Sidang kasus dugaan penistaan agama atas terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pekan lalu kembali digelar untuk ke-15 kalinya. Sidang kali itu menghadirkan seorang pengurus Majelis Ulama Indonesia Pusat bernama Kiai Ahmad Ishomuddin yang dihadirkan sebagai saksi ahli dari pihak Ahok.
Kiai Ishomuddin juga dikenal sebagai salah satu pengurus Syuriah PBNU yang jelas memiliki reputasi sebagai seorang ulama, paling tidak memahami dan mendalami bidang-bidang kajian keislaman klasik sebagaimana yang selalu dicirikan oleh mereka yang secara kultural memiliki keterikatan dengan NU.
Yang menarik, kehadiran Kiai Ishomuddin tentu bukan hanya karena diminta oleh pihak pengacara Ahok sebagai ahli dalam bidang agama Islam, melainkan juga atas inisiatif pribadi dirinya untuk ikut menyuarakan pendapatnya soal bagaimana sebenarnya status dan kedudukan Ahok dilihat dari konteks sumber literatur keislaman terkait dirinya yang menyangkutpautkan ayat suci al-Qur’an yang tidak pada konteks sebenarnya.
Sebagaimana diinformasikan oleh banyak media, Kiai Ishomuddin punya pendapat berbeda dari para pendahulunya yang bernaung dalam organisasi MUI. Para wakil yang telah dihadirkan atas nama MUI justru selalu sepakat bahwa ucapan Ahok ketika berkunjung di Kepulauan Seribu dalam kegiatan pemerintahan mengandung unsur penistaan agama. Beberapa kalimat yang diucapkannya soal al-Maidah 51 dianggap menistakan al-Qur’an dan umat Islam.
Beberapa saksi ahli agama Islam yang dihadirkan dari unsur MUI semuanya sepakat bahwa pidato Ahok di Kepulauan Seribu dianggap menistakan agama Islam, kecuali Kiai Ishomuddin yang dengan asumsi keagamaannya menyatakan tidak ada unsur penistaan agama.
Kiai Ishomuddin menyandarkan pendapatnya dari hasil riset beberapa literatur klasik dan kontemporer Islam mengenai tafsir surat al-Maidah ayat 51. Kiai Ishomuddin, misalnya, berpendapat bahwa konteks sosio-historis mengenai surat ini tidaklah berkaitan langsung dengan pemilihan pemimpin (politik) tetapi lebih kepada larangan mengambil pihak Yahudi atau Nasrani sebagai “teman setia”. Karena, pada waktu itu, mereka justru seringkali memusuhi Nabi SAW.
Dengan demikian, dugaan pencatutan surat al-Maidah 51 oleh Ahok justru tidak bisa dilihat dalam konteks pemilihan pemimpin (politik), terlebih soal pemilihan gubernur. Kiai Ishomuddin berangkat dari situasi historis (asbabunnuzul) soal kondisi pada waktu itu sehingga surat al-Maidah 51 diturunkan kepada Nabi. Hampir seluruh kitab tafsir, saya kira, juga menyebut kurang lebih sama bahwa ayat yang disebutkan di atas tidak terkait dengan persoalan pemilihan politik apa pun.
Yang menarik bagi saya, Kiai Ishomuddin menjelaskan makna “aulia” atau “wali” yang dalam ayat 51 surat al-Maidah tersebut memiliki pengertian “musytarak” (banyak makna), sehingga kata ini tidak bisa monotafsir, tetapi multitafsir. Suatu lafadz atau kata jika secara bahasa tidak menunjuk pada makna atau pengertian tertentu, maka lafadz itu jelas memiliki cabang dalam pemaknannya, bisa lebih dari satu makna, sehingga para ahli bahasa menyebut makna atau lafadz tersebut sebagai “isytirak al-lafdz” (kata dengan banyak makna).
Memang, dalam bahasa Arab banyak kata yang mengandung banyak makna, walaupun redaksinya sama. Tidak hanya “wali” atau “aulia”, kata “shalat” pun tidak seluruhnya memiliki konotasi ibadah ritual, karena “shalat” secara bahasa bisa “doa” atau membaca shalawat. Atau bisa saja, misalnya, kata “insan” yang mengandung pengertian “seluruh manusia” jika dia musytarak bisa berarti salah seorang saja di antara manusia.
Musytarak yang melekat dalam sebuah lafadz dalam bahasa Arab tentu menjadi titik perbedaan di antara para ahli bahasa Arab dan itu sudah menjadi perdebatan yang lazim bahkan di antara para ahli ushul fiqh dan juga ahli tafsir. Maka, benar apa yang disampaikan Kiai Ishomuddin bahwa lafadz musytarak yang melekat dalam kata “wali” atau “aulia” tidak monotafsir tetapi multitafsir.
Hanya saja, barangkali, makna musytarak dalam sebuah lafadz, terutama yang tertulis dalam kitab suci al-Qur’an, ada yang memiliki keterikatan, apakah dia makna lughowiyyah (kebahasaan) yang berdiri sendiri atau memiliki keterkaitan secara langsung dengan makna syariah (ritual keagamaan). Ketika ada banyak perbedaan dalam memaknai lafadz musytarak, biasanya para ahli ushul fiqh selalu mengembalikan kepada makna asal-nya, karena hukum musytarak adalah lafadz yang punya batasan makna.
Para ahli ushul fiqh kemudian menyatakan bahwa setiap lafadz yang mengandung pengertian musytarak pasti berkaitan dengan petunjuk hukum, sehingga sesungguhnya tidak ada lafadz musytarak yang benar-benar berdiri sendiri tanpa ada kaitan apa pun dengan petunjuk hukum.
Dalam memaknai lafadz musytarak, yang dimaksud Kiai Ishomuddin dengan menyatakan bahwa kata “wali” atau “aulia” berarti “teman setia” justru benar karena berkait dengan sosio-historis ayat tersebut diturunkan. Namun, mungkin Kiai Ishomuddin lupa akan satu hal, bahwa sebagian besar ahli ushul fiqh sepakat mengenai lafadz musytarak yang ketika mengandung beragam makna, terlebih ketika disesuaikan dengan kontekstualisasi penggunannya (siyaq al-isti’mal), seharusnya ia dikembalikan kepada makna asalnya: “wali” atau “aulia” makna asal secara bahasa adalah “pemimpin”, bukan “teman setia”.
Di sinilah mungkin letak perbedaannya di antara ulama lain yang tergabung dalam MUI, yang telah terlebih dahulu memahami kaidah-kaidah ushul fiqh secara lebih mendalam. Namun demikian, sebuah perbedaan pendapat dalam hal apa pun, selama dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah merujuk kepada petunjuk-petunjuk keilmuan yang ada, adalah sebuah upaya ijtihad yang layak kita apresiasi sepenuhnya.
Kiai Ishomuddin menyayangkan kelalaian pihak MUI Pusat yang tidak tabayyun (konfirmasi) terlebih dahulu terhadap bukti-bukti kebenaran atas apa yang sebetulnya dilakukan Ahok. Di sini juga ada perbedaan pandangan mengenai prinsip “tabayyun”, di mana dalam perspektif Kiai Ishomuddin, tabayyun hendaknya memanggil pihak yang berperkara sehingga jelas apa sebenarnya persoalan yang terjadi.
Bisa jadi pihak MUI juga bertabayyun tidak dengan bertatap muka langsung, namun melihat video pidato Ahok secara utuh. Dan hal ini sudah merupakan sikap tabayyun tanpa harus menghadirkan orang-orang yang hadir dalam video pidato tersebut. Karena, bisa jadi, tabayyun yang terjadi dalam tradisi Islam adalah bahwa Nabi juga mengutus orang lain untuk mengecek kebenaran sebuah informasi, tanpa harus Nabi sendiri yang memanggil orang yang berperkara tersebut. Hasil dari laporan yang kemudian dibawa dan disampaikan kepada Nabi adalah bentuk praktik tabayyun yang juga ada dalam sejarah Islam.
Tentu saja sikap dan pendapat keagamaan Kiai Ishomuddin dalam sidang ke-15 soal dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok berimplikasi sangat luas, dari mulai hujatan, tuduhan dan bahkan pemecatan dirinya dari kepengurusan MUI. Ini adalah pil pahit yang harus ditelan oleh Pak Kiai dalam rangka mempertahankan pendapat keagamaannya yang tentu melawan arus kebanyakan pendapat yang lain dalam hal kedudukan dan status dugaan penistaan agama oleh Ahok.
Bagi saya, ini adalah hal biasa. Bagi seseorang yang mungkin keukeuh dengan pendapat keagamaannya untuk berbeda dengan yang lainnya. Namun, kondisi ini berada pada konteks di mana Kiai Ishomuddin berdiri dalam suasana sidang pembelaan yang tentu unsur dukungan kepada “yang dibela” oleh dirinya belum bisa lepas dari nuansa subjektivitas dirinya.
Tentu akan sangat berbeda jika pendapat Kiai Ishomuddin dipaparkan tidak dalam konteks persidangan, tetapi dalam konteks lain, seperti forum bahtsul masaail atau diskusi keagamaan. Di sinilah, saya kira, publik kemudian dapat menilai ke mana sebenarnya pendapat keagamaan dirinya ditujukan, apakah murni ijtihad keagamaan ataukah terseret bias kepentingan lainnya.