Senin, Oktober 14, 2024

Maulid Nabi di Natalan Gereja

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.

“Kamu sudah pernah ke gereja sebelumnya?” tanya saya ke Rara dan Nandha, dua aktifis perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang, Jawa Timur.

“Belum, Mas, ini yang pertama kali,” sahut Nandha tertawa kecil sembari menyaksikan puluhan anak muda Gereja Sidang Pentakosta di Indonesia (GSPDI), jemaat Filadelfia Sejahtera, Jombang, Jum’at (1/12).

Ini juga kesempatan pertama bagi Kholil, pengajar madrasah tsanawiyah di salah satu pesantren di Jombang. Pria dari pinggir Sungai Brantas ini merupakan kawan baru saya, salah satu pengurus Nahdlatul Ulama (NU) tingkat kecamatan.

Perayaan Natal di Gereja Katolik Santo Stevanus, Manukan Tandes Surabaya (2015) yang dimeriahkan kesenian dari lintas agama, seperti hadrah yang dimainkan oleh ibu-ibu muslimah.

Ketiganya menerima ajakan saya untuk mengunjungi rumah ibadah yang bukan milik agama mereka. Selain mereka bertiga, sebenarnya juga ada Susi Indraswari, salah satu pilar penggerak keragaman di kota Jombang.

Kebetulan pada hari itu saya diminta hadir dan memberi sambutan atas nama GUSDURian Jombang. GSPDI tengah menyelenggarakan natalan untuk muda-mudinya. Temanya pun cukup menggelitik, “How Deep is Your Love,” mengingatkan saya pada lagu yang pernah dipopulerkan Take That zaman saya masih muda.

Maka, setiap kali ada kesempatan berkunjung ke gereja, saya selalu mewartakan pada kawan-kawan muda Muslim. Siapa tahu ada yang memendam keinginan datang ke “tempat angker” ini.

Ya, saya katakan angker karena ajaran Islam konservatif hampir tidak memberikan ruang bagi umatnya berkunjung ke tempat ini. “Haram,” begitu kira-kira hukumnya.

“Kalau ketahuan ortu, nggak bakalan diizinkan, Mas” kata Nandha. Perempuan manis berkacamata minus ini tidak menjelaskan alasan kenapa orangtuanya melarang. Namun, ia tidak perlu memberitahu sebab saya bisa menduganya; alasan teologis dan masalah ketakutan tergerusnya iman.

Islam klasik meletakkan stigma yang luar biasa terhadap kekristenan–juga terhadap Yahudi maupun politeis. Stigma ini, harus diakui, mendapat sokongan teks suci yang, meskipun turunnya dalam rangka merespons situasi 1400-an tahun lalu, kerap dianggap masih relevan hingga sekarang.

Teks-teks suci nan konfrontatif terhadap tiga kelompok agama ini berserak banyak di al-Qur’an. Menurut catatan Bill Warner dalam The Doctrine of Slavery; an Islamic Institution, teks kami (al-Qur’an, Hadits, dan Sirah) cukup bersemangat terhadap kekafiran. Secara statistik, ia mengklaim 64% isi al-Qur’an dan 37% hadits mengurusi soal kafir, serta hampir 81% isi biografi Nabi (sirah) memotret perjuangan melawan kelompok ini.

Jika benar demikian, tampak sekali pengunggulan akidah Islam selama ini dibalut aroma permusuhan terhadap siapa saja yang dituding kafir. Saya curiga jangan-jangan agar watak imperialistiknya tidak terlalu kentara, tidak jarang para ustadz meyakinkan kami bahwa setiap peperangan pada masa Islam awal hanya terjadi sebagai upaya Muslim untuk mempertahankan diri dari serangan kafir.

Peyakinan itu sangat membekas dalam memori, dan tak pelak telah menjadi bahan bakar utama umat Islam untuk bersikap sangat hati-hati (untuk tidak mengatakan; permusuhan) terhadap kekafiran, terutama Kristen.

Belakangan saya membaca kembali berbagai literatur, salah satunya karya al-Azami, The History of the Qur’anic Text; from Revelation to Compilation. Dia menuliskan, sebagaimana temuan Prof. M. Hamidullah dalam al-Watsa’iq al-Siyasiyya, perluasan wilayah Islam sejak Nabi hingga Utsman bin ‘Affan mencapai 3.500.000 square mil (mi2) atau sekitar 9.064.958 km².

Saya jadi berfikir, bagaimana menjelaskan meranggasnya aneksasi jutaan km2 wilayah tersebut padahal, di satu sisi, kita diyakinkan “Islam kala itu hanya mempertahankan diri dari serangan”?

Saya masih sangat berharap cerita terjadinya peperangan Islam awal yang sering saya dengar saat kecil lebih karena umat Islam tidak punya pilihan lain–meminjam jargon agung kelompok Islam ketika genosida 65-66; membunuh atau dibunuh. Yang sayangnya, hampir semua peperangan dari Nabi hingga Utsman bersifat invasif.

Ketika remaja, saya kerap bertanya-tanya kenapa urusan pemakaman menjadi rumit jika ada orang Kristen meninggal di komunitas mayoritas Muslim, kenapa tidak boleh dimakamkan bersama? Kenapa banyak Muslim tidak suka melihat Kristiani mengucap assalamualaikum atau mengutip ayat al-Qur’an? Kenapa tidak sedikit orang Islam merasa tidak nyaman mendengar nyanyian ibadah Kristen?

Juga kenapa lonceng-lonceng gereja dibunyikan dengan rasa sungkan dan kekuatiran nan sangat, padahal suara adzan menggema ke seantero kecamatan? Terakhir, kenapa keluarga saya merasa perlu mengislamkan nama putri saya, Cecilia, terlebih dahulu dengan menambahkan dua diksi (Islam) “Aida Zamzama”?

Banyak sekali pertanyaan polemis berkecamuk yang tidak mendapat jawaban memuaskan hingga saya menemukan tulisan tentang Pact of Umar (Uhda al-Umariyyah).

Ketika Umar bin Khattab berhasil menginvasi Syiria sekitar tahun 673 M, ia segera membuat “perjanjian” dengan warga Kristen di sana. Isinya, benar-benar mengagetkan saya dan sekaligus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Anda bisa membaca sejarahnya dengan mudah melalui Google. Potongan Pakta Umar juga tertuang abadi dalam Tafsir ibn Kathir (http://www.qtafsir.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2566&Itemid=64)

Mengetahui sepenggal babakan dinamika Islam-Kristen masa lampau membuat saya menjadi lebih paham kenapa relasi Islam-Kristen di Indonesia menjadi konfrontatif dan toleransinya bersifat canggung dan kikuk. Hal ini lebih disebabkan oleh kuatnya pewarisan ingatan.

Sebagai pengajar gender dan seksualitas di banyak pelatihan, saya tahu betul perbedaan kodrat dan konstruksi sosial-keagamaan dalam topik tersebut. Oleh karena itu, meminjang dua distingsi tersebut, saya bisa katakan dengan percaya diri kebencian terhadap kekristenan bukanlah kodrat namun konstruksi. Kodrat tidak bisa diubah, sedangkan konstruksi bersifat sebaliknya.

Aan Anshori (berpeci hitam) , Rara, dan Nandha (berjilbab) bersama para aktifis muda gereja Pantekosta Jombang [foto: dok. penulis]

Saya tahu sikap seperti saya ini tidak lazim, namun bukan berarti tidak benar. Pastilah tidak mudah untuk dikatakan–sebagaimana sulitnya Presiden Gus Dur merespons keterlibatan organisasinya dalam pembantaian 65-66.

Dari wali kesepuluh Tanah Jawa ini, setidaknya terdapat 4 hal yang saya pelajari  ketika ada bagian tubuh kita melakukan kesalahan terhadap orang lain; mengakui kesalahan, meminta maaf, berjanji tidak akan mengulangi, dan memberi keadilan kepada Korban. Empat hal ini yang perlu dipegangi umat Islam sampai ditemukan hal yang lebih baik.

Harus saya katakan, Maulid Nabi malam itu saya rayakan dalam dua cara. Pertama, membaca kembali catatan-catatan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dengan perspektif yang berbeda, yakni melalui cara kritis-rekonsiliatif, ketimbang model konvensional, seperti ritual diba’an dan hadrah.

Percayalah, saya sudah melakukan ritual ini tiap malam Jum’at sejak kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (SD) hingga SMA. Begitu seringnya hingga saya saya bisa menirukan lantunan diba’ di luar kepala–dari ya rabbi solli hingga ya badrotin min khaza kulla kamali, termasuk syrakalannya.

Cara kedua merayakan maulid tahun ini adalah dengan menghadiri acara Natal Youth di GSPDI bersama tiga kawan Muslim yang sama sekali belum pernah masuk gereja. Saya berusaha menawarkan model rekonstruksi relasi baru Islam-Kristen dengan cara mematahkan pewarisan ingatan. Semakin sering Muslim-Kristiani berinteraksi, semakin sulit virus intoleransi terhidupi.

“Kalian akan melihat bagaimana cara mereka mengagungkan Tuhannya. Jika mau, kalian bisa belajar banyak hal dari pengamatan dalam beberapa jam ini,” kata saya kepada ketiganya di tengah ingar bingar musik Tuhan yang dinyanyikan.

Saya tidak tahu apa yang ada di benak Kholil, Nandha, dan Rara saat berada di dalam gereja. Namun jilbab dan almamater PMII mereka berdua cukup menyita perhatian anak-anak muda di sana. Saya melihat banyak sorot mata tertuju pada keduanya. Sorot mata yang kira-kira bisa berkata, “Hah?Ada perempuan berjilbab di gereja gue? Ciyus lo?” Atau “Ngapain mereka berdua di sini? Ortunya nggak marah mereka main ke gerejaku?” Atau “Asyik, ada orang Islam datang ke GSPDI!” Saya sendiri hanya menebak-nebak.

Saya sendiri bersyukur bisa menghadiri Natal pertama di gereja ini. Alasan utamanya barangkali karena gereja ini bergenre kharismatik–genre yang kerap dipandang “terlalu Tuhan-sentris” dan jarang peduli terhadap isu-isu keragaman. Namun, malam itu, pandangan minor tersebut telah terbukti tidak selamanya benar.

Di GSPDI, saya merayakan Maulid Nabi rasa berbeda, terutama dalam penghayatan untuk lebih mengerti perbedaan antara Islam dan politik Islam. Politik Islam hari ini sering membuat wajah Islam Indonesia compang-camping, terutama ketika memperlakukan non-Muslim.

Kolom terkait:

Apa Keistimewaan Muhammad? [Refleksi Maulid Nabi SAW]

Mitos Seputar Biografi Nabi Muhammad [Renungan Maulid]

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Secercah Harapan di Balik Caci Maki Muslim dan Kristen

Pesan Natal dari Seorang Kristiani Anak Seorang Mukmin

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.