Sabtu, April 20, 2024

Khilafah adalah Sebuah Kekhilafan

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Ribuan mahasiswa mendeklarasikan perjuangan penegakan Syariah Islam di Indonesia di kampus IPB pada Maret lalu.

Judul tulisan “Khilafah adalah Sebuah Kekhilafan” ini merupakan tema seminar kebangsaan yang diselenggarakan oleh Jaringan Ulama Muda Nusantara (Jumat) dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dengan nara sumber utama Prof. Nadirsyah Hosen pada hari ini, 8 Mei 2017.

Barangkali muncul pertanyaan, bagaimana perjalinan semiotis antara khilafah dan kekhilafan? Patut diketahui bahwa perjalinan ini bukan hanya pada partikel “ke” sebagai awalan dan “an” sebagai akhiran untuk mencermati perbedaan etimologinya. Akan tetapi, ada berbagai bangunan terminologis dan perspektif yang bisa digunakan sebagai cara atau pendekatan untuk menjelaskan duduk perkara bahwa khilafah adalah kekhilafan.

Untuk menjelaskan duduk perkara ini, mari kita cermati pengertian “kekhilafan” yang diuraikan dalam berbagai kamus bahasa Indonesia: “kekhilafan adalah keadaan tertentu yang dialami oleh seseorang yang membuat keputusan salah. Dalam putusan itu, tanpa sadar bahwa seseorang yang membuat putusan tersebut telah menyajikan realitas objektif secara salah.”

Berangkat dari penjelasan semantik kekhilafan, lebih lanjut kita cermati berbagai kekhilafan yang dilakukan para aktornya yang selalu getol meresonansikan khilafah. Pertama, kekhilafan dalam menjadikan hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim yang digunakan sebagai alasan historis dan normatif, bahwa khilafah harus direaktualisasikan.

Nadirsyah Hosen dalam tulisan Sekali lagi soal hadits khilafah ‘ala minhajin nubuwah dalam portal “Mengkaji Islam Kontekstual bersama Gus Nadir” menguraikan secara detail bagaimana kedudukan hadis Habib bin Salim yang dlaif (lemah) dan bagaiman peran Habib bin Salim dalam memanfaatkan “khilafah” sebagai modus politik untuk memperoleh kepentingan dirinya.

Kedua, kekhilafan dalam memahami khilafah sebagai sistem negara yang pernah terjadi pada masa lalu yang menggabungkan antara otoritas agama dengan politik kekuasaan. Padahal, dalam berbagai literatur diuraikan bahwa khilafah adalah konstruksi sejarah yang tidak memiliki pijakan naqliyah (Qur’an dan Hadits) untuk diakui sebagai rujukan epistemologinya bahwa khilafah adalah ajaran Islam maupun warisan kenabian yang perlu direaktualisasi.

Profesor Mun’im Sirry dalam tulisan Pemisahan Khilafah dan Otoritas Agama menggambarkan secara umum bagaimana kecelakaan sejarah yang terjadi pada perjalanan khilafah yang kini ingin dibangkitkan lagi.

Ketiga, kekhilafan dalam memahami sejarah kepemerintahan yang dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah. Sesungguhnya Nabi Muhammad tidak mendirikan negara berbasis agama seperti “Negara Islam”. Akan tetapi, Nabi merekognisi keberadaan Madinah yang secara geografis berawal dari Yatsrib menjadi Negara Madinah. Merujuk pada buku Khalil Abdul Karim Negara Madinah: Politik Penaklukan Suku Arab, secara geopolitik, Negara Madinah merupakan sistem pemerintahan yang mengapresiasi banyak kepentingan yang ada di Madinah.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad melahirkan “Piagam Madinah” sebagai dasar konstitusinya agar semua rakyat Madinah bisa menjalankan kehidupannya dengan baik. Bahkan, untuk menjaga keluhuran Piagam Madinah, Nabi tidak segan bersikap tegas kepada siapa pun, baik Muslim, Yahudi, Majusi, Nashara yang melanggar ketentuan Piagam Madinah. Perihal ketegasan Nabi diuraikan dalam tulisan Ahmad Sahal, HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan.

Itulah beberapa kekhilafan yang dilakukan oleh penganut khilafah dalam memahami dan mengamati realitas sejarah sosial pergumulan khilafah pada masa lalu. Di luar itu, tentu masih banyak lagi bagaimana dokumen sejarah yang menjelaskan perihal khilafah yang tidak memiliki basis epistemologi yang kuat, terutama yang berakar pada wilayah teologis.

Lalu, ketika sekelompok umat beragama yang sebagiannya terepresentasi dalam perkumpulan Hizbut Tahrir (HT) masih bersikukuh untuk merevivalisasi khilafah di Indonesia, di mana basis kebangsaannya sudah dikerangkai oleh Pancasila dan UUD 45, dan demokrasi—merupakan mekanisme kepemerintahan yang ditegaskan dalam sistem nasional (nation-state)—bukankah yang bersangkutan hanya mereproduksi sebuah kekhilafan yang sebenarnya sistem khilafah sudah mengalami kafanaan dan kepunahan (the end of khilafah).

Wilayah Keterasingan
Dalam kondisi ini, sekelompok orang yang masih bersikukuh untuk menegakkan khilafah sesungguhnya akan terjerembap ke dalam kubangan keterasingan. Yaitu, suatu kondisi antara (in between) di mana satu sisi seseorang tercerabut dari akar sejarah (pengetahuannya) dan di sisi lain tidak bisa mengimajinasikan masa depan (pemikirannya) dengan baik dalam kehidupannya.

Secara sosiologis, kondisi ini akan berdampak pada munculnya suasana disorientasi dalam merajut corak kebangsaannya. Di antara potret yang bisa digambarkan adalah ketika seseorang yang bersikukuh dengan khilafah, ketika dasar negara yang diakui hanya basis nilai yang merujuk pada agama tertentu, sementara di tempat dia berpijak adalah negara yang basis nilai kebangsaannya merujuk pada Pancasila, UUD 45, dan demokrasi. Maka, dusta apalagi yang akan ditunjukkan kepada republik ini?

Di samping itu, segala infrastuktur dan berbagai fasilitas dan layanan yang ada di negara Indonesia adalah hasil kesepakatan yang ditentukan oleh semua stakeholders dengan mengacu kepada mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan. Sementara pihak yang bersikukuh dengan khilafah secara diam-diam menikmati berbagai fasilitas tersebut, mulai dari lahir hingga mati. Maka nikmat apalagi yang akan diingkari pada sistem nilai kebangsaan Indonesia yang berdasar negara Pancasila?

Belum lagi proses perjuangan para pahlawan yang rela berkorban sepenuh jiwa dan raga untuk kemerdekaan Indonesia. Ketika segala impian yang membuncah di benak mereka adalah menginginkan negara yang aman, tentram, damai, makmur, sentosa. Untuk menciptakan semua impian itu adalah melalui kerangka kebangsaan yang sudah disepakati berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Lalu, dalam perkembangannya ada sekelompok orang yang ingin mengingkari hasil perjuangan para pahlawan dengan cara ingin mengubah dasar negara hanya karena berambisi ingin menegakkan ajaran agamanya. Sementara realitas kebangsaan kita dilandasi oleh kemajemukan. Maka, kemunafikan apalagi yang ingin diekspresikan di bumi pertiwi ini?

Dengan demikian, ketika ada di antara mereka yang masih bersikukuh dengan khilafah, sementara mereka sedang berada di wilayah keterasingan, dan ironinya mental keterasingan ini diinjeksi dengan berbagai adagium keagamaan yang diyakini sebagai perintah Tuhan, seharusnya yang bersangkutan segera sadar diri, agar kondisi disorientasinya tidak semakin kronis. Adapun jalan yang perlu dilakukan untuk meleburkan segala bentuk kekhilafannya adalah dengan melakukan taubat konsitusi.

Taubat Konstitusi
Secara teologis, taubat merupakan sebuah mekanisme pengakuan atas segala dosa yang sudah dilakukan. Di dalam al-Qur’an, frasa taubat dijadikan sebagai titik tolak untuk menuju perubahan. Di antara yang lazim dilakukan untuk memasuki tahap awal perubahannya adalah dengan meminta ampunan (istighfar).

Dalam konteks kehidupan bernegara, mekanisme taubat yang ditegaskan dalam al-Qur’an dapat dikontekstualisasikan menjadi taubat konstitusi. Yaitu, segala bentuk kekhilafahan yang dilakukan dengan cara ingin merongrong sendi-sendi keindonesiaan yang sudah dilandasi oleh Pancasila dan UUD 45, serta pelaksanaan keduanya diatur melalui sistem demokrsi, harus disadari bahwa tindakan itu adalah dosa konstitusi.

Dalam dosa konstitusi, sanksinya tidak hanya berkaitan dengan bagaimana kita mempertanggungjawabkan di kemudian hari (akhirat). Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah mempertanggungjawabkan di dunia, terutama bagi negara di mana dipijak. Sebab, dosa konstitusi membutuhkam pertaubatan sesegera mungkin agar perilaku khilafnya tidak bermetamorfosis sebagai virus endemik yang bisa menjalar ke mana-mana dan dapat mempengaruhi orang lain.

Dalam konteks ini, taubat konstititusi memberikan sebuah panduan sederhana untuk meleburkan dosa-dosa konstitusi yang diakibatkan dari perilaku khilafnya. Di antara panduan yang menjadi proses pengampunannya adalah sebagai berikut. Pertama, berjanji untuk setia kepada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 45 sebagai landasan konstitusi.

Kedua, berjanji untuk menaati pemerintah yang segala proses kebijakannya dikerangkai oleh semangat demokrasi sebagai sarana untuk menciptakan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan.

Ketiga, berjanji untuk mengajak semua elemen yang selama ini masih mengindoktrinasikan paham khilafah agar sadar diri, sekaligus tidak akan mengulangi untuk melakukan perongrongan lagi terhadap sendi-sendi negara. Keempat, berjanji untuk merapatkan barisan bersama seluruh rakyat untuk menjaga NKRI dan mengapresiasi kebinekaan yang menjadi modal sosial keindonesiaan.

Kelima, berjanji untuk meyakini bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman yang disertai pula dengan penghormatan kepada simbol-simbol negara serta menjalankan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia.

Kelima janji ini merupakan jihad konstitusi yang perlu disematkan dalam sanubari kita sekaligus direjuvenasi dalam berbagai ikhtiar kebangsaan kita. Agar Indonesia menjadi negara yang rahmatan lil ‘alamin sekaligus baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.