Belum lama ini terbit sebuah karya yang bertajuk Membela Islam, Membela Kemanusiaan. Buku itu merupakan karya terpenting mengenai Islam Indonesia saat ini. Karya yang ditempa oleh pemikir muda brilian, Fajar Riza Ul Haq, ini hadir bukan hanya sebagai pedang intelektual yang tajam, namun juga ampuh untuk menghabisi musuh-musuh kemanusiaan.
Karya ini sesungguhnya berhasil mendiagnosa fenomena keagamaan di zaman milenial dan sekaligus memberikan jalan keluar bagi pelbagai persoalan pelik yang ada. Intelektual muda ini memainkan kemahiran pemikiran sosial kritis untuk mengurai secara detail suatu persoalan mengapa pemikiran keagamaan tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman.
Memang telah menjadi jamak bahwa gagasan-gagasan keagamaan di hadapan gelombang dahsyat globalisasi, neoliberalisme politik dan ekonomi, serta perkembangan sains dan teknologi mutakhir (terutama kecanggihan dunia sibernetik), terkesan hanya menjadi bunga-bunga hiasan yang tidak bisa lagi menumbuhkan buah peradaban yang manis dan meluruhkan dahaga.
Agama sekarang ini tidak hanya menjadi rutinitas ritual hampa makna, namun juga menjadi instrumen aksi dehumanisasi dengan segala motifnya. Politisi-koruptor berdandan ala agamawan adalah bukti di mana simbol keagamaan menjadi bagian dari kemunafikan, kepicikan, dan rendahnya akhlak. Mobilisasi saling puji sekaligus caci maki berita-berita keagamaan palsu (hoax) di media sosial, yang sebenarnya menghamba pada kepentingan kontestasi oligarki, merupakan contoh di mana ruh agama yang sejati sudah tak ada lagi.
Belum lagi bahwa agama merupakan komoditas yang sangat bernilai dalam sistem kehidupan yang serba kapitalistik. Memperdagangkan agama, termasuk di antaranya adalah produk-produk yang bernilai religius dan membangun moda konsumsi para konsumen religius, sangatlah menguntungkan bagi para pemilik kapital.
Di saat toko-toko dan mall-mall sudah tidak lagi populer, maka kaum Muslim menjadi konsumen yang dominan di pasar-pasar online, untuk pelbagai komoditas “Islami”. Dalam konteks ini, agama hanyalah mesin akumulasi profit para pemilik kapital.
Fajar, melalui bukunya ini, mencoba menyelidiki apa saja faktor-faktor yang memungkinkan memicu segala fenomena keagamaan dewasa ini. Termasuk pula bagaimana struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan mengalami perubahan, oleh karena pelbagai faktor tersebut.
Secara lebih jauh, ia juga menilai pelbagai makna dan pemahaman keagamaan yang tersebar di hadapan orang-orang bangsa. Misalnya saja mengapa terjadi fenomena pengerasan sikap beragama secara massif? Mengapa konservatisme, radikalisme, dan terorisme telah menjamur di pelbagai belahan negara di dunia?
Mengapa Islam yang welas asih, mengedepankan cinta, dan kesucian hati sepertinya terkikis oleh tren mengumbar kebinatangan diri? Mengapa agama tiada lagi mengasihi orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang-orang kecil, terbuang, pinggiran?
Menurut hemat Fajar, pelbagai faktor sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang diperberat oleh kenyataan globalisasi telah menjadikan sebagian kaum beragama merasa ingin memurnikan pemahaman keagamaan yang dimilikinya.
Hal ini sama sekali tidak keliru. Karena selama ini memang, yang dimaksud dengan pengaruh global tentu saja pengaruh Barat. Kultur dan peradaban Eropa-Amerika telah terdesaminasi dan melebur ke seluruh belahan bumi, terutama mengalir bersama-sama dengan kepentingan ekonomi dan politik.
Bagi sebagian kaum Muslim, kemurnian agama dianggap sebagai obat mujarab yang mampu menangkal segala perubahan-perubahan global yang terjadi. Sayangnya, makna “kemurnian” bagi mereka adalah merelakan alam pikiran terpenjara oleh skripturalisme, bukan pemikiran yang kreatif, progresif dan bersifat solutif.
Bagi Muslim yang mengimani skripturalisme ini, kebenaran teks-teks suci adalah kebenaran agama itu sendiri. Karenanya, argumen-argumen “pemikiran global” yang berhadapan dengan skripturalisme dijawab oleh teks-teks suci yang dianggap relevan. Tidak heran jika, dengan demikian, wajah wacana keagamaan yang ada, tampak muram durja, pemarah, pembenci, dan antitoleransi.
Yang dimaksud Fajar sebenarnya adalah, “Untuk membangun sikap keberagamaan yang multikultural dengan tetap berakar pada tradisi teks, kita perlu/harus menempatkan kembali paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan dinamis, progresif, dan toleran sehingga dunia teks dan realitas sosial-empirik berelasi secara mutual dan kritis tanpa harus saling mensubordinasi satu sama lain.” (2017: 6).
Tatkala umat Islam mampu menyelesaikan masalah-masalah keberbedaan dan kekayaan kultural masyarakat, maka mereka lebih mudah bekerjasama untuk menyelesaikan masalah-masalah fundamental yang lebih bersifat struktural. Akan tetapi, karena tidak terbangunnya pemahaman lintas budaya dan lintas pemahaman agama, maka umat Islam tidak hanya terfragmentasi, namun juga tidak mampu menjadi kekuatan yang solid, yang patut diperhitungkan dalam persaingan ekonomi politik global.
Bersatu padu, bekerjasama (cooperation), mempererat persaudaraan, berwawasan kritis dan berkemajuan, menaruh empati yang besar pada harkat dan martabat kemanusiaan, mencintai keadilan, mengecam dehumanisasi, itulah kira-kira nilai-nilai kesadaran yang hendak disampaikan dalam karya intelektual Fajar.
Bagi Fajar, membangun hal-hal tersebut di tengah masyarakat saat ini adalah kerja keagamaan yang sebenar-benarnya. Akhirnya, sesungguhnya “Tuhan tidak hanya hadir bersemayam di dalam atribusi ritus-ritus formal-simbolik, tetapi juga ‘bertakhta’ di dalam realitas kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan.” (2017: 28).
Baca juga:
Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Dimulai dari Mana?
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?