yang jauh lebih dulu dari bangsa Indonesia secara implisit menyatakan bahwa Muhammadiyah harus mengawal proses berbangsa dan mencarikan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini.
Menurut Buya Syafii Maarif (2014), dibandingkan dengan organisasi kebangsaan dan keislaman lainnya, Muhammadiyah memiliki keunggulan yang substantif. Keunggulan itu terlihat pada Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi bisa menempatkan kepentingan berjangka panjang dan programatik dibandingkan kepentingan berjangka pendek dan sesaat.
Muhammadiyah tidak mengejar kepentingan politik sesaat, tapi lebih berkhidmat pada pencerdasan dan pencerahan kehidupan umat dan bangsa. Muhammadiyah di masa awal lebih fokus pada schooling (pendidikan), feeding (pelayanan sosial), dan healing (rumah sakit atau kesehatan). Dengan fokus garapan seperti itu, Muhammadiyah bisa bertahan dari gelombang pasang surut yang sering menghempaskan organisasi lain.
Selain menjaga jarak dari kepentingan politik praktis, keunggulan Muhammadiyah dibandingkan organisasi sebaya yang sudah tidak ada lagi adalah mengajarkan semangat egalitarianisme dengan sistem keorganisasian yang modern dan tidak bertumpu pada kharisma seseorang.
Muhammadiyah menempatkan semangat volunterisme, egalitarianisme, dan pengkaderan yang sejati di atas basis organisasi yang kuat. Berbeda dengan Syarikat Islam (SI) yang bertumpu pada sosok HOS Tjokroaminoto atau Budi Oetomo yang banyak bersandar pada Dr. Soetomo, Muhammadiyah tidak terpaku pada sosok KH Ahmad Dahlan. KH Ahmad Dahlan sendiri juga mengkader murid-muridnya untuk menjadi penerus gerakan Muhammadiyah.
Karakter Indonesia Berkemajuan
Dalam milad yang ke 104, Muhammadiyah mengangkat tema “Membangun Karakter Indonesia Berkemajuan”. Rumusan Muhammadiyah tentang Indonesia Berkemajuan menyatakan bangsa Indonesia yang berkemajuan mencakup empat hal. Pertama, berkemajuan dalam semangat, alam pikir, perilaku, dan senantiasa berorientasi ke masa depan. Kedua, berkemajuan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dalam kehidupan material dan spiritual.
Ketiga, kemajuan untuk menjadi unggul di berbagai bidang dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Bagi Muhammadiyah, Indonesia Berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinah al-fadhillah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera (Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, 2014).
Tema milad yang diangkat Muhammadiyah kali ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Agar bangsa Indonesia bisa mencapai kondisi yang lebih maju dalam kehidupan material dan spiritual, maka bangsa Indonesia harus mempunyai karakter yang kuat dan tangguh. Dengan kepribadian itu, bangsa Indonesia akan bisa berpikir visioner dan tidak gampang tergoda oleh genderang orang lain.
Menurut Haedar Nashir (2016), bangsa Indonesia harus dibangun dengan pribadi-pribadi berkarakter mulia. Yaitu, mereka yang memegang prinsip kebenaran, berbuat untuk kebaikan, dan berkomitmen untuk kehidupan sesama dan lingkungannya.
Dengan karakter dan kepribadian kuat yang diharapkan bisa dimiliki oleh bangsa ini, maka berbagai masalah bangsa yang ada hendaknya bisa diselesaikan dengan cepat dan strategis. Misalnya, terkait menguatnya kembali politik identitas, terutama terjadi di Jakarta menjelang Pilkada Jakarta pada Februari 2017 nanti, hendaknya disikapi dengan komprehensif dan strategis.
Seperti yang kita lihat baru-baru ini, berbagai aksi dari kelompok Aksi Bela Islam (ABI) dan aksi susulan dari Aksi Bhinnekka Tunggal Ika (ABTI) tampaknya saling menunjukkan identitas politiknya dalam menyikapi kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi-aksi itu tentu bisa dipahami sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Namun, apabila kedua kelompok saling menyalahkan dan menganggap kelompoknya yang paling benar dan paling memiliki negeri ini, keadaan menjadi tidak kondusif.
Apabila suasana dan keadaan yang saling menyalahkan itu terus berlanjut, tentu akan memberi dampak yang serius pada masa depan bangsa. Saling mengklaim sebagai yang paling baik, paling benar, dan paling tepat, apalagi bila disertai dengan kekerasan verbal atau non verbal, tidak baik bagi proses pendidikan politik bangsa ini. Terlebih jika keadaan itu terus berlangsung dan berlarut, maka banyak pekerjaan rumah yang penting menjadi terlupakan.
Pekerjaan rumah bangsa ini (seperti penegakan hukum, pemerataan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, serta pengurangan pengangguran) tentu harus segera diselesaikan secara serius. Jadi, bukan malah dikalahkan dan dinomorduakan dengan pertarungan politik identitas.
Oleh karenanya, bangsa Indonesia seyogianya mau dan mampu mengaktualkan kembali budaya-budaya unggulannya yang sangat berguna untuk menopang munculnya pribadi-pribadi berkarakter mulia. Budaya-budaya yang mulai terlupakan itu antara lain: budaya untuk saling bekerjasama, budaya gotong-royong, budaya saling membantu, budaya mudah memaafkan, serta budaya pertemanan yang hangat.
Budaya-budaya itu hari-hari ini sering terkalahkan oleh massifnya informasi di media sosial yang belum tentu mengandung kebenaran. Bahkan seringkali mengandung fitnah dan menyebarkan kebencian.
Kerapkali informasi yang beredar di media sosial diterima begitu saja tanpa sikap kritis. Padahal, informasi-informasi itu perlu diklarifikasi kebenarannya dengan melakukan tabayyun dan menggali lebih dalam kebenaran sumbernya. Penerimaan informasi tanpa reserve itulah yang bisa dengan mudah menimbulkan konflik dan permusuhan di antara teman dan bahkan dalam keluarga. Budaya saling menyalahkan dan tidak mau melakukan tabayyun itu tentu sangat bisa menghalangi spirit memajukan bangsa dan negara ini.
Peran Strategis Muhammadiyah
Dalam kondisi bangsa yang demikian itu, Muhammadiyah harus menampilkan peran strategisnya. Muhammadiyah seyogianya tidak terjebak dalam kompetisi politik identitas sesaat seperti yang terlihat akhir-akhir ini. Muhammadiyah jangan sampai tergoda untuk mengikuti arus yang berkembang dengan alasan kekhawatiran tidak dianggap peka oleh anggotanya. Justru Muhammadiyah harus menjadi tenda besar semua komponen bangsa ini dan mengajak mereka untuk tidak terus larut dalam perselisihan dan unjuk kekuatan yang massif. Muhammadiyah harus mengajak seluruh bangsa ini untuk lebih memikirkan agenda-agenda strategis bangsa Indonesia ke depan.
Berkaitan dengan itu, rumusan Muhammadiyah tentang isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusian universal yang telah ditanfidzkan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Agustus 2015 lalu, bisa disosialisasikan lebih luas pada bangsa Indonesia. Rumusan itu, antara lain, menyoal tentang pentingnya keberagamaan yang moderat di tengah kecenderungan mengkafirkan pihak lain (takfiri) yang marak terjadi.
Sesuai dengan rumusan itu, Muhammadiyah harus mengajak bangsa Indonesia untuk bersikap kritis dan membendung perkembangan kelompok yang gemar mengkafirkan ini. Muhammadiyah harus mengajak bangsa ini mengembangkan sikap moderat untuk mencapai kemajuan (Muhammadiyah dan Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal, 2015).
Rumusan Muhammadiyah tentang isu-isu strategis yang perlu diaktualisasikan kembali dan disosialisasikan adalah tentang pentingnya membangun masyarakat ilmu. Salah satu lemahnya budaya cinta ilmu itu terlihat dari masyarakat kita yang lebih gemar membaca dan mempercayai media sosial, dibandingkan membaca buku dan informasi yang lebih dalam. Budaya instan untuk menerima begitu saja informasi tanpa klarifikasi, jika dibiarkan, bisa membuat bangsa ini mundur.
Karenanya, budaya membaca buku, menggali informasi, berdiskusi yang sehat, dan mempunyai etos keilmuan yang tinggi harus terus didorong perkembangannya agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain. Dengan mendorong keberagamaan yang moderat dan pentingnya membangun masyarakat ilmu itu, Muhammadiyah bisa berperan strategis dan menyumbangkan karakter berkemajuan untuk Indonesia.