Rabu, April 24, 2024

Kasus Ahok dan Tipologi Mukmin, Kafir, Munafik, dan Abu-abu

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Baru-baru ini beredar pesan seorang pemuka agama Islam terkenal yang menyatakan bahwa dalam kasus (dugaan) penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, orang-orang terbagi menjadi 4: mukmin, kafir, munafik, dan abu-abu. Yang mukmin dinyatakan para pembela agama, dengan menanggung semua risikonya. Kafir tidak disertai penjelasan, kecuali “pendurhaka” dan “sudah jelas”. Munafik adalah Muslim yg membela yang kafir. Abu-abu adalah mereka yang “tidak jelas” posisinya demi cari selamat sendiri.

Saya sendiri merasa bahwa tipologinya terlampau sederhana, untuk tidak menyebutnya serampangan. Mengasumsikan bahwa kafir itu adalah konsep yang sederhana jelas tidak tepat. Dan, bagaimanapun, tipologi yang diajukan itu memberi kesan kuat bahwa para pendemo tanggal 4 November ini adalah mereka yang beriman, sementara mereka yang menahan diri atau tidak sudi mengikutinya masuk ke dalam 3 kelompok yang dicap negatif. Khas pemikiran us versus them yang di masa modern ini dipopulerkan terutama oleh George W. Bush.

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab memenuhi panggilan Bareskrim Polri di Jakarta, Kamis (3/11). Rizieq Shihab diperiksa sebagai saksi ahli agama dari pihak pelapor yaitu FPI DKI Jakarta terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/16.
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab memenuhi panggilan Bareskrim Polri di Jakarta, Kamis (3/11). [ANTARA FOTO/ Puspa Perwitasari]
Saya mengajukan tipologi yang mungkin lebih bermanfaat untuk direnungkan. Saya tidak tertarik untuk membuat dikotomi (yang disembunyikan sebagai quadrotomi dalam tipologi yang konon diajukan oleh sang pemuka agama). Menurut saya, seharusnya tipologinya bisa lebih bernuansa.

Pertama, tentang bagaimana menyikapi berita tentang ujaran Ahok. Saya melihat ada orang-orang yang melakukan klarifikasi dan yang tidak melakukannya. Penting juga diingat di sini bahwa klarifikasi yang dilakukan juga beragam. Ada yang sekadar mencari tahu lebih lanjut lewat pencarian berita, termasuk yang mencari tahu dengan hanya mencari lewat sumber paling terpercaya. Maklum, kini bertaburan portal “berita” yang sesungguhnya jauh sekali dari kaidah jurnalistik. Jadi, yang mencari tahu lebih lanjut lewat pencarian berita pun tidak satu golongan.

Tetapi, yang terbaik tentu saja yang melakukan pengecekan dengan melihat langsung apa yang dinyatakan Ahok. Karena peristiwanya sudah berlalu, maka mereka mencari videonya. Sekarang kita tahu, ada video yang sudah disunting dengan terutama menghilangkan kata kunci tertentu (yang sulit diasumsikan sebagai kebetulan maupun ketidaksengajaan), dan ada yang utuh.

Video yang utuh pun ada yang disertai teks yang menghilangkan kata yang penting. Tentu, mereka yang dengan sengaja mencari yang utuh, dan memperhatikan dengan saksama ucapan Ahok, tidaklah sama dengan yang sekadar menonton video apa pun yang mereka terima.

Di sini, orang Indonesia—dan terutama kaum Muslim Indonesia—sudah terbelah menjadi mereka yang sama sekali tak menjalankan perintah Allah dalam al-Hujurat 6 (yaitu perintah untuk tabayyun, alias selalu mengecek kebenaran berita), menjalankan dengan separuh hati, serta yang menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Dan, dengan sedih saya harus nyatakan bahwa di antara banyak sekali Muslim yang saya ketahui, yang melakukan klarifikasi hingga level tertinggi tidaklah banyak. Mereka itu minoritas.

Kedua, tentang bagaimana melihat terjemahan al-Maidah 51. Pernyataan Ahok yang menjadi objek pembicaraan adalah soal bagaimana al-Maidah 51 diterjemahkan, terutama apakah kata awliya di situ diterjemahkan sebagai pemimpin atau yang lain. Di sini bisa dinyatakan ada kelompok yang taqlid buta kepada para pemuka yang menyatakan itu memang berarti pemimpin. Mereka yang menyatakan ini sama sekali tidak mau menerima terjemahan yang lain, bahkan menyatakan bahwa terjemahan di luar itu adalah salah, palsu, dan tidak tepat.

Yang lebih jauh lagi juga ada, yaitu yang menuliskan dan menyebarkan isu bahwa terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Indonesia itu sudah dicemari kepentingan politik hingga oleh beberapa penerbit diganti menjadi “teman setia”. Sementara, di sisi lain, mereka yang lebih dingin dalam melihat persoalan ini kemudian melakukan penelitian tentang terjemahan bahasa Indonesia itu.

Kini terungkap bahwa sesungguhnya versi Departemen Agama (kini Kementerian Agama) pun telah direvisi sejak 2002. Versi terjemahan bahasa Indonesia yang lain lagi, misalnya terjemahan HB Jassin (1982), serta terbitan Syamil Cipta Media (2006) dan Sygma (2007) juga tidak menggunakan “pemimpin” sebagai terjemahan.

Ormas Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi unjuk rasa memprotes pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai menyinggung umat muslim beberapa waktu lalu, di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Jumat (14/10). [ANTARA/ Rahmad]
Ormas Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi unjuk rasa memprotes pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai menyinggung umat muslim beberapa waktu lalu, di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Jumat (14/10). [ANTARA/ Rahmad]
Mereka yang hati-hati kemudian bisa memeriksa lebih jauh lagi. Terjemahan dalan bahasa Inggris yang disediakan dalam situs http://en.noblequran.org memungkinkan kita untuk mendapatkan terjemahan Iskender Ali Mihr, Majid Daryabadi, Ali Qarai, Ali Unal, Ahmed Ali, Ahmed Khan, Amatul Omar, Arthur Arberry, Hamid Aziz, Hilali & Khan, Maulana Ali, Habib Shakir, Marmaduke Pickthall, Muhammad Sarwar, Qaribullah & Darwish, Saheeh International, Faridul Haque, Talal Itani, Wahiduddin Khan, dan Yusuf Ali.

Saya sendiri juga memeriksa terjemahan Abdel Haleem dan Tarif Khalidi. Tak satu pun di antara terjemahan itu yang menerjemahkan awliya sebagai pemimpin.

Tetapi tentu saja ada di antara orang-orang yang menggunakan terjemahan yang lain itu—di antaranya friends, allies, guardians and confidants, protectors, serta helpers—untuk berargumentasi lebih jauh. Kalau menjadi teman, sekutu, pelindung, orang kepercayaan, serta penolong saja dilarang, apalagi menjadi pemimpin?

Dalam persoalan ini kemudian kita akan menemukan tipe yang lain lagi, yaitu mereka yang memeriksa lebih lanjut kitab-kitab tafsir atau artikel yang ditulis dengan mendasarkan pada kitab-kitab tafsir. Kemudian akan ditemukan bahwa sesungguhnya terjemahan itu memang terkait dengan peristiwa tertentu, yaitu dalam situasi peperangan.

Tentu dalam peperangan dengan pihak tertentu yang menjadi lawan kita, menjadi tidak masuk akal untuk mengambil mereka menjadi teman, sekutu, pelindung, orang kepercayaan, dan penolong kita. Pertanyaan yang kemudian penting diajukan adalah apakah tafsir kontekstual dan partikular tersebut bisa diseret menjadi petunjuk yang berlaku untuk situasi apa pun? Rasanya tidak, karena petunjuk tentang bagaimana berinteraksi secara baik dengan kaum beragama lain itu bertebaran di dalam al-Qur’an. Juga dalam teks hadits dan Sirah Nabawiyah, sejarah hidup Nabi Muhammad.

Jadi, dalam urusan terjemahan dan tafsir ini, secara objektif kita melihat mereka yang sangat percaya pada pernyataan bahwa terjemahan yang benar adalah “pemimpin” serta yang mencurigai bahkan memfitnah mereka yang menerjemahkannya secara berbeda; mereka yang menggunakan terjemahan lainnya sebagai penguat argumentasi menolak pemimpin non-Muslim, dan mereka yang melihat terjemahan secara kontekstual lantaran mendasarkan diri pada kitab-kitab tafsir. Tentu ada juga yang indeferen, tak merasa perlu melihat apa makna yang tepat untuk mengambil keputusan soal itu.

Ketiga, terkait dengan tuduhan penistaan agama. Hal ini sangat terkait dengan bagaimana sikap atas isu pertama dan kedua. Mereka yang tidak melakukan tabayyun atau melakukannya dengan separuh hati, serta yang percaya bahwa tak ada terjemahan otentik di luar pemimpin atau tak percaya kontekstualisasi ayat akan cenderung masuk ke dalam kesimpulan bahwa Ahok memang menistakan agama dan al-Qur’an. Tetapi itu hanyalah kecenderungan, karena saya juga menemukan orang-orang yang tak persis begitu. Secara garis besar, ada kelompok yang sangat yakin Ahok melakukan penistaan, yang tidak yakin atau masih belum yakin, serta yang yakin bahwa Ahok tidak melakukannya.

Penistaan agama sendiri bukan suatu topik yang sederhana. Kalau kita cari artikel-artikel tentang blasphemy (penistaan, penghujatan) dalam sejarah umat Muslim, akan didapatkan penjelasan yang beragam, dan tampaknya benar-benar terkait dengan aliran Islam yang dianut penulisnya.

Ada yang sangat mudah mengkategorikan pernyataan tertentu sebagai penistaan, ada yang jauh lebih berhati-hati. Kalau kita cari artikel-artikel ilmiah, problemnya akan jauh lebih kentara, sehingga kecenderungan penulisnya adalah jauh lebih berhati-hati. Sama persis dengan kecenderungan takfiri (mengkafirkan) yang mudah dilontarkan oleh mereka yang awam dan ekstrem, sementara yang berpengetahuan dan moderat sangat sulit bahkan tidak mau mengkafirkan.

Dalam kasus Ahok, pertanyaan apakah Ahok memang melakukan penistaan terhadap Islam dan kitab sucinya, sesungguhnya membutuhkan pengetahuan yang memadai soal bahasa dan konteksnya. Secara bahasa, pernyataan “…dibohongi pakai al-Maidah 51….” kemungkinan besar akan langsung dinyatakan sebagai bukan penistaan. Bagaimana bisa?

Silakan ganti saja al-Maidah 51 dengan apa pun, maka kita akan tahu bahwa tidak ada hal buruk yang dinyatakan Ahok, atau siapa pun, yang menggunakan kalimat semacam itu. Kalau ada orang yang menyatakan bahwa si A dibohongi pakai (mobil) Mercy, tak ada hal negatif soal mobil Mercedes Benz sama sekali. Kalau kita mendengar si B dibohongi pakai uang, jelas pula tak ada hal negatif soal uang. Al-Maidah 51, mobil Mercy, serta uang hanyalah alat untuk melakukan pembohongan itu.

Tentu kita kemudian tahu juga bahwa dalam kalimat-kalimat yang dinyatakan itu ada pihak yang dituduh berbohong dengan menggunakan alat-alat itu. Pertanyaannya kemudian adalah siapakah yang dituduh berbohong oleh Ahok dalam pernyataannya soal al-Maidah 51? Saya kira jelas, yaitu para pemuka agama, yang menyatakan bahwa memilih pemimpin (politik/birokrasi) non-Muslim—terutama Kristen dan Yahudi—tidaklah diperkenankan bagi Muslim berdasarkan ayat tersebut.

Di sini persoalannya kemudian bisa saja digeser menjadi bahwa Ahok menistakan para pemuka agama, karena menuduh mereka berbohong.

Tetapi mungkin persoalannya tak sesederhana itu, lantaran memang kenyataannya banyak pemuka agama yang terus-menerus menggunakan ayat tersebut untuk kepentingan dukungan politik kepada pihak tertentu, atau setidaknya untuk menyatakan tidak mendukung Ahok atau calon kepada daerah non-Muslim. Atau, mungkin juga ini datang dari motivasi yang tulus lantaran percaya bahwa hanya terjemahan itulah yang benar. Jadi, motivasinya mungkin kekuasaan, bisa jadi juga adalah rasa sayang kepada umat Muslim agar tidak menjadi berdosa.

Kalau motivasinya bisa kita nyatakan beragam, apakah layak bagi pemuka agama untuk hanya menampilkan satu saja versi terjemahan itu? Seperti yang saya nyatakan di atas, ada banyak terjemahan, dan sesungguhnya tafsir-tafsir atasnya tidak mendukung penerjemahan awliya sebagai pemimpin. Pertanyaan yang sangat pantas kita ajukan kepada para pemuka agama—terutama yang kini mendukung atau membiarkan demonstrasi 4 November—adalah mengapa malahan terjemahan tak populer ini yang dipilih? Tidakkah mereka tahu ada versi yang lain?

Tentu ada sejumlah ulama yang telah menyampaikan juga terjemahan dan tafsir yang kontekstual, namun entah mengapa rasanya mereka kalah suara. Juga, ada Dr. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, yang bahkan telah dengan tegas bahwa apa yang dinyatakan oleh Ahok bukanlah penistaan agama. Tetapi, rasanya ada banyak telinga yang sudah tak mau lagi mendengarkan para ulama yang sebetulnya jauh lebih mumpuni pengetahuannya dibandingkan pemuka agama yang cenderung menghakimi Ahok. Mengapa?

Mungkin karena ini semua memang bukan tentang pengetahuan, melainkan masalah perasaan dan/atau motivasi kekuasaan.

Terakhir, soal apa yang seharusnya dilakukan. Kita tahu seperti apa ujaran Ahok yang sesungguhnya. Kita juga tahu dalam konteks apa pernyataannya diungkapkan—yaitu terkait dengan salah satu proyek Pemerintah Provinsi DKI yang dijalankan di Kepulauan Seribu, dia menyatakan bahwa penerima proyek itu tak harus memilih dia dalam pilgub mendatang.

Berita-berita menunjukkan bahwa sesungguhnya polisi bergerak cepat ketika laporan dugaan penistaan agama disampaikan. Beberapa surat kabar memberitahukan bahwa sudah 15 orang yang diperiksa kepolisian. Jadi, bukannya polisi leyeh-leyeh atau tidak menindaklanjuti laporan karena takut kepada pihak tertentu. Yang justru meminta ditunda: 4 orang dari pihak pelapor. Termasuk Front Pembela Islam.

Kita juga tahu bahwa Nadlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia menyatakan tidak mendukung demonstrasi yang akan dilakukan. Mereka tegas melarang anggotanya untuk ikut dengan membawa atribut organisasi, terutama dua organisasi yang disebut pertama. MUI sendiri, ketika menyatakan tidak mendukung, masih memberi pernyataan bersayap, bahwa mereka tak bisa melarang siapa pun yang ingin melakukan demo.

Yang mengecewakan tentu saja tak ada pernyataan yang komprehensif bahwa sebetulnya proses hukumnya sudah dan terus berlangsung, sehingga masyarakat luas menjadi lebih paham. Mungkin saja pernyataan yang tak kompehensif dan tegas memang disengaja untuk memberi ruang untuk melihat ke mana arah sesungguhnya dari kondisi ini.

Yang sangat disesali adalah pernyataan ekstrem dari FPI bahwa bila Ahok tidak ditangkap dan dihukum, mereka akan membunuh Ahok. Ancaman pembunuhan ini bisa dibaca di banyak media massa elektronik dan beredar luas di media sosial. Ancaman ini juga mencerminkan ketidak-hormatan (penistaan?) terhadap proses hukum dan prinsip presumption of innosence, di mana orang seharusnya dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan sebaliknya.

Dan, seandainya dia bersalah pun seharusnya dihukum sesuai dengan sanksi yang telah ditetapkan batasannya. Kalau FPI dan pendukungnya memang hendak melakukan “jihad konstitusional”, tidakkah seharusnya mereka menghormati konstitusi dan produk hukum di bawahnya?

Demonstrasi yang hendak dilakukan berkali-kali dinyatakan untuk mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan perintah menangkap dan menghukum Ahok. Yang mereka lupakan adalah bahwa Jokowi adalah pimpinan kekuasaan eksekutif, yang seharusnya tidak mencampuri penegakan hukum yang dilakukan oleh kekuasaan judikatif.

Kalau Jokowi menuruti kehendak mereka yang hendak berdemonstrasi itu, Jokowi bersalah melampaui kewenangannya. Sebagai Presiden, ia tentu perlu mendukung penegakan hukum, tapi tidak melalui cara yang dituntut oleh para pendukung demonstrasi.

Mungkin perlu juga diungkapkan bahwa yang akan hadir dalam demonstrasi bukanlah saja mereka yang tidak tahu bahwa proses hukum sudah berjalan, percaya bahwa Ahok itu bersalah menista agama, serta menuntut Jokowi untuk menangkap dan menghukum Ahok, melainkan juga pihak-pihak lain yang punya motivasi berbeda.

Agak mengkhawatirkan juga kita mengetahui dari berbagai informasi dan analisis bahwa kelompok-kelompok ekstrem diduga akan datang untuk memanfaatkan momentum untuk berbuat sesuatu yang merugikan bangsa Indonesia. Tetapi, ada juga kelompok-kelompok yang datang untuk sekadar menonton dan menikmati keramaian, berswafoto (selfie), atau mengais rezeki dengan berjualan. Begitulah yang saya ketahui.

Sementara, yang tidak akan datang ke demonstrasi terdiri dari beberapa kelompok juga. Ada yang tak akan datang karena percaya bahwa Ahok tidaklah bersalah. Ada yang berpikir bahwa karena Ahok sudah meminta maaf dan seharusnya dimaafkan dan masalahnya dianggap selesai. Ada yang percaya penuh pada penegakan hukum atas kasus ini.

Ada yang karena yakin bahwa seandainya Ahok memang menistakan agama, tidaklah perlu berdemonstrasi juga lantaran Allah-lah yang akan membela agama-Nya, dan Islam tak berkurang mulianya seandainya dinistakan oleh orang seluruh dunia sekalipun. Itu adalah varian pemikiran yang saya rasakan cukup banyak berseliweran di antara rekan-rekan saya yang menolak demonstrasi.

Yang lainnya, ada yang berpikir bahwa demonstrasi bukanlah jalan yang islami untuk menindaklanjuti situasi ini, dengan segala dalilnya. Ada yang khawatir kalau hadir malah akan dikira sebagai simpatisan ormas Islam garis keras. Ada juga yang khawatir akan potensi bahaya yang muncul. Atau, sebetulnya mau hadir tapi tak punya ongkos atau/atau waktu, sehingga akan melakukan kegiatan seperti berdoa saja di tempatnya masing-masing.

Demikianlah. Sepanjang beberapa minggu mengikuti perkembangan kasus ini saya melihat begitu banyaknya tipologi respons. Mulai dari apa yang mereka lakukan atas informasi awal, bagaimana melihat al-Maidah 51, apakah Ahok memang menodai agama, hingga bagaimana sikap yang perlu diambil atas itu. Ini jauh lebih kompleks daripada tipologi mukmin, kafir, munafik, dan cari aman sendiri sebagaimana yang, konon, dibuat oleh salah seorang pemuka agama terkenal.

Varian yang saya lihat itu menggambarkan keragaman respons yang ada di antara masyarakat Indonesia, khususnya Muslim. Semoga tulisan ini bisa membuat kita tak terlampau mudah menghakimi orang-orang di sekitar kita, baik yang akan maupun tidak akan hadir dalam demonstrasi. Lagi pula, apakah kita punya hak untuk melakukannya?

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.