Jumat, April 19, 2024

Moral Islam tentang Gerhana

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.

Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan bulan. Dalam konteks itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7 tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad.

Masyarakat Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun kelahiran. Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi Muhammad, Ibrahim, meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena kepergian putra Nabi Muhammad. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad bersabda: “Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya mengalami gerhana bukan karena atau sebab bagi kematian atau kelahiran seseorang.”

Selanjutnya Nabi Muhammad menganjurkan untuk melaksanakan salat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak. Dengan pernyataan dan anjuran Nabi tersebut, Islam jelas menepis segi mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.

Dari laporan berbagai hadis, Nabi Muhammad tampaknya beberapa kali melaksanakan salat gerhana. Karenanya, laporan tentang bagaimana Nabi melaksanakan salat gerhana matahari berbeda-beda. Ada yang menyebutkan Nabi Muhammad salat gerhana dengan dua ruku’ dalam satu rakaat; ada yang menyebutkan dengan satu ruku’ dalam satu rakaat. Bahkan ada yang menyebutkan empat, enam, delapan, dan sepuluh ruku’ dalam satu rakaat.

Ada yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad membaca bacaan dalam salat gerhana dengan nyaring; ada yang menyebutkan tidak nyaring. Tapi, setahu saya, semua hadis menyebutkan bahwa salat gerhana dua rakaat.

Perbedaan (laporan) hadis ini menimbulkan perbedaan tata-cara salat gerhana di antara mazhab-mazhab fiqih. Di Indonesia, pada umumnya umat Islam menganut mazhab Syafi’i: dua ruku’ dalam satu rakaat, dan bacaan tidak dibaca nyaring.

Yang penting digarisbawahi adalah moral Islam dalam menyikapi gerhana. Dengan menepis segi mitis dan primitif dari pandangan Arab pra-Islam tentang gerhana, Islam menekankan dimensi religius dan spiritual. Gerhana tak lain adalah tanda kebesaran Tuhan, bukan sesuatu yang menakutkan apalagi menimbulkan malapetaka. Ia adalah fenomena alam “biasa”, yang semestinya membangkitkan kesadaran religius dan spiritual seseorang. Ia semestinya mengingatkan manusia pada kemahaagungan Tuhan: Robbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâthilan, ‘Tuhan kami, tak sia-sia Kauciptakan [gerhana] ini’.

Pandangan itu sebenarnya mengandung konsekuensi keilmuan, yakni keharusan memahami fenomena alam secara empiris untuk memperoleh pemahaman sebaik mungkin tentang fenomena alam itu sendiri. Semakin baik pemahaman kita tentang alam akan semakin baik pula penghayatan religius dan spiritual kita tentang gerhana.

Dalam kaitan itu, penelitian-penelitian astronomi semestinya digalakkan di dunia Islam sebagaimana pernah dicapai para ilmuwan Muslim di abad ke-8 dan seterusnya, yang sayangnya mengalami kemandegan seiring dengan kemunduran Islam dalam berbagai aspeknya. Perkembangan sains jelas sangat membantu kita dalam memahami dan menghayati gerhana sebagai tanda keagungan Tuhan.

Yang tak kalah penting, Nabi Muhammad juga menganjurkan umat Islam untuk bersedekah dan memerdekakan budak saat terjadi gerhana. Inilah dimensi sosial dan kemanusiaan gerhana. Konsekuensi dari kesadaran religius dan spiritual yang dibangkitkan oleh gerhana adalah munculnya kesadaran sosial dan semangat kemanusiaan. Kesadaran spiritual pada akhirnya  harus memancarkan solidaritas sosial, sekecil apa pun. Persis seperti pengalaman Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad: setelah mencapai puncak pengalaman spiritual, Nabi Muhammad kembali ke bumi untuk menjalankan tanggung jawab sosial-religiusnya secara konkret.

Sejauh ini tampaknya umat Islam lebih fokus pada segi religius dan spiritual gerhana. Setiap menyambut gerhana, baik gerhana matahari maupun bulan, anjuran salat gerhana beredar cukup luas. Dan salat gerhana pun dilaksanakan di mana-mana. Tetapi sementara itu nyaris tak terdengar umat Islam sibuk mendistribusikan sedekah atau melakukan kegiatan sosial membantu orang-orang yang kurang beruntung.

Dalam arti itu, umat Islam baru menekankan segi religius dan spiritual gerhana, tetapi masih mengabaikan segi sosial gerhana itu sendiri sebagaimana dianjurkan Nabi Muhammad.

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.