Hari ini Nurcholish Madjid Society memperingati hari wafat cendekiawan Nurcholish Madjid alias Cak Nur yang ke-12 tahun (17/03/1939-29/08/2005). Cak Nur semasa hidupnya mengabdikan diri untuk bangsa dengan berpegang teguh pada “Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan”.
Ijtihad Cak Nur perlu direnungkan kembali di tengah gempuran yang menimpa bangsa kita dalam satu dekade terakhir ini. Kita tahu, bangsa kita acapkali digegerkan dengan sikap intoleransi yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Fenomena ini semakin menguatkan bahwa agama direduksi oleh kelompok tertentu demi memenuhi syahwat keserakahan mereka yang sesungguhnya jauh dari nilai kemanusiaan. Lantas, apakah agama tidak berbanding lurus dengan nilai kemanusiaan?
Berangkat dari kegelisahan di atas, tentu kita menyaksikan fenomena tragis yang menimpa kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (2011). Mereka diserang dan bahkan ada yang dibunuh karena berbeda keyakinan dengan penduduk setempat. Setahun kemudian terjadi konflik Sunni dan Syiah di Sampang, Madura (2012). Tak hanya itu, konflik antarumat beragama juga terjadi yang melibatkan Muslim dan Kristiani di Tolikara, Papua (2015) dan Singkil, Aceh (2015).
Kisah memilukan ini tidak berhenti pada konflik intra dan antaragama. Pemboman yang dilakukan teroris yang didalangi oleh gerakan transnasional Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Jalan Thamrin (2015) dan Teror Kampung Melayu (2017), misalnya, juga menambah daftar hitam kemanusiaan. Ironisnya, mereka bertindak dengan mengatasnamakan agama dengan memaknai jihad secara dangkal. Kelompok ini oleh Ahmad Syafii Maarif dinamakan “preman berjubah”.
Menyikapi fenomena yang menimpa bangsa kita, almarhum Cak Nur melakukan interpretasi yang mendalam terhadap Islam. Cak Nur menegaskan bahwa “Islam adalah agama kemanusiaan terbuka”. Dalam hal ini, Cak Nur melakukuan dua lompatan teologis yang sangat jauh sekaligus menyadarkan kepada kita bahwa agama Islam tidak melulu berbicara risalah yang melangit, melainkan Islam bagian dari peradaban manusia yang membumi—menyentuh realitas kehidupan.
Pertama, Cak Nur menegaskan kepada kita bahwa konsep iman kepada Tuhan seyogianya dijangkarkan pada niali-nilai kemanusiaan yang diejawantahkan dalam sikap cinta kasih dan saling mengharga perbedaan. Keimanan yang mendorong pada keyakinan bahwa manusia merupakan penjelmaan (sifat) Tuhan yang maha kasih. Bukankah Tuhan telah mengingatkan bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan-Nya (QS: 95/4).
Pada titik ini, kemuliaan manusia tidak bisa diukur dengan etnis, suku, bahasa, dan warna kulitnya. Alhasil, sangat tidak dibenarkan jika manusia menindas sesamanya atas nama Tuhan. Teologi yang dipahami Cak Nur melampau sekat-sekat primordial yang inheren pada manusia. Perbedaan bahasa, etnis, suku, dan golongan bahkan agama tidak menghalangi manusia untuk terus memupuk persaudaraan. Pada sisi ini, agama tanpa nilai kemanusiaan merupakan pengkufuran atas keimanan.
Kedua, keterbukaan Islam tercermin pada sikap umatnya yang menghargai sepenuhnya harkat dan martabat manusia. Berlandaskan asas kemanusiaan, agama yang dimaksud Cak Nur adalah semua agama yang meyakini ketauhidan Tuhan, bukan hanya Islam. Islam pada esensinya adalah menerima keterbukaan pikiran dan sikap para pemeluknya untuk maju dan terus menciptakan temuan-temuan baru sebagai ikhtiar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi.
Tantangan Umat Beragama
Sikap intoleransi umat beragama baru-baru ini mencerminkan bahwa keberagamaan kita belum cukup dewasa. Mengikuti kerangka Franz Magnis-Suseno, tokoh Katolik asal Jerman, kita sebagai umat beragama memiliki dua tatangan yang sangat serius. Pertama, konsumerisme-kapitalistik, suatu tindakan manusia yang terus digerakkan oleh syahwat hedonis yang mengarah pada kehidupan yang semu akan makna (nir-makna).
Kita belum merasa menjadi manusia jika benda materil yang kita miliki belum mengikuti trend yang dilontarkan di pasar. Manusia jenis ini merupakan—meminjam istilah pemikir Mazhab Frankfurt Herbert Marcuse—“manusia rasional yang irasional”.
Kedua, sikap konsumtif memberikan stimulus kepada manusia untuk bersikap arogan: merasa benar sendiri. Konsekuensi arogansi akut yang menimpa umat beragama adalah sikap eksklusif yang bermuara pada sikap fundamentalis. Kelompok ini menganggap bahwa orang yang di luar mereka adalah salah. Maka, tak syak lagi, kaum fundamentalis kerap membenarkan kekerasan yang bagi mereka merupakan panggilan Tuhan.
Persoalan serius lainnya adalah umat beragama acap abai bahwa mereka hidup di Indonesia. Artinya, Indonesia adalah negara republik yang berasaskan pada Pancasila, bukan negara Islam yang bertolak pada hukum syar’i. Bukankah kita sebagai bangsa telah menyepakati bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang sudah final yang tak perlu dipertentangkan kembali. Pada realitanya, Pancasila digerogoti oleh sebagian kelompok dan ingin menggantinya dengan khilafah yang memang akarnya bukan dari kita.
Formalisasi Agama
Perumusan Pancasila yang melibatkan kaum agamawan dari Nahdhatul Ulama (1926) dan Muhammadiyah (1912), di antaranya Wahid Hasyim dan Kahar Muzakir dengan kaum nasionalis yang diwakili oleh Bung Karno dan Bung Hatta, faktanya masih menyisakan ruang bagi kelompok yang sedari awal menolak dan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Kini, setelah tumbangnya Orde Baru (1998), kelompok tersebut muncul kembali dengan wajah baru yang berbeda. Mereka masuk dalam sendi-sendi pemerintah dengan menunggangi semangat kebebasan yang disuarakan demokrasi.
Setelah adanya otonomi daerah, kelompok tersebut memperjelas dirinya melalui institusi-institusi pemerintah dengan menformalisasikan agama yang sesungguhnya tidak perlu seperti menggejalanya simbol-simbol syariah: bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, bahkan fenomena menarik dewasa ini adalah tersedianya pakaian renang yang berlabel syariah: Burkini.
Agama yang diformalisasikan bukan hanya kering akan makna melainkan menyisakan masalah baru. Sikap Cak Nur tampak jelas dalam penolakan terhadap negara Islam seperti tertulis dari korespodensinya dengan negarawan Mohamad Roem saat ia studi di Amerika Serikat.
Bukan hanya itu, gagasan Cak Nur yang fenomenal “Islam, Yes! Partai Islam, No! merupakan ijtihad yang cukup berani pada masa itu. Adagium tersebut semakin menjelaskan bahwa agama tidak perlu diformalkan yang akhir-akhir ini menjadi fenomena yang lumrah terjadi. Sejatinya, praktik agama telah membumi di Nusantara sejak ribuan tahun tanpa harus ada regulasi apa pun. Alih-alih regulasi yang diharapakan menjadi order bagi publik, namun di saat bersamaan menciptakan masalah baru baik intra maupun antar-agama.
Kini, komitmen Cak Nur terhadap keislaman-keindonesiaan yang ia dedikasikan selama hidupnya sangat relevan bagi kita untuk dijadikan khittah berbangsa dan bernegara di tengah iklim demokrasi saat ini.
Baca juga:
Cak Nur dan Pikiran-pikiran yang Melampaui Zamannya
Cak Nur, Gus Dur, Kuntowijoyo, dan Tradisi Intelektual Islam