Umat Nasrani mengenang Jumat Agung sembari menunggu Paskah. Paskah adalah kebangkitan atas kematian. Karena itu, semoga Paskah ini menjadi simbol kebangkitan bagi kita, terutama dalam konteks keindonesiaan. Semoga pula dengan Paskah ini radikalisme yang mulai menggerogoti kita semakin kerdil dan dapat dibasmi hingga akar-akarnya.
Hal itu penting bahkan mendesak, karena kini radikalisme berkedok keagamaan semakin menjalar dan berakar. Inilah yang coba ditanggulangi hingga pemerintah secara resmi sudah memblokir beberapa situs yang dirasa menebar kebencian.
Pertanyaannya adalah, mengapa Indonesia dalam usia dewasanya ternyata masih saja dihinggapi radikalisme, bahkan semakin akut? Apakah para penebar ini belum puas dengan Indonesia yang, konon, berdasar pada Pancasila yang meniscayakan kebhinekaan? Banyak jawaban yang bisa dimunculkan, mulai dari yang filosofis, historis, maupun teknis.
Semua jawaban itulah yang nantinya direduksi menjadi semacam sebuah “kebenaran” (lebih tepatnya pembenaran) yang harus diperjuangkan, bahkan hingga mati-matian. Kelak, mereka akan bangga menamai dirinya sebagai martir dan jihadis: pejuang agama (lalu bukan pejuang manusia).
Sebelum terlalu jauh, ada baiknya ditanyakan dulu, apa sebenarnya kebenaran itu? Sebab, hingga kini banyak orang mencari kebenaran ke sana kemari hingga lahirlah kebenaran dengan cucu-cucunya. Ada kebenaran ilmiah, kebenaran ilahiah, kebenaran pragmatis, dan masih banyak lagi kalau harus dijejerkan.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diterima karena ada metode yang sistematis dan dapat diterima akal, bila perlu dapat dilihat dan digenggam secara keseluruhan. Ketika Newton mengamati apel jatuh ke tanah, dia bertanya terus-menerus hingga pada akhirnya lahirlah konsep hukum gaya berat dan gravitasi. Itulah kebenaran ilmiah.
Kebenaran ilahiah beda lagi. Ini adalah kebenaran yang tak terselami. Ini bahkan belum diketahui apakah ada wujudnya atau tidak. Serupa Allah: antara berwujud dan tak berwujud. Maka, dapat disimpulkan, kebenaran ilahiah adalah kebenaran yang dimiliki Allah.
Mengapa Yesus harus mati? Jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa dikuasai kebenaran ilahiah. Mengapa Nabi Muhammad harus disebut sebagai nabi terakhir? Ini juga kebenaran dari Yang Kuasa. Jangan-jangan, karena adab semakin kacau, maka atas kehendak-Nya, lalu kelak akan turun nabi terakhir lain? Apakah kita bisa menolak kalau Yang Kuasa sudah berkehendak begitu? Siapa kita sehingga kuasa untuk menolak?
Begitulah kebenaran ilahiah: bukan untuk dipertanyakan, tetapi untuk dijawab dalam relung hati. Tujuan jawaban itu pun bukan untuk membuat semata bahwa kita benar dan orang lain salah sehingga kita berhak untuk menghakimi, bahkan mengklaim.
Siapa yang berhak menilai kesalahan jika Tuhan tak pernah menyalahkan? Siapa yang berhak membenakan jika Tuhan tak berkehedak? Karena itu, adalah sebuah kekurangajaran jika kita merujuk pada kitab suci kita untuk menyalahkan kitab suci orang lain. Sederhana saja: darimana dasarnya kita menyalahkan buku petunjuk penggunaan kulkas merek Polytron jika kulkas kita mereka Sharp?
Selain kebenaran ilmiah dan ilahiah, ada lagi kebenaran yang lebih “bermanafaat”: namanya kebenaran pragmatis. Kebenaran seperti ini tumbuh di Amerika. William James (1842-1910) menumbuhkan filsafat ini melalui buku Pragmatism. Pokok ajaran (kebenaran pragmatisme) ini dilihat dari kebergunaannya. Ukuran kebenaran ini adalah apakah suatu kepercayaan itu dapat mengantarkan orang kepada tujuan atau tidak.
Intinya, apakah dia bermanfaat secara praktis atau tidak. Kalau kebenaran itu tak membuatmu benar, maka itu bukan kebenaran. Kalau kebenaran itu membuatmu pongah dan tukang klaim, itu juga bukan kebenaran.
Ya, berbicara tentang kebenaran memang tak ada henti-hentinya. Karena, memang, demikianlah hakikat kebenaran: selalu ada di depan sehingga kita harus mengikutinya. Celakanya, kita keliru. Karena kebenaran berada di depan, kita malah mengejarnya ramai-ramai.
Celakanya lagi, dalam pengerajan itu, tak jarang kita malah menjatuhkan orang lain. Padahal, kebenaran itu untuk diikuti, bukan untuk dikejar. Kebenaran itu untuk direnungkan, bukan dikoar-koarkan. Karena itu, ketika Pilatus pada masa sesaat sebelum Yesus dijatuhi hukuman bertanya tentang apa itu kebenaran (Ti estin aletheia?), Yesus memilih diam sediam-diamnya.
Yesus diam bukan karena Dia bodoh. Namun, apa gunanya menjawab dengan suara menggelegar jika seseorang tak punya telinga? Lagipula, kebenaran itu ada dalam hati. Jauh di dalam hati.
Lebih dari itu, Yesus paham bahwa kebenaran versi manusia tentu saja beda dengan kebenaran ilahiah. Kebenaran air laut berbeda dengan kebenaran air di sebuah cangkir. Memasukkan kebenaran air laut ke dalam cangkir akan membuat air laut itu tumpah sia-sia. Cangkir itu bahkan akan hanyut dan rusak.
Sama halnya memasukkan “otak” Tuhan ke “otak” manusia akan membuat kebenaran itu tumpah. Manusia itu bahkan akan punah karena tak sanggup menampung semua kebenaran dari Tuhan. Sekali lagi, begitulah kebenaran. Kebenaran hanya perlu diikuti, bukan dikejar untuk kelak dicuri dan dimonopoli.
Mencuri dan memonopoli adalah ulah para radikalis. Sebab, bagi mereka, kebenaran hanya satu, yaitu pendakuan kebenaran secara fanatis sehingga pihak lain dipandang sebagai yang salah. Ukuran kebenaran adalah: saya benar, kau salah. Turunannya, semua hal bagi mereka asal beda, termasuk beda mazhab, adalah salah dan kafir.
Kebenaran semu inilah yang kelak membuat kita mengejar kebenaran dengan cara menjatuhkan orang lain. Kebenaran menjadi klaim. Klaim itu bahkan berasal dari terjemahan subjektif terhadap kitab suci. Diklaimlah, misalnya, bahwa Yesus itu sesungguhnya adalah seorang Islam. Saya tak sedang memprotes, apalagi menolak bahwa Yesus memang Islam. Silakan, sebab Yesus bukan hak milik saya.
Simpel saja, bagi saya, hal itu bukan kapasitas manusia. Itu adalah kapasitas Allah karena itu berada pada wilayah kebenaran ilahiah. Nabi dan ketuhanan tak pernah berhasil untuk diilmiahkan.
Jujur saja, sebagai seorang Katolik yang kebetulan menjadi Katolik karena ayah-ibu saya Katolik, saya tak keberatan jika Yesus dikatakan sebagai Muslim. Saya justru keberatan jika Yesus itu dikatakan sebagai Katolik atau Protestan karena dengan mengatakan demikian, Yesus yang dimuat pada kitab suci agama samawi justru dikerdilkan.
Jadi, kalau Shedinger—sang profesor Amerika Serikat serta Kepala Departemen Studi Agama Luther College—mengatakan Yesus sebagai Islam, hal itu sah-sah saja. Artinya, silakan mendaku Yesus sebagai agama apa saja karena Dia memang milik universal.
Agama itu sendiri, seperti termuat pada buku Konspirasi Suci terbitan Jurnal Sajak Jakarta, merupakan sekat-sekat yang dibuat oleh manusia. Tuhan tak pernah menciptakan agama. Tuhan hanya menciptakan keberagaman sebagai bentuk dari perpaduan warna. Jadi, Yesus dan ciptaan-Nya merupakan hal yang universal. Keuniversalan itulah yang kemudian dibaca dengan jeli oleh Paus Fransiskus sehingga dia pernah mencium kaki seorang Muslim pada Kamis Putih. Apa itu salah?
Tidak! Buktinya, Yesus tak pernah mengatakan pelayan atau pengganti-Nya harus mencium kaki Katolik dan Protestan. Yesus malah tak pernah mencium kaki Kristen, bahkan Yesus itu bukan Kristen sebab Yesus itu, sekali lagi, milik siapa saja yang percaya kepada-Nya.
Maka, kalaulah, misalnya, sumber radikalis berdasar pada kitab suci, marilah merelakan pendakuan itu asal tidak sampai menyalahkan orang lain. Sebab, sesungguhnya hingga detik ini, agama sudah memunculkan dua wajah: damai dan kebencian.
Padahal kita mengaku Tuhan itu Esa. Hanya ada cara dan jalan lain yang memang mengarah pada tujuan yang sama, bukan cara dan jalan yang salah. Tidak ada yang lebih benar daripada yang lainnya. Kalau Yesus “dinobatkan” lebih cocok sebagai Islam karena Dia juga salat, puasa, dan dimakamkan pakai kain kafan, tentu itu tak masalah.
Yang menjadi masalah adalah kalau pendakuan itu sampai menyalahkan yang lain. Nah, kalau Yesus itu memang Islam dan universal, untuk apalagi kita berkelahi satu sama lain?
Lagipula, Islam itu adalah rahmat bagi semesta. Agama itu sendiri adalah damai. Maka, marilah dalam Paskah ini, merayakan kebangkitan Yesus dengan sukacita pada siapa pun karena Yesus itu miliki siapa yang meyakini-Nya.
Yesus bukan milik eklusif dari Katolik, Kristen, termasuk Islam. Sebab, Tuhan tak pernah memberi pedang dan perang kepada orang pilihan secara khusus. Tuhan memberi kita pelajaran dan kebenaran yang tak terselami, namanya kebenaran ilahiah.
Terakhir, saya harus mengatakan ini: Selamat Hari Paskah. Semoga kita benar-benar menjadi rahmat bagi bumi ini! Semoga di bumi ini, kita bisa mengikuti kebenaran, bukan mengejar, apalagi mengklaimnya!
Kolom terkait:
Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Refleksi Natal dari Seorang Mukmin]
Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Tanggapan untuk Mun’im Sirry]
Kebangkitan Yesus: Hidup atau Mati?
Mempersoalkan Klaim Keselamatan Eksklusif [Menyambung Mun’im Sirry]