Minggu, November 24, 2024

Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
- Advertisement -

khutbah-jumat
[Ilustrasi]
Gagasan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, berdasarkan aduan sebagian masyarakat Muslim, untuk membatasi materi khutbah-khutbah Jum’at yang memuat anjuran kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda, patut didiskusikan manfaat dan risiko-risikonya. Menteri Lukman membantah bahwa yang ia maksudkan adalah sertifikasi khatib. Menteri Agama lebih menitikberatkan materinya, mengingat sangat sulit untuk melakukan sertifikasi, seperti Wakil Presiden Jusuf Kala juga berpendapat.

 

Khutbah Jum’at adalah bagian dari kewajiban Muslim menjalankan salat, mengingat Allah dan meninggalkan aktivitas seperti jual-beli dan lain-lain untuk sementara waktu, dan setelah itu diajak bekerja kembali mencari karunia Allah (Surat al-Jumu’ah: 9-10).

Dalam rangkaian itu, ada khutbah atau ceramah, sebagai media penyampaian ajaran-ajaran Islam secara singkat, mengingatkan para jemaah untuk menjaga kebajikan (ketakwaan), dan bersikap adil, dan sekaligus kesempatan bagi komunitas Muslim, untuk berkumpul di sela-sela pekerjaan dan kegiatan.

Khutbah adalah bagian dari kegiatan dakwah atau mengajak secara lisan. “Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan perdebatan yang paling baik” (Surat al-Nahl:125). Ajakan ini perlu dipahami, karena hanya Allah yang lebih tahu siapa yang sesat dan siapa yang mendapatkan petunjuk dari- Nya. Ini artinya, seorang khatib, sejatinya menghindari penghakiman negatif seperti kafir, musyrik, munafik, bid’ah, sesat, dan sebagainya kepada orang lain.

Ajakan dengan hikmah bisa dipahami sebagai pengetahuan dan kearifan. Ini artinya, ajakan, bukan pemaksaan, dan bukan berdasarkan kepalsuan, misinformasi. Tidak pula memuat ghibah dan namimah, rumor tentang orang lain, baik benar ataupun tidak benar, yang orang lain itu bisa terluka. Apalagi fitnah. Pelajaran yang baik dengan cerita-cerita, puisi, ungkapan-ungkapan Arab atau daerah, dan penyampaian yang tidak bernuansa intimidasi dan apalagi seruan untuk berbuat kekerasan dan pengrusakan.

Jika harus berdebat, maka perdebatan harus terbaik. Menariknya, khutbah Jum’at secara konvensional, berjalan satu arah, tanpa ada tanggapan atau pertanyaan dari jamaah. Khutbah-khutbah atau ceramah-ceramah selain Jum’at biasanya diikuti dengan tanggapan, pertanyaan, dan dialog.

Pertanyaannya, dalam konteks Indonesia, sejauhmana pemerintah dan dalam hal ini kementerian agama, berperan? Apakah Pancasila dan UUD45 memungkinkan pembatasan terhadap materi khutbah umat beragama? Jika ditujukan untuk umat Islam, lalu bagaimana dengan khutbah-khutbah dalam komunitas agama-agama lain yang ada?

Bagaimana menjalankan dua tanggung jawab pemerintah yang seolah bertentangan: antara memberikan kebebasan beragama di satu sisi, dan melindungi dari permusuhan dan gangguan ketertiban masyarakat di sisi lain?

Di Indonesia, berbeda dengan banyak negara-negara lain, khatib dan penceramah agama bukan pegawai negeri atau tidak ditentukan pemerintah, tapi oleh pengurus masjid atau tokoh-tokoh agama di masing-masing tempat.

- Advertisement -

Berbeda dengan beberapa agama lain yang memiliki tradisi khutbah yang lebih terpusat, terorganisir, dan melalui proses pendidikan dan pelatihan yang ketat dan lama, dalam tradisi Islam pada umumnya, tidak ada pelatihan penceramah agama dan pembatasan siapa yang secara sah bisa menjadi khatib Jum’at.

Ada kecenderungan, siapa pun yang tahu satu ayat, merasa berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain. Tradisi dan karakter Islam tampak lebih bebas dan karena bebasnya, muncul berbagai kecenderungan dan aliran keagamaan, sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan politik pemimpin dan masyarakat.

Pada saat yang sama, khutbah Jum’at mewakili sikap keberagamaan masyarakat pada umumnya, dan sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat kebanyakan. Pandangan-pandangan yang dianggap “progresif” atau “liberal” kurang mewakili pandangan keagamaan sebagian besar jamaah, dan kurang mendapatkan tempat di masjid-masjid pada umumnya. Khatib-khatib seperti Prof Nurcholish Madjid yang materinya luas dan inklusif, misalnya, masih jarang ditemukan di Indonesia.

Dalam manual-manual khutbah, seorang khatib harus memiliki wawasan yang luas, harus berani menyampaikan kebenaran, tapi juga harus bijak, sopan, tidak sombong, tenang, tidak terburu-buru, memahami tingkat pengetahuan jamaah, memberikan teladan, dan berpakaian secara wajar. Khutbah juga tidak boleh terlalu panjang, tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, dan harus menarik.

Seorang khatib biasanya mengutip ayat-ayat, hadis, fatwa, atau pendapat ulama. Adakalanya bersifat deduktif, ketika ia mengutip ayat, lalu menggunakan ayat itu untuk menilai fenomena yang menjadi isu publik. Adakalanya bersifat induktif, merujuk pada kasus dan ilustrasi fenomena kekinian lalu mengutip ayat atau hadis. Kontekstualisasi dan tekstualisasi ini terjadi, dan tergantung masing-masing khatib, ada yang lebih dominan. Khutbah juga contoh tradisi diskursif Islam yang disebut antropolog Talal Asad.

Siapa dan bagaimana pemerintah menentukan bahwa khutbah seseorang bersifat politik. Apa arti dan cakupan politik? Apakah materi khutbah memuat sekadar dasar-dasar dan pandangan politik yang menurut khatib berdasarkan teks-teks Islam, yang tidak mengandung ujaran kebencian kepada mereka yang berbeda?

Ataukah khutbahnya memuat anjuran atau penolakan calon politikus tertentu atau partai politik tertentu dengan mengutip ayat-ayat, hadis, atau pendapat ulama? Bagaimana pemerintah bisa membedakan antara khutbah yang bersifat politik nilai substantif seperti keadilan dan khutbah yang memuat politik praktis perorangan?

Bagaimana pemerintah memberikan kebebasan bagi para khatib yang meyakini bahwa Islam tidak membedakan urusan agama dan urusan politik, dan meyakini bahwa khutbah adalah medium mereka untuk menyalurkan pandangan itu?

Bagaimana dengan khatib yang mendukung khalifah Islam, dan mengkritik Pancasila, demokrasi, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik tersurat maupun tersirat? Apakah ini termasuk politik praktis yang tidak boleh ada dalam khutbah atau termasuk politik nilai substantif yang boleh ada dalam khutbah? Sejauhmana khutbah dianggap memuat unsur makar terhadap pemerintah yang sah?

Ini semua bisa dinilai melalui proses hukum. Yang bisa dilakukan adalah membedakan antara kebebasan beragama dan ujaran kebencian (hate speech) yang memiliki implikasi hukum positif di mana pun, termasuk di Indonesia.

Kebebasan beragama artinya memberikan ruang yang setara kepada berbagai pemahaman: politik dan kultural, tradisionalis, modernis, konservatif, moderat, radikal, progresif, dan liberal, ataupun tanpa label apapun, sejauh tidak menganjurkan pidana kebencian dan permusuhan kepada yang lain, dan merugikan kedamaian dan kemaslahatan umum, baik Muslim, maupun non-Muslim, dan warga negara Indonesia.

Pembatasan materi khutbah berpotensi memberi beberapa manfaat. Pertama, para khatib akan menjaga materinya dan improvisasinya agar tidak memuat anjuran permusuhan, intimidasi, kafir mengkafirkan, labelisasi sesat, munafik, dan label-label negatif dan melukai orang dan kelompok lain, baik sesama Muslim maupun terhadap umat beragama lain. Jamaah pun mendengarkan hanya materi-materi yang mengajak kepada ketakwaan, kebajikan, keadilan, perdamaian, rahmat dan kasih sayang, dan lain-lain yang positif dan menyejukkan.

Kedua, masjid menjaga fungsi utamanya sebagai tempat ibadah dan bukan sebagai tempat kampanye politik kekuasaan dan atau anjuran politik praktis lainnya, meskipun masjid dapat menjadi pusat pendidikan, kultural, dan sosial.

Namun demikian, ada kesulitan-kesulitan jika materi khutbah diatur pemerintah. Pertama, penafsiran terhadap materi khutbah yang bermasalah dan tidak bermasalah bisa berbeda dan berubah dari pemerintah yang satu kepada pemerintah yang selanjutnya.

Kedua, khatib akan merasakan bahwa kebebasan beragama mereka terkungkung, termasuk kebebasan menyampaikan apa yang mereka percaya benar dan Islami, dan menolak apa yang mereka anggap batil dan tidak Islami. Mereka akan berdalih bahwa setiap Muslim berhak dan berkewajiban menyampaikan ayat sebagai kebenaran meskipun kebenaran itu pahit.

Kesulitan kedua, tingkat pengetahuan agama para khatib di masjid-masjid di Indonesia sangat beragam dan timpang, mulai dari mereka yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan fasih, tidak mengetahui bahasa Arab, ilmuwan yang hanya bisa membaca terjemahan, sampai khatib yang juga ‘alim memiliki ilmu agama yang luas dan dalam dan ilmu pengetahuan umum, termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, ilmu bumi, ilmu politik, dan sebagainya.

Pengetahuan khatib tentang mengajak kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang kemungkaran (nahi munkar) juga berbeda. Ada yang memahami nahi munkar juga termasuk melarang memilih Kristen untuk menjadi gubernur, termasuk mengecam aliran-aliran agama yang mereka anggap berbeda, seperti Syiah, Ahmadiyah, dan liberal, sedangkal apapun dan sekonservatif apapun pendapat ini bagi kalangan lain.

Jika khutbah yang konservatif dan politik praktis dilarang, maka ada preseden untuk melarang khutbah yang dicap progresif dan liberal. Misalnya yang membolehkan Muslim LGBT, pluralisme agama, sekulerisme, kesetaraan jender, sosialisme, meskipun mereka mendasarkan itu pada Islam. Pengaturan materi khutbah kurang sejalan dengan karakter kemajemukan dan kontradiktif Islam.

Karena itu, lebih baik melihat khutbah Jum’at seperti ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, dan tindakan-tindakan lain, dan menyerahkannya kepada proses hukum positif yang ada. Pemerintah dan Kementerian Agama dapat mengkaji khutbah-khutbah yang ada, dan mengeluarkan anjuran dan petunjuk khutbah tentang tujuan, maksud, dan etika berkhutbah, namun tidak harus mengeluarkan aturan positif yang berimplikasi sangsi dan hukuman. Pemerintah dapat tetap menjalankan fungsi pengelola kemajemukan dan ketertiban masyarakat tanpa mengeluarkan aturan hukum baru.

Pada saat yang sama, para pengurus, jamaah, dan komunitas agama harus diberikan ruang yang lebih besar untuk menilai khutbah-khutbah yang disampaikan di masjid-masjid mereka, karena merekalah yang memilih penceramah-penceramah itu.

Masyarakat juga harus semakin dewasa dan kritis untuk memilah anjuran kebaikan dari ajakan keburukan dan permusuhan, dan menilai apakah khutbah-khutbah yang mereka dengarkan membawa manfaat atau mudharat bagi kehidupan pribadi mereka dan kemaslahatan umum.

Jamaah bisa meninggalkan khutbah yang tidak cocok dengan pandangan mereka. Jamaah dan masyarakat juga berhak untuk mengingatkan khatib, atau pengurus masjid, dan bahkan melaporkan kepada pihak pemerintah atau aparat hukum jika mereka memiliki dasar adanya unsur-unsur anjuran kebencian dan permusuhan.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.