Sabtu, April 20, 2024

Islam Ekspresif, Islam Agresif

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Warga yang tergabung dalam Aksi Bela Ulama 96 melakukan aksi damai di pelataran Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (9/6). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Islam adalah agama yang berwatak ekspresif. Di antara semua agama, Islam barangkali agama yang paling ekspresif. Berbagai ekspresi relijius dapat dilihat dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari-hari umat Islam. Sedemikian ekspresifnya agama ini, sehingga umat Islam agak sulit untuk “menyembunyikan” identitas keagamaan mereka.

 

Watak ekspresif Islam pada gilirannya menumbuhkan kebutuhan umat Islam yang sangat tinggi terhadap ekspresi-ekspresi relijius. Tanpa menyadari batas-batas yang wajar dari ekspresi relijius Islam, sebagian dari bentuk ekspresi relijius umat Islam bisa melampaui batas-batas moral Islam itu sendiri.

Watak ekspresif Islam dimulai dari ajaran-ajaran dasar Islam sendiri. Syahadat, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, merupakan ekspresi verbal pertama setiap Muslim. Shalat, yang diwajibkan bagi setiap Muslim, merupakan bentuk ekspresi relijius yang sedikitnya dilakukan 5 kali sehari.

Puasa Ramadhan adalah ekspresi relijius sebulan penuh. Sementara itu, haji merupakan ekspresi relijius yang bersifat kolosal. Bahkan zakat pun, yang sebenarnya merefleksikan tanggung jawab sosial, merupakan ekspresi relijius juga. Semua itu masih ditambah dengan begitu banyak ekspresi relijius lain lagi: sekian banyak salat sunnah, sekian banyak puasa sunnah, umroh, infak, sedekah, kurban, Idul Fitri, Idul Adha, aqiqah, khitan, kawin, dan lain-lain.

Bahkan satu salat saja merupakan satu rangkaian dari banyak sekali ekspresi relijius. Ambillah contoh salat Maghrib. Ekspresi relijius dimulai dengan berkumandangnya bacaan al-Qur’an dari masjid, sejak sekitar dua puluh menit sebelum tiba waktu Magrib itu sendiri.

Lima menit sebelum tiba waktu Maghrib, berkumandang bacaan shalawat, yang merupakan ekspresi relijius tersendiri. Lalu azan Maghrib. Setelah azan, ada salat qabliyyah. Sementara menunggu jamaah menyelesaikan salat qabliyyah mereka, jamaah lain melantunkan bacaan tasbih, tahmid, shalawat, atau doa. Lalu iqamah. Lalu salat Magrib. Lalu zikir. Lalu doa. Kemudian dilanjutkan dengan salat ba’diyyah.

Semua aktivitas tersebut merupakan ekspresi relijius. Berapa banyak ekspresi relijius dalam rangkaian satu salat Maghrib itu saja? Silakan hitung sendiri. Dan rangkaian ekspresi relijius dalam satu salat fardlu itu masih lebih eksresif lagi: semuanya menggunakan toa alias pengeras suara.

Tidaklah mengherankan kalau kebutuhan umat Islam untuk mengekspresikan kesadaran keagamaan mereka begitu tinggi. Pada tataran individual, seorang arsitek mengekspresikan keislaman mereka lewat arsitektur yang diciptakannya; seniman lewat karya seninya; pemain bola lewat selebrasi setelah mencetak gol; dan seterusnya.

Pada tataran kolektif atau sosial, kebutuhan terhadap ekspresi relijius ini melahirkan berbagai tradisi keislaman dalam suatu lingkungan budaya. Banyak tradisi keislaman merupakan produk dari dialog Islam dengan budaya-budaya setempat. Tradisi nyekar, ziarah kubur, peringatan Suro, selametan, Sya’banan, shalawatan, dan tahlilan adalah sebagian contohnya.

Sedemikian tinggi kebutuhan umat Islam terhadap ekspresi relijius, sehingga berbagai produk budaya dipandang mengandung dimensi relijius. Di tangan pelukis, bahkan satu huruf Arab dalam lukisannya bisa merupakan ekspresi relijius. Bagi sebagian orang, memakai sarung dan peci adalah ekspresi relijius, setidaknya secara kultural. Apalagi praktik kehidupan yang mengacu pada praktik kehidupan Nabi Muhammad: memakai sorban, celana cingkrang, dan celak adalah praktik-praktik relijius. Bahkan perang pun bisa merupakan ekspresi relijius.

Dalam konteks itu semua, bisa dipahami kenapa keharusan menghindari riya’ (pamer) merupakan topik penting terutama dalam tradisi tasawuf. Telah dikatakan bahwa kebutuhan umat Islam terhadap berbagai ekspresi relijius sangat tinggi. Di sisi lain, bentuk-bentuk ekspresi relijius dalam Islam begitu melimpah, baik sebagai ajaran Islam maupun sebagai kreasi-kreasi budaya.

Dalam kaitan itu, doktrin untuk menghindari riya’ merupakan mekanisme untuk menyelamatkan berbagai ekspresi relijius dari kehampaan makna relijiusnya. Sebuah ekspresi relijius yang dilakukan dengan motif riya’ bukan lagi ekspresi relijius. Dengan kata lain, riya’ harus dihindari agar praktik relijius tidak kehilangan dan menyalahi moral relijiusnya.

Dengan wataknya yang ekspresif, maka ekspresi relijius Islam sesungguhnya sangat rentan melampau batas-batas moral, relijius, dan spiritual Islam sendiri. Ekspresi relijius yang mengganggu apalagi merugikan orang lain jelas melampaui batas moral Islam. Tanpa kontrol yang memadai terhadap moral suatu ekspresi relijius, ekspresi relijius sangat rentan tergelincir menjadi tindakan negatif, bahkan bisa terjerumus ke lembah tindakan agresif  dan brutal.

Islam ekspresif bisa terjatuh ke jurang Islam agresif. Jika riya’ saja menyalahi moral relijius Islam, apalagi perilaku atau tindakan agresif. Seorang Muslim pastilah seorang mukmin.

Muslim secara harfiah berarti orang yang menyelamatkan, yakni orang yang menjamin keselamatan orang lain. Mukmin berarti orang yang menjamin keamanan orang lain. Maka, apa pun ekspresi relijius Islam haruslah menjamin keselamatan dan keamanan orang lain.

Baca juga:

Mendamaikan (Kembali) Wajah Islam

Islam Gembira

Islam Bung Karno

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.