Saya selalu saja heran dan bingung manakala mendengar dan membaca berita yang mengaburkan makna beragama. Betapa tidak, selalu saja muncul berita-berita yang membuat kita terhenyak dan terpaksa berpikir ulang dalam memaknai agama itu.
Berita terbaru adalah seputar penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/2/2018). Penyerangan ini menyebabkan beberapa korban menderita luka-luka dengan rincian: seorang pastor bernama Romo Edmund Prier (asal Jerman), tiga orang jemaat gereja dan seorang polisi (Kompas.com). Menurut berita, pelakunya bernama Suliono, seorang mahasiswa asal Banyuwangi, Jawa Timur. Untuk sementara, motif belum diketahui.
Sebelumnya, masih di provinsi yang sama, tepatnya di Bantul santer terbetik berita ada aksi penolakan massa terkait aksi bakti sosial (baksos) dari agama tertentu (baca: gereja) di lokasi tersebut. Mereka menolak bakti sosial tersebut karena ditengarai ada aksi kristenisasi.
Saya tak tahu pasti, apakah kedua peristiwa ini ada hubungannya atau tidak. Tetapi kalau dilihat samar-samar bisa jadi. Sekali lagi, mudah-mudahan prediksi saya salah.
Nah, terkait bakti sosial dan dugaan kristenisasi, katolikisasi, islamisasi, hinduisasi, buddhaisasi, konghucuisasi dan ribuan “isasi” keimanan lainnya, adakah hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan agama? Jika ada yang menganggap hal itu ada, maka itu memang ada. Terlepas bagaimana kita memandangnya.
Sebaliknya, jika ada yang menafikannya, memang begitulah karena tidak semua bantuan itu bermotif “asi”. Banyak juga yang murni atas nama kemanusiaan.
Kelemahan Agama
Kembali ke persoalan kelemahan agama. Saya menyebut ini kelemahan agama karena masing-masing pemeluknya gagal memaknai makna harfiah agama itu sendiri. Kita tahu agama berarti tidak kacau-balau. Sementara cukup banyak peristiwa global, regional, dan nasional yang mencerminkan kebalikan makna agama itu sendiri.
Kita menjadi kumpulan pemeluk agama yang tampak kacau-balau, tidak percaya diri, merasa eksklusif dan kerap mengkambinghitamkan satu sama lain jika ada di antara kita yang beralih agama dengan bermacam alasan.
Hal ini karena semua agama mengajarkan umatnya untuk menyiarkan agama tersebut ke semua bangsa dan menjadikan mereka pemeluknya. Pertanyaannya, kenapa semua agama mengajarkan hal yang sama, sementara di sisi lain semua agama mengajarkan dirinyalah yang terbaik.
Coba bayangkan, betapa kacaunya agama dan pemaknaan agama itu jika kita hanya memaknai baris per baris dari penggalan ayat-ayat kitab suci kita masing-masing tanpa mau merujuk berbagai literatur pendukungnya, berikut suasana dan situasi yang juga melingkupinya.
Di sinilah terjadi proses kompetisi antaragama. Oleh karena itu, kita sebenarnya perlu memakai “sedikit” logika dan nalar kita sebab sesungguhnya agama itu warisan, bukan sesuatu yang menempel di diri kita semenjak kita lahir. Bukan pula sesuatu yang kita resapi sebelum kita memutuskan memeluknya. Kita hanya sekadar mengikuti agama yang diberikan oleh orangtua kita.
Maksud saya adalah, jika kita memang betul-betul memahami agama secara universal, yang tidak kacau-balau, yang mengajarkan cinta kasih, yang merupakan rahmat ilahi, maka sejatinya kita tidak akan pernah mau mencampurbaurkan aksi kemanusiaan dengan agenda lain, semisal pemurtadan agama dengan iming-iming apa pun, termasuk rayuan-rayuan ekonomi sebagai salah satu faktor terbesar manusia beralih dari satu agama ke agama lain.
Terlepas masing-masing agama kita saling mengkapling kebenarannya, kita sebagai end user agama perlu merenungkan klaim kebenaran itu. Apakah memang Sang Pencipta sengaja menciptakan suasana chaos di antara kita para pemeluk agama?
Apakah kita ini adalah “kelinci percobaan” dari sebuah laboratorium raksasa kehidupan, di mana penghuninya dicobai ini dan itu, dilihat ketahanannya menghadapi ini-itu? Atau pernahkah kita berpikir bahwa semua “tuhan” dalam semua agama itu adalah anasir yang rasis, yang selalu mengedepankan kepentingannya semata?
Di sinilah letak ironi agama itu, yang kerap membuat kita ruwet dan penuh prasangka buruk dalam menjalaninya, terutama apabila bersinggungan dengan bantuan para pemeluk agama yang lain yang rentan menimbulkan dugaan “isasi”. Atau, barangkali hanya saya saja yang gagal paham dalam memaknai tujuan keberagaman agama sebagai salah satu jalan memaknai ke-Esa-an-Nya dalam kemajemukan bentuk yang Ia amini?
Kolom terkait:
Kekerasan dalam Al-Qur’an Bukan Problem Interpretasi
Benarkah Agama Menyebabkan Tindakan Kekerasan? [1]