Kamis, April 25, 2024

Khotbah Idulfitri: Inikah Ramadan Terakhir Kita?

Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosenhttp://nadirhosen.net/
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا

Ramadan berlalu dan kita masih duduk termangu. Apa saja yang telah kita lakukan sebulan yang lalu? Tidakkah kita idamkan agar Ramadan tahun ini berbeda dari Ramadan sebelumnya? Bukankah kita telah berniat agar Ramadan tahun ini tumbuh kembali spirit cinta kita kepada ilahi?

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Ramadan adalah persembahan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Ketika Sang Khaliq, dalam sebuah Hadits Qudsi, telah berseru: “Puasa itu untuk-Ku”, maka setiap hamba bergetar saat memasuki Ramadan. Getaran jiwa yang terus dijaga dan dipelihara selama bulan suci. Ke manakah getaran itu kini ketika Ramadan telah berakhir?

Banyak yang berdebat menjelang datang dan berakhirnya Ramadan: bilakah hilal telah terlihat? Namun jarang mereka memahami bahwa hilal juga bisa merupakan metafora: sudah siapkah jiwa kita yang penuh kegelapan tercerahkan oleh munculnya hilal di awal Ramadan—cahaya untuk menyucikan diri. Maka, hari demi hari di bulan Ramadan, cahaya hilal perlahan semakin terang benderang hingga puncak purnama di pertengahan Ramadan.

Namun, perlahan cahaya bulan mulai meredup di pertengahan kedua, seiring fokus kita yang mulai berubah: kita mulai memikirkan baju baru untuk anak-istri; kita mulai menghitung hari kapan Tunjangan Hari Raya (THR) akan dibayarkan; dan kita mulai berkemas untuk mudik ke kampung halaman. Kita, iya saya dan Anda, telah menomorduakan Ramadan sejak dua minggu lalu.

Cahaya bulan semakin meredup, ketika pada sepuluh hari terakhir Ramadan, Allah menyediakan lailatul qadar untuk para kekasih-Nya, dan kita menjalani sepuluh hari terakhir, tak lagi peduli malam ganjil atau genap, dalam antrean panjang loket terminal dan airport. Kita telusuri tiga-empat malam terakhir Ramadan semakin khusyuk berada di tengah kemacetan jalur mudik. Iktikaf kita menyusuri panjangnya jalan raya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Maka, tiba-tiba diri kita telah berada di pengujung Ramadan dan semuanya kembali gelap, persis sebelum hilal Ramadan muncul di atas ufuk. Lalu kita kembali berdebat: bilakah hilal Syawal akan terlihat? Seakan kita alpa bahwa hilal Syawal pun kembali menjadi metafora kehidupan kita. Adakah terlihat hilal Syawal di hati kita?

Mengapa pula kita bergembira Ramadan berlalu, padahal Nabi Muhammad selalu bersedih saat Ramadan berakhir?

Apakah kita bergembira karena selesai sudah segala susah payah kita berpuasa sebulan penuh? Atau apakah kita bergembira Ramadan berakhir karena kita bisa kembali menjadi manusia “normal” yang kembali menerjang apa yang Allah haramkan, dan berebut mencari serpihan tersisa dari apa yang Allah halalkan?

Tuhan kami, oh inikah akhir sebuah Ramadan? Ketika kulihat senyum indah di wajah sanak saudara yang telah lama tak bersua. Kutengokkan ke kanan dan ke kiri, semua menyambut hari kemenangan. Semua memakai pakaian baru tanda mereka kembali ke fitrah mereka. Tapi mengapa tak kulihat cahaya hilal Syawal di wajah mereka. Tadi pagi sebelum berangkat salat id, aku bercermin, Allah Karim, tak kulihat pula tanda hilal Syawal di wajahku. Ampuni kami, yang bergembira Ramadan telah berakhir.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Benarkah Ramadan telah menjadi beban nasional? Lihatlah bagaimana Presiden dan Menteri sibuk mengatur segala sesuatunya agar harga kebutuhan bahan pokok tidak melejit gila-gilaan. Ramadan yang seharusnya menjadi bulan penghematan, malah menjebol tabungan kita sampai tetes terakhir.

Mungkin ini sebabnya kita bergembira ketika Ramadan berakhir: saat harga barang kembali “normal” dan konsumsi kita kembali masuk dalam rutinitas pengeluaran. Biaya tak terduga menjadi kembali bisa diprediksi. Oh, Rabbana, tak layakkah kami bergembira dengan berakhirnya Ramadan?

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan:

كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر

أن يتقبله منهم

“Para ulama berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan kepada bulan Ramadan, kemudian mereka berdoa lagi selama enam bulan agar Allah mau menerima amalan ibadah mereka tersebut (selama di bulan Ramadan).“

Boleh jadi mereka yang bergembira di bulan Ramadan penuh harap agar amalan ibadah diterima Allah. Bukankah dalam Hadits Qudsi yang lain, Allah juga telah mendeklarasikan  “Aku ini sebagaimana persangkaan hamba-Ku saja”. Bergembira di Hari Lebaran adalah tanda kita optimistis dan berbaik sangka bahwa Allah akan menerima ibadah kita.

Tak ada yang salah dengan bergembira saat Ramadan berakhir, bukan?

Tapi tak ada salahnya pula untuk cemas: jangan-jangan ini Ramadan terakhir bagi kita, orang tua, pasangan, anak, dan saudara. Masihkah kita bertemu kembali dengan Ramadan tahun depan?

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud RA:
“Sekiranya umatku mengetahui kebajikan-kebajikan yang dikandung bulan Ramadan, niscaya umatku mengharapkan Ramadan terus ada ‘sepanjang tahun’.” (HR. Abu Ya’la, ath-Thabrani, dan ad-Dailami).

Iya, Rasulullah benar bahwa begitu banyak keutamaan Ramadan. Bukankah para penceramah selama Ramadan tak henti-hentinya mengingatkan kita orang-orang berpuasa di bulan suci ini untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Inilah Ramadan, bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan.

Bukankah para ustaz dan ustazah telah mengutip sejumlah riwayat bahwa inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bahkan ada pula yang mengingatkan kita bahwa inilah bulan ketika bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bahkan begitu dahsyatnya bulan suci ini ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang seharusnya masuk neraka.

Pendek kata, Ramadan telah Allah jadikan sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dengan Allah Taala.

Tapi benarkah wahai jamaah sekalian: bahwa setelah kita tahu keutamaan Ramadan, kita menginginkan setiap hari menjadi Ramadan, setiap bulan menjadi Ramadan. Benarkah kita ingin Ramadan sepanjang tahun? Mari jujur pada diri kita. Tuhan, ampuni kami .…

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Allah SWT telah berfirman dalam surat Al’Araf 179 : “Dan sesungguhnya Kami jadikan (isi neraka jahanam) untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”

Selepas Ramadan, bagaimana dengan hati, mata, dan telinga kita? Apakah semuanya kembali menjadi lepas-bebas seperti yang Allah sindir dalam ayat di atas? Ramadan berlalu, apakah kita kembali menjadi binatang ternak yang tersesat? Semua nafsu hewani yang telah kita ikat dan belenggu di bulan suci Ramadan, apakah akan kita lepas kembali? Jika iya, untuk apa kegembiraan di Hari Raya ini? Tidakkah sepatutnya kita bersedih?

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Dosa kita kepada Allah semoga diampuni dalam bulan Ramadan, tetapi dosa kita kepada sesama manusia belum Allah hapuskan selama kita belum saling memaafkan. Inilah gambaran kaitan antara hablum minallah dan hablum minan nas.

Maka selepas salat, kita ulurkan tangan untuk bersalaman karena itu dapat menggugurkan dosa. Begitu pula sehabis sebulan berpuasa, kita bermaaf-maafan dalam rangka menjaga hablum minallah dan hablum minan nas.

Memaafkan itu bukan soal kita menyerah dan mengalah. Memaafkan juga bukan soal kita mengaku salah. Memaafkan lebih dari itu: kita berakhlak seperti akhlak Allah yang gemar memaafkan. Memaafkan bukan sekadar basa-basi: kita memaafkan atas nama Allah di akhir Ramadan agar kelak di akhirat tidak ada saling menuntut di antara kita.

Bagaimana dengan mereka yang begitu keji telah menzalimi kita atau telah merampas hak kita atau telah memfitnah kita secara keji? Tugas kita adalah memaafkan perbuatan mereka. Perkara Allah punya perhitungan sendiri terhadap efek dari perbuatan mereka, yakinlah semua ada hisabnya masing-masing. Maafkan dan serahkan kepada Allah.

Mungkin ini Ramadan terakhir kita. Mungkin ini Lebaran terakhir kita. Mungkin pula ini permintaan maaf terakhir kita.

Minal aidin wal faizin
Mohon maaf lahir batin
Selamat Idul Fitri 1438 H

Baca juga:

Idul Fitri: Melampaui Toleransi

Idul Fitri dan Kesinambungan Agama-Agama

Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosenhttp://nadirhosen.net/
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.