Rabu, April 24, 2024

Kekerasan Kitab Suci dalam Perspektif Yahudi

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

holy-bible
[Ilustrasi]
Apakah Kitab Suci membenarkan kekerasan? Pertanyaan ini terasa mengada-ada bagi mereka yang menganggap agama hanya mengajarkan hal-hal yang baik, seperti perdamaian, tolong-menolong, persamaan, dan keadilan. Kenyataannya, Kitab Suci menggambarkan kekerasan dalam beragam bentuk. Dari himbaun lisan dan praktik kekerasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sentral hingga Tuhan sendiri digambarkan membenarkan bahkan melakukan kekerasan sendiri.

 

Tulisan ini mengawali refleksi berseri tentang kekerasan dalam Kitab Suci, yang akan dimulai dengan “warisan bermasalah” (troubling legacy) ini dalam tradisi Yahudi. Barangkali sebagian pembaca akan kaget, bahwa ayat-ayat kekerasan dalam Kitab Suci kaum Yahudi, yang disebut Alkitab Ibrani (Hebrew Bible), jauh lebih pervasif dan sadis dibandingkan dalam al-Qur’an.

Dalam buku Does the Bible Justify Violence (2004), diedit oleh John Collins, dikutip pernyataan Mieke Bal sebagai berikut: “The Bible, of all books, is the most dangerous one, the one that has been endowed with the power to kill.” Kitab paling berbahaya? Dia merujuk pada banyak ayat dalam Alkitab Ibrani, yang dalam Kristen disebut “Perjanjian Lama.” Eric Seibert dalam The Violence of Scripture (2012) memilah antara kekerasan yang ditolak (wrongful violence) dan kekerasan yang diabsahkan (virtuous violence), dan sampai pada kesimpulan terkait “the pervasiveness of virtuous violence.”

Bukan hanya orang-orang Kristen yang hidup di abad ke-21 yang “terganggu” dengan kekerasan dalam Alkitab. Marcion dari Sinope merupakan salah seorang pemimpin penting dalam sejarah awal Kristen yang bahkan menolak memasukkan Perjanjian Lama sebagai bagian dari Kitab Suci umat Kristiani karena Alkitab Ibrani menggambarkan Tuhan begitu sangar.

Bagaimana kekerasan Kitab Suci ini dipahami oleh umat Yahudi? Sebelum mendiskusikan pertanyaan ini, kita bicarakan dahulu bentuk-bentuk kekerasan dalam Alkitab Ibrani itu.

Mengajarkan Kekerasan?

Cerita kekerasan dimulai dari kitab paling awal dalam Alkitab Ibrani, yang dikenal dengan “bereishit” atau “kitab kejadian”. Kitab ini mengawali dengan mengapa Tuhan menciptakan alam raya bagi manusia dan bagaimana manusia gagal mewujudkan harapan Tuhan hingga dijatuhkan hukuman. Cerita kejatuhan Adam dan Hawa diikuti oleh drama pertumpahan darah yang melibatkan dua orang bersaudara: Kain dan Habel.

Itulah kisah kekerasan pertama, yang memunculkan banyak pertanyaan. Mengapa Tuhan menerima persembahan Habel dan menolak Kain? Apakah itu menunjukkan rivalitas antara penggembala dan petani?

Tetapi, Alkitab tidak tertarik dengan pertanyan itu. Yang diceritakan cuma bagaimana Habel memiliki apa yang diinginkan oleh Kain. Ini seolah membenarkan teori yang menyebutkan perbedaan kepentingan memang akan berakhir pada bentuk-bentuk kekerasan.

Pembunuhan Habel memang dilaknat. Tapi yang cukup mengganggu pembaca modern ialah bagaimana Kain diceritakan berhasil membangun sebuah kota, yang melambangkan awal mula peradaban manusia. Artinya, peradaban pertama dibangun oleh seorang pembunuh.

kitab-perang
[ilustrasi]
Kisah-kisah dalam Alkitab Ibrani kadang menggambarkan keterlibatan Tuhan dalam kekerasan itu sendiri. Baca kisah banjir dan Nuh dan beberapa episode sebelum dan sesudah eksodus yang dipimpin oleh Musa. Bagaimana kalau kita membaca kisah-kisah tersebut dari kacamata korban? Bukankah yang menjadi korban adalah termasuk mereka yang tak berdosa, termasuk anak-anak?

 

Barangkali kisah paling sadis yang diperintahkan Tuhan ialah pembunuhan massal terhadap orang-orang Amalek, yang direkam dalam 1 Samuel 15.  Dalam ayat 3, Nabi Samuel memerintahkan Raja Saul untuk memumpas habis orang Amalek hingga tak tersisa: perempuan, anak-anak, bahkan hewan sekalipun.

Alkitab mengisahkan begitu detail tentang pemburuan mereka “mulai dari Hawila hingga ke Syur, di sebelah timur Mesir.” Disebutkan, sementara penduduk Amalek ditumpas habis, Raja Saul memutuskan untuk menangkap raja mereka, Agag, hidup-hidup dan juga membiarkan sejumlah kambing pilihan. Dan Tuhan pun murka karena perintahnya tidak dijalankan sepenuhnya.

Kita bisa berdebat tentang alasan kenapa Tuhan begitu murka hingga melengserkan Raja Saul. Dalam pandangan modern, apa yang terjadi saat itu dapat dikategorikan sebagai pembenaran atas ethnic cleansing, genocide, dan semacamnya.

Upaya Malampaui Kekerasan

Sebelum melanjutkan, saya perlu memberi semacam caveat. Deskripsi di atas tidak dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa Yahudi adalah agama kekerasan. Sebagai seorang yang belajar sejarah agama-agama, saya harus akui bahwa tidak ada satu kriteria yang bisa digunakan untuk menghakimi satu agama sebagai pemicu kekerasan atau cinta kasih. Penilaian bahwa satu agama bersifat damai dan yang lain kekerasan hanya didasarkan pada elemen-elemen tertentu dalam Kitab Suci.

Namun demikian, penting untuk dipelajari bagaimana aspek kekerasan itu dipahami dan ditafsirkan oleh mereka yang mengimaninya. Karena ayat-ayat kekerasan di atas juga diimani oleh umat Kristiani, maka wajar jika kita perlu lihat pandangan Kristen, yang akan didiskusikan dalam tulisan berikutnya. Untuk sementara, kita fokus pada strategi yang dikembangkan oleh ulama-ulama Yahudi.

Perlu dipahami, secara historis, Alkitab Ibrani muncul dalam situasi di mana tidak ada sistem hukum universal yang bisa dijadikan rujukan dalam menyelesaikan sengketa atau agresi. Kekerasan dan saling serang antar-kelompok merupakan pemandangan yang umum. Bahkan, dalam banyak situasi, perang merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.

Karena itu, ulama-ulama Yahudi umumnya mengakui ada problem dalam Kitab Suci mereka, yang perlu dipahami secara kontekstual. Mereka juga tidak menjadikan Alkitab Ibrani sebagai satu-satunya sumber rujukan. Selain itu, mereka mengakui Talmud sebagai “Taurat Lisan”. Pengaruh Talmud yang dikodifikasikan seiring dengan pertumbuhan agama Kristen sangat besar sehingga dapat dikatakan bahwa Yahudi yang mainstream sekarang disebut Rabbinic Judaism. Yakni, Yahudi-nya para Rabbi yang menulis ikhtisar karya agung yang disebut Talmud itu.

Bagi kaum Yahudi, “Taurat Lisan” memiliki tingkat kesucian dan signifikansi yang sama dengan Alkitab Ibrani. Dan dalam Talmud itulah soal-soal kekerasan dinomorduakan. Tak ada gambaran tentang Tuhan yang cenderung pemarah, apalagi menghalalkan kekerasan. Dalam batas yang besar, deskripsi tentang Tuhan dan orang-orang Israel cukup konsisten sebagai bersifat tidak agresif, walaupun bukan fasifis.

Hal itu tidak berarti bahwa Tuhan akan berdiam diri menyaksikan Yerusalem dihancurkan. Tuhan digambarkan akan membalas, tapi bukan di dunia nyata melainkan dalam fantasi. Suatu saat di masa depan kelak. Bahkan, tak terhitung ayat-ayat perang dalam Alkitab hanya dikomentari dalam satu-dua paragraf dalam Talmud. Tafsir ulama-ulama Yahudi berhasil meredam isu peperangan yang dibenarkan Tuhan itu menjadi tidak aplikatif dan hanya ada dalam dunia fantasi.

Membaca Alkitab dan Talmud akan terlihat gambaran yang kontras. Yang pertama penuh dengan catatan pertumpahan darah, sesuatu yang tak ditemukan dalam Talmud. Perbedaan ini dapat dimengerti jika kita melihat konteks lahirnya dua sumber keagamaan kaum Yahudi tersebut. Ketika Talmud dirumuskan, orang-orang Yahudi berada dalam situasi tak berdaya. Tentu sangat berbahaya bagi sebuah komunitas yang tak punya harapan untuk menggapai kekuasaan untuk berpikir tentang perang.

Dan orang-orang Yahudi tampak quietist dan tidak agresif secara militer hingga belakangan ini ketika Negara Israel berdiri. Rabbi Reuven Firestone menggambarkan situasi Yahudi dengan baik, “Judaism remained a quietist religious civilization from the end of the second century onward for nearly two thousand years” (2004: 80).

Ada dua pelajaran penting dari sikap ulama-ulama Yahudi terhadap ayat-ayat kekerasan dalam Kitab Suci mereka. Pertama, betapa besar pengaruh konteks politik dalam penafsiran Kitab Suci. Jelas, ini tidak tipikal Yahudi, tapi juga terjadi dalam agama lain, seperti Kristen. Kedua, betapa gampang menyerukan perdamaian, keadilan, anti-korupsi dan seterusnya sebelum kita memiliki posisi yang memungkinkan kita melakukan hal-hal sebaliknya.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.