Sabtu, April 27, 2024

Mimbar Dakwah, Antara Keinginan dan Kebutuhan

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

Saya jadi ingat pernah dua pekan belajar pada Ustaz Rohman dan Ustaz Makin di Pesantren Al-Azhar, Pare, Kediri, Jawa Timur. Ya, hanya dua pekan memang. Di bulan Desember dua tahun silam, kembali saya mengaji nahwu sharaf dari awal. Tak ada rasa malu dalam diri saya untuk terus belajar. Mengenolkan diri, mengosongkan lagi wadah, dan menerima ilmu dari yang paling dasar.

Dua ustaz muda ini justru yang malu hati. Namun, kami kemudian berteman hingga kini, akrab bercakap-cakap melalui Whatsapp, tapi saya tetap menempatkan keduanya pada kedudukan termulia: guru. Saya murid beliau-beliau.

Ustaz Rohman barangkali tidak sepakat Al-Azhar disebut sebagai pesantren. Tapi, biar saja saya menyebutnya begitu. Di asrama sederhana yang dikelilingi oleh lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris itu, Al-Azhar menjadi yang sedikit: pilih mengajarkan bahasa Arab. Dengan kurun waktu belajar yang dapat kita sesuaikan sendiri, kita bisa mempelajari muhadasah, nahwu sharaf, qira’atul kutub, tarjamah, insya, adad ma’dud, dan sebagainya. Tak sepadan, tentu saja, jika dibandingkan dengan pendidikan di pesantren. Namun, setidaknya kita bisa mengaji ilmu alat di Al-Azhar, Pare, ini dengan cukup memadai.

Apalagi, melihat gairah berdakwah pada masa kini yang terus meningkat, semakin banyak ustaz dan ustazah, mubaligh dan mubalighat, dan penceramah agama dalam sebutan apa pun, pembelajaran ilmu alat menjadi sangat penting. Bahkan lebih penting lagi karena ternyata para pendakwah hari-hari ini berasal bukan hanya dari lingkungan pesantren. Ada artis sinetron, penyanyi, pelawak, dan kalangan lainnya yang juga naik mimbar dan mulai mengajak umat menuju jalan kebaikan dan kebenaran. Saya memilih untuk menghargai mereka dan merasa tidak perlu mengolok keterbatasannya.

Jika memang karena usia, pun lantaran kesibukan, atau mungkin disebabkan oleh gengsi, sehingga menjadi tidak mungkin belajar di pesantren, bolehlah mondok di Pare setidaknya dua bulan. Atau, belajar dalam beberapa tahapan dengan program dua mingguan. Atau, sekarang semakin banyak pula kesempatan untuk belajar bahasa Arab di Whatsapp Group dengan mendaftar dan membayar iuran.

Teknologi komunikasi telah memberikan kemudahan pada siapa pun untuk meneruskan cita-cita belajar. Pelan namun pasti, seseorang bisa menyiapkan diri secara lebih baik jika memang ingin menjadi pendakwah.

Selama masih belajar, sebaiknya kita terus dan tetap berhati-hati. Memilih dalil yang bagi kita mudah dibaca tidak menurunkan derajat dan kemuliaan dalam membawa pesan-pesan ilahiah. Lebih-lebih, kalau memang tujuannya adalah mengajak pada kebenaran dan kesabaran. Ayat yang satu tidak lebih rendah dari ayat yang lain, pun hadits yang satu terhadap hadits yang lain. Seluruh ayat Al Qur’an adalah firman Allah Yang Maha Benar. Hadits dihimpun dari sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang shiddiq, yang selalu berkata benar dan tidak berkata selain yang benar itu, serta senantiasa berbuat benar pula.

Al-Qur’an yang berjumlah ayat lebih dari enam ribu itu berinduk pada Al-Fatihah. Dan, Al-Fatihah berinduk pada ayat yang pertama, yaitu kalimat basmalah. Oleh karena itu, menjadikan ajakan pada umat manusia untuk senantiasa merawat Cinta pada Allah dan makhluk-makhlukNya, menghadirkan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dalam perbuatan kita, melibatkan Allah dalam segala hal dengan penuh kasih sayang, menempa diri untuk menjadi perwujudan paling nyata dari welas asih Allah, dan menjaga kelembutan hati kita, adalah tema-tema dakwah yang teramat sangat baik, kan?

Jika tiga kali membaca Al-Ikhlash dapat disetarakan kemuliaannya dengan khatam Al-Qur’an sekali, mengingatkan sesama manusia untuk memelihara tauhid dan menjaga aqidah juga adalah tema-tema ceramah yang teramat sangat baik untuk disampaikan pada umat. Apakah memilih dalil-dalil yang mudah dibaca dan mudah pula didengar ini melemahkan kekuatan dan merendahkan kehormatan mubaligh? Sekali lagi, dan akan saya katakan berkali-kali, jawabannya adalah tidak. Sama sekali tidak. Mengulang-ulangnya tiap ceramah pun tak meruntuhkan reputasi mubaligh. Justru meninggikan derajat, insya Allah.

Seandainya berkenan menutup mata dan telinga dari pandangan dan percakapan “penduduk bumi”, dan mulai membuka diri pada “penduduk langit”, niscaya kita takkan berkecil hati hanya berbekal Al-Fatihah dan Al-Ikhlash. Selain sudah jelas Al-Fatihah adalah induk dari segala induk mu’jizat, Al-Iklash memiliki kedudukan yang teramat sangat tinggi pula dalam naungan Allah. Sampai-sampai, ribuan malaikat yang thawaf di Bait al-Makmur membaca Al-Ikhlash dan menghadiahkan fadhilah-nya kepada manusia yang suka membaca surat itu. Insya Allah, ini lebih baik daripada membahas khilafiyah

Daripada, misalnya, meributkan bendera Rasulullah, apakah hitam, atau hijau, atau merah putih, lebih baik mendakwahkan Shalawat Nabi. Allah saja menetapkan atas DiriNya untuk bershalawat. Dia juga mewajibkan malaikat dan orang-orang beriman, seperti tercantum pada Q.S. Al-Ahzab: 56. Teramat mulianya shalawat, sampai-sampai Allah menghadiahkan sepuluh shalawat pada siapa pun yang bershalawat sekali untuk Nabi, seperti termaktub dalam hadits riwayat Muslim. Masya Allah! Semangat untuk mengajak menyempurnakan akhlak dan menjadi rahmatan lil ‘alamin bisa tetap tersalur, kan?

Kedalaman dan kemumpunian ilmu, serta kesalehan amal; baik itu kesalehan yang individual maupun sosial, memang syarat yang tidak bisa tidak harus dipenuhi oleh setiap pengajar di lingkungan internal dan pendakwah di lingkungan eksternal. Tapi, sebaik-baik mengejek ketidakfasihan dan ketidakcakapan seseorang yang hadir di tengah umat menjadi penerus penyampai risalah Rasulullah SAW, masih lebih baik mengajak orang itu untuk terus dan tetap belajar. Lagi dan lagi, belajar dan belajar lagi. Bahkan guru pun adalah murid. Kiai itu santri, selamanya. Sebab, bukankah belajar itu kewajiban sepanjang hayat?

Mengapa kedalaman dan kemumpunian ilmu, serta kesalehan amal menjadi amat penting sebelum seseorang mengajar dan berdakwah? Sebab—satu sebab saja yang saya ingat baik-baik—sangat jelas Allah berfirman dalam Q.S. As-Shaff: 3, yakni, ”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kau mengatakan apa-apa yang tidak kau kerjakan.” Menjadi penceramah tentunya menempatkan diri secara sadar untuk banyak berkata-kata. Persoalannya, apakah kita telah mengerjakan hal-hal yang kita katakan tersebut? Amat berat tanggungan lisan, apalagi jika ternyata hanya digerakkan sebatas oleh lidah.

Petuah ”Sampaikan hal-hal dariku walau hanya satu ayat” tidak seharusnya lantas menjadikan kita berbuat ceroboh dalam menyampaikan risalah Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Justru kita diminta untuk cermat dan hati-hati menekuni dan mendalami ilmu, serta mengamalkannya, satu demi satu ayat. Agar nyata bagi diri sendiri antara perkataan dan perbuatan. Agar ilmu yang merupakan cahaya bisa menjadi penerang.

Sebagaimana belajar membaca, memahami, dan mengamalkan ilmu, belajar menulis juga sangat penting. Sebab, salah menulis menyebabkan salah membaca dan salah memberi makna.

Menutup uraian ini, saya hendak berkata pada diri saya sendiri: sebanyak-banyak yang saya tahu masih lebih banyak yang tidak saya tahu. Saya merasa tidak cukup modal untuk merasa lebih tahu. Lagipula, sesungguhnya tidak ada yang lebih tahu di antara kita. Yang ada, yang lebih dulu tahu. Ibarat mendaki gunung, dasar ilmu adalah rasa ingin tahu, pendakiannya itu proses mengetahui, dan puncaknya ialah rasa tidak tahu.

Lebih dari itu, saya rasa, agama diturunkan dari langit bukan untuk menaikkan tensi penduduk bumi. Agama pun bukan untuk diperdebatkan, apalagi oleh sesama pemeluknya. Saya yakin.

Kolom terkait:

Saatnya Kita Menyelamatkan Para Mualaf

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian

Para Imam Mazhab di Tengah Perbedaan Pendapat

Jangan Bully Ustazah Nani Handayani

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.