Kamis, April 25, 2024

Kurban, Tradisi Penyembelihan, dan Sedekah Sosial

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
Puluhan warga antre mendapatkan kupon daging kurban Idul Adha 1438 H di Masjid Agung Tegal, Jawa Tengah, Kamis (31/8). Masjid Agung Kota Tegal membagikan 1.000 kupon kepada warga miskin dan orang telantar untuk ditukarkan daging kurban. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah.

 

Hari ini merupakan Hari Penyembelihan (yaum an-nahr) atau dikenal dengan Idul Adha atau Hari Raya Kurban, yang dikenal juga oleh orang-orang Jawa sebagai “Rayagung” (Hari Raya Besar). Idul Adha memang semestinya lebih istimewa dari Idul Fitri karena, selain waktunya yang lebih panjang hingga 3 hari (tasyriq), Hari Penyembelihan memiliki keterkaitan sejarah yang membumi, menjadi ritual seluruh umat manusia sejak zaman agama pagan: mempersembahkan atau mengurbankan hewan demi sesembahannya.

Praktik paganisme ini kemudian diperbaiki oleh Nabi Ibrahim AS, saat kurban yang disembelih dan dipersembahkan kepada Tuhan justru dagingnya harus dimakan bersama orang lain dan dibagikan. Ibrahim mengajarkan sedekah sosial melalui kurban, karena kurban semata-mata bukan hanya persembahan kepada Tuhan, tetapi juga berbagi dengan orang lain. Di saat paganisme mempersembahkan hewan dan darahnya kepada para dewa, dan hewan dibiarkan busuk, Ibrahim memperbaiki dan meluruskan praktik kurban secara paganis.

Melihat dari asal katanya, “qoriba”, dalam bahasa Arab yang kemudian dibendakan (mashdar) menjadi “qurban” lekat juga maknanya dengan istilah “kurban” yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut sebagai “persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, unta) yang disembelih pada hari lebaran haji”.

Tujuan mempersembahkan kepada Tuhan jelas karena seseorang merasa jauh kemudian ingin lebih mendekatkan (taqarrub) dirinya dan sarana yang sesuai dengan tradisi keagamaan adalah persembahan hewan yang disembelih atas nama Tuhan. Kurban hanyalah satu dari sekian banyak sarana menuju kedekatan seseorang dengan Tuhannya. Terlebih kurban mencakup dua makna sekaligus: mendekatkan diri kepada Tuhan dan juga masyarakat.

Penyembelihan dalam ajaran Islam benar-benar sangat manusiawi dan “berperikebinatangan”, di saat kita diserbu oleh berbagai produk daging kemasan yang kita tidak sepenuhnya yakin bagaimana cara penyembelihannya. Kita mungkin tak asing dengan praktik penyembelihan yang begitu sadis yang viral tersebar di media sosial, tanpa ada rasa sedikit pun dan tanpa berpikir bahwa binatang juga makhluk hidup yang perlu dihormati, para jagal tak ragu-ragu memenggal tanpa menyembelih.

Atau, banyak sekali cara penyembelihan yang bagi saya tak pernah memuliakan hewan, padahal mereka juga sama dengan kita, makhluk Tuhan. Ibrahim-lah yang mengajarkan kepada manusia, bagaimana menghargai binatang sembelihan, menyebutkan nama Tuhan ketika hendak disembelih, dan meyakini bahwa itu adalah perintah dari Tuhan.

Tradisi penyembelihan ini terus berlanjut hingga sampai di masa Rasulullah, satu-satunya Nabi yang berasal dari garis keturunan Ismail, putra Nabi Ibrahim yang diperintahkan Tuhan untuk disembelih. Rasulullah jelas orang yang sangat memuliakan hewan, terlebih hewan sembelihan.

Dalam salah satu hadis yang berasal dari Muslim dijelaskan bahwa dia menyatakan, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala hal. Jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara baik, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan baik. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” Menyenangkan hewan sembelihan berarti memuliakannya, tidak meninggalkan rasa takut  sedikit pun terhadap hewan yang akan disembelih.

Seluruh daging kurban yang disembelih secara baik dan menyebutkan nama Tuhan di dalamnya, dibagikan kepada khalayak, tak terkecuali, melampaui batas-batas sosial, agama dan keyakinan. Siapa pun berhak memperoleh daging kurban yang disembelih secara terhormat di hadapan Rumah Tuhan. Kurban tak mengenal sekat agama daan keyakinan karena dagingnya jelas peruntukannya, bukan untuk pribadi yang berkurban, tetapi dijadikan sedekah sosial.

Barangkali hampir sulit ditemukan tradisi yang berasal dari paganisme tetapi masih dipraktikkan hingga saat ini, kecuali masyarakat Muslim yang meyakini bahwa Idul Adha adalah hari raya besar penyembelihan sebagai bukti persembahan seseorang kepada Tuhannya. Dengan demikian, Islam sangat menghormati tradisi dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran para leluhurnya.

Maka, akan sangat aneh jika ada sebagian kecil umat Muslim yang justru masih mempersoalkan tradisi atau ritual keagamaan dalam masyarakat, padahal praktik kurban adalah tradisi atau ritual kuno yang juga dijalankan oleh seluruh agama. Islam, menurut saya, adalah agama yang paling menghargai dan menghormati tradisi, karena bisa dipastikan seluruh tradisi yang berasal dari agama lain pun diadopsi dan dimodifikasi sesuai syariat Islam, termasuk puasa dan ibadah haji.

Memaknai kurban sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan dan sekaligus melekatkan ikatan-ikatan sosial justru akan mempertegas citra agama bukan semata urusan pribadi, tetapi bagaimana dapat merekatkan ikatan sosial dengan tanpa menganggu sarana kedekatan dirinya dengan Tuhan. Orang yang berkurban pasti karena ingin mempersembahkan kepada Tuhannya, tetapi di saat bersamaan keinginannya untuk berbagi dengan pihak lain juga menguat.

Di sinilah barangkali bentuk nyata yang diistilahkan bahasa agama sebagai “hablum mina allah wa hablum mina an-naas” (hubungan simultan antara manusia dengan Allah dan sesamanya). Kedua hubungan ini harus seimbang dibangun karena, ketika salah satunya timpang, akan sangat mengganggu dinamika keseimbangan kehidupan manusia.

Momen penyembelihan hewan kurban yang bertepatan dengan bulan ketika seluruh umat Muslim melakukan ibadah haji juga memiliki makna kedekatan sosial yang sama. Ketika para jamaah haji berkumpul di Arafah justru disadarkan akan sebuah ikatan sosial yang begitu agung dalam balutan egalitarianisme atas nama Tuhan. Mereka dilarang berbuat buruk dan kerusakan selama berhaji tetapi diarahkan untuk membangun kedekatan sosial.

Oleh karena itu, wajar ketika Rasulullah menganggap bahwa “haji mabrur” itu identitas tertinggi yang disematkan kepada seorang Muslim, bukan karena ia selesai melaksanakan ritual haji, tetapi kata “mabrur” sejatinya mengandung kesempurnaan dari seluruh rukun Islam yang terpenuhi dengan baik. Kata “mabrur” yang terambil dari kata “birr” bermakna kebajikan yang lekat dengan kegiatan-kegiatan sosial.

Berkurban pada Hari Raya Idul Adha bukan semata-mata karena seseorang “mampu” berkurban, tetapi ada keinginan yang kuat dalam dirinya agar bisa lebih dekat dengan Tuhannya dan sekaligus lebih dekat dengan sesamanya. Kurban adalah “dekat”, menyatunya seseorang dalam ranah fisik dan metafisik, keseimbangan  antara kemanusiaan dan ketuhanan.

Kurban justru akan kehilangan maknanya jika sekadar memenuhi tuntutan sosial dan rugi jika identitas sosialnya dipermalukan karena tidak berkurban. Keinginan berkurban jelas karena ini adalah sarana pendekatan dirinya dengan Tuhan dan juga sesama manusia. Dirinya “bersedekah” kepada Tuhan dan sekaligus sedekah sosial yang akan merekatkan ikatan-ikatan sosial.

Berkurbanlah atas rasa syukur kepada nikmat Tuhan yang ditunjukkan dengan membangun ikatan sosial secara lebih baik.

Kolom terkait:

Haji dan Kemunculan Islam

Haji yang Zalim (Mengenang KH Ali Mustafa Yaqub)

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.