“SALAT itu tiang agama, as-shalatu ‘imaduddiin. Siapa yang mendirikan salat, ia menegakkan tiang agama. Namun, siapa yang tidak mendirikan salat, ia merobohkan tiang agama.” Walau sanad hadits ini dinamis diperdebatkan, apakah benar pernah Rasulullah Muhammad SAW bersabda demikian, kandungan pesannya dapat digunakan untuk menumbuhkan jiwa pengabdian. Petuah ini mengajak kita membangun rumah dalam diri Muslim.
Jika salat serupa tiang agama, maka ia adalah pilar bagi rumah ini. Syahadat sebagai pondasi, puasa ibarat dinding yang menahan segala sesuatu dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam. Zakat, beserta turunannya, yaitu infaq, shadaqah, waqaf, hibah, dan hadiah, menjadi pintu dan jendelanya, serta lubang-lubang angin, menghubungkan yang dari dalam ke luar.
Dan haji, bila mampu, laksana atap bagi rumah ini. Dengan demikian, sempurnalah rukun Islam dengan salat sebagai sokoguru.
Dalam hadits riwayat Muadz, Rasulullah SAW bersabda, ”ra’sul amril islamu, wa ‘umuuduhus shalaatu, wa dzarwatu sinaamil jihaadu, pokok segala urusan adalah Islam, dan tiang penyangganya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR Tirmidzi)
Jelas sudah salat bukan hanya tiang penyangga bagi agama, tapi bahkan bagi segala urusan. Atau, bisa diartikan, kesadaran beragama sesungguhnya mewujud pada segala urusan dalam hidup ini.
Jika urusan yang dimaksud itu dinamai lain, yaitu dengan sebutan amal, tiga amal yang paling dicintai Allah adalah salat, berbakti kepada orang tua, dan berjihad di jalan Allah. Hal ini telah disinggung dalam seri pertama refleksi Isra’ Mi’raj ini.
Menjadi lebih mudah dipahami, dalam kedudukan sebagai sokoguru segala urusan, salat menjadi pencegah perbuatan keji dan mungkar. Siapa yang mendirikan salat, niscaya baik dan mulia pulalah perbuatannya, juga dalam berbakti kepada orang tua.
Allah berfirman dalam Q.S. Al Isra’’: 1 bahwa, ”Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hambaNya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Kami Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.” Dari sinilah awal kesucian perjumpaan dengan Allah, dari bagaimana Dia menyebut Dirinya sendiri Maha Suci.
Salat adalah peribadahan yang suci, yang karena itulah wajib diawali dengan bersuci. Betapa lemah kesucian kita, yang bahkan dalam taraf fisik harus bersuci setiap batal wudhu. Sah salat hanya jika kita dirikan dalam keadaan kesucian itu terjaga. Ketika raga telah bersuci, jiwa pun diharapkan disucikan, yaitu dengan mengakui kelemahan makhluk di hadapan Khalik. Sejak dari takbir sampai salam, tiada yang tak menegaskan keagunganNya.
Salam adalah pamungkas salat yang mengajarkan kesucian hati. Menebar salam kepada siapa pun makhlukNya di semesta ini. Didahului salam kepada para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS, kita semua, terutama hamba-hamba saleh, dalam tahiyat akhir.
Jadi, pujian Subhana dalam Q.S. Al Isra’: 1 mewujud dalam salat. Pun kata asra bi abdihi, (Allah) yang telah memperjalankan hambaNya, menandaskan betapa hina kita.
Dengan senantiasa menjaga kesucian, menyadari Allah-lah yang Maha Suci dan kita kotor dan najis sehingga wajib selalu bersuci, makna dari Q.S. Thaha: 14, ”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku,” tergapai. Lurusnya tauhid mengajarkan betapa sesungguhnya kita mendirikan salat atas izin Allah dan setiap gerak salat adalah manifestasi gerakNya Sendiri.
Hal paling mendasar dari refleksi atas Isra’ Mi’raj ialah meneguhkan Allah Maha Suci atas Dzat, Sifat, Asma dan Af’al-Nya. Ditanya Talhah bin Ubaidillah tentang makna Subhanallah, dalam hadits riwayat At- Tirmidzi, Rasulullah menjawab, ”(Subhanallah) mensucikan Allah dari segala keburukan.” Karena itulah, syakwasangka benar tidaknya Muhammad mengalami Isra’ Mi’raj, dengan raga saja atau juga jiwanya, tidak lagi relevan bagi orang beriman.
Telah disinggung pula dalam refleksi awal, Muhammad diperjalankan Allah dalam Isra’ Mi’raj dalam kedudukannya sebagai hamba. Kehambaan seorang Muhammad disertai penghambaannya kepada Allah-lah yang mengantarnya, membuatnya diperjalankan, menembus Sidratul Muntaha, berjumpa dengan Allah.
Sesungguhnya ini menunjukkan pula keberpihakan Allah pada manusia: asalkan sadar diri sebagai hamba dan mau menghamba, niscaya dijumpaiNya.
Tentang bagaimana Allah meringkas jarak antara Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa dan menyingkat waktu perjalanan, sungguh mudah bagiNya. Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, dalam suatu kisah tentang bepergian, Rasulullah SAW berdoa, ”Allahumma ithwilanal ardha wa hawwin ‘alainas safara. Ya Allah lipatkanlah (jarak) bumi bagi kami dan mudahkanlah perjalanan kami.”
Ia yang telah menembus dimensi ruhaniah salat niscaya terbebas dari belenggu ruang dan waktu.
Dan jika jihad fii sabilillah dimaknai sebagai bersungguh-sungguh berjalan di jalan Allah, makna asra bi abdihi pun layak dilekatkan kepada ikhtiar ini. Niscaya Allah tidak akan membiarkan kesulitan menghalangi sang pejalan dan menjadikan kemudahan baginya. Ini termaktub dalam Q.S. Al-Hajj: 78. Rasul Muhammad menjadi saksi atas dirinya dan dirinya menjadi saksi atas segenap manusia. Dan Allah menjadi sebaik-baik penolong dan pelindungnya.
Akhir kata, Isra’ Mi’raj ialah momentum meneguhkan Kemahasucian Allah dan menyadari kehambaan kita. Meyakini betapa setiap diri diperjalankan menuju kesejatian. Dan oleh karena itulah, kita selayaknya berserah.
Hanya dengan demikian, hidup kita diberkahi dan Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya. Pada akhirnya, kita dapat memaknai hidup dengan lebih baik dan benar, serta berterimakasih pada siapa pun yang berperan. (Tamat)
Kolom terkait:
Menembus Dimensi Ruhaniah [Renungan Isra’ Mi’raj-1]
Nabi Menuntun Kita Ber-Isra’ Mi’raj
Salat, Proyek yang Belum Selesai?