Sehari lagi Ramadan akan meninggalkan kita. Tapi saya memboikot salat tarawih selama Ramadhan ini dan Ramadan tahun lalu. Alasannya, saya akan pergi salat tarawih, bahkan iktikaf di masjid, apabila ustadzah perempuan diberikan kesempatan untuk memberikan khutbah salat tarawih, salat subuh, atau pemateri selama iktikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Ajaran agama Islam tentang perempuan yang selama ini didengung-dengungkan oleh para mubaligh atau pendakwah, buat saya, terlampau apologetik. Saya tidak menyangkal bahwa Islam menaikkan derajat perempuan dibandingkan pada masa pra-Islam. Islam memberikan tawaran posisi perempuan dan laki-laki setara dengan pelaksanaan akikah dan waris.
Berbagai kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Islam Indonesia seperti KH Muhammad Husein, Profesor Musdah Mulia, hingga Masturidiyah Sa’dan berusaha memberikan tafsir baru yang lebih ramah perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk melihat ketika landasan pikiran untuk menyetarakan perempuan dalam Islam Indonesia didengungkan, revolusi pemikiran ini terhambat karena sarana perempuan untuk berbicara tak diberikan.
Hijab Pemisah yang Sebenar-benarnya
Seperti tradisi pada bulan-bulan Ramadhan, para artis berbondong-bondong menggunakan busana muslimah menyambut puasa. Tapi ada yang berbeda dalam tiga tahun terakhir ini, para artis tak lagi menunggu Ramadhan untuk mengambil momentum mengenakan pakaian muslimah. Keputusan mengganti penampilan para artis perempuan untuk menggunakan pakaian muslimah terjadi pada bulan-bulan biasa.
Ternyata hal ini diiringi oleh pesatnya pertumbuhan industri pakaian muslimah di Indonesia. Harian Tempo edisi akhir pekan bahkan sempat memberitakan tentang tren pakaian muslimah itu dan Indonesia berambisi untuk menjadi salah satu pusatnya.
Kalimat yang digunakan untuk memberi komentar pada perempuan yang memutuskan menggunakan pakaian muslimah sebagai bentuk perwujudan ketaatannya kepada agama Islam adalah seperti ini, “Subhanallah ya, si A akhirnya memutuskan untuk pakai hijab.”
Pakaian muslimah dirujuk pada hijab, penutup kepala yang menutupi rambut dan leher perempuan. Istilah hijab digunakan sebagai keterwakilan dari pakaian muslimah yang menutup seluruh tubuh. Terminologi hijab juga bisa dikatakan belum populer dalam 10 tahun terakhir. Sebagai ganti hijab, dulu kata jilbab atau kerudung lebih sering digunakan dan diterima.
Mengapa hijab? mungkin ini yang perlu kita cari tahu bersama. Berbeda dengan jilbab yang bermakna harfiah “kain yang menutupi rambut dan tubuh perempuan”, hijab secara harfiah bermakna “penghalang” atau “pemisah”. Terminologi hijab dipilih karena pakaian muslimah tak lagi sekadar pakaian tapi juga “memisahkan” kehidupan baru dengan simbol baru (pakaian muslimah) dengan kehidupan lama yang dianggap tidak dekat dengan Allah.
Hijab dianggap sebagai momentum untuk memisahkan yang baik dan yang buruk pada simbolisasi tubuh perempuan. Hijab kembali menjadi gubuk menstruasi yang dilekatkan pada perempuan pada masa prasejarah untuk memisahkan perempuan yang terkena kutukan alam menstruasi’. Pemisahan tubuhnya yang kotor pada ruang laki-laki yang suci.
Hijab sebagai penghalang adalah sebenar-benarnya rintangan perempuan untuk menuju kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Bukan hijab sebagai pakaian muslimah, tetapi hijabisasi atau pemisahan ruang gerak antara laki-laki dan perempuan. Dalam organisasi Islam, biasanya pemisahan ini semakin kentara. Perempuan dan laki-laki didengungkan setara, diciptakan untuk menjadi pasangan, tetapi memiliki ruang gerak berbeda yang tidak bisa dipersatukan.
Perbedaan yang ada pada laki-laki dan perempuan dijadikan alasan untuk membedakan ruang geraknya. Sebut saja organisasi massa Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki organisasi Fatayat, atau Muhammadiyah dengan organisasi Aisyiyah. Ini adalah hijab yang sebenar-benarnya karena ideologi gender yang berbeda terus menerus direproduksi.
Pemisahan ini membuat anggota perempuan Fatayat tidak bisa menjadi ketua NU dan sebaliknya tak ada kesempatan untuk anggota Aisyiyah untuk menjadi ketua Muhammadiyah pula. Perempuan dan laki-laki dipisahkan ruang gerak sehingga tak ada dialog untuk saling memahami kebutuhan dan hambatan yang dialami tiap gender.
Jikalau dilakukan dialog tentang gender, biasanya hanya perempuan dan bicara kepada sesama perempuan, dalam ruang yang terbatas. Laki-laki yang berbeda ruang gerak tidak bisa dan tidak mau mendengar apa yang dibutuhkan gender yang berbeda ini.
Ajaran Islam untuk Membongkar Penindasan Sosial
Sebagai rahmatan lil alamin, apakah Islam dirasakan oleh seluruh makhluk di bumi ini? Jangan jauh-jauh, apakah pada masa kini Islam telah memberikan “rahmat” pada perempuan? Para feminis sangat pesimistis dengan agama di mana patriarki terjaga sempurna.
Saya merumuskan tiga hal yang menghambat suara perempuan dalam arus pemikiran dan dakwah Islam di Indonesia yang sunyi senyap dan kurang bergairah ini. Pertama, kurangnya pemikiran Islam Transformatif yang menyentuh ketertindasan perempuan. Kedua, suara perempuan yang membeo dan mereproduksi tatanan sosial yang sama. Ketiga, penjegalan suara perempuan akibat pemisahan gender.
Penjelasan poin pertama detailnya begini. Kurangnya pemikiran tentang Islam Transformatif yang dirumuskan Kuntowijoyo sebagai upaya pembaharuan tatanan sosial yang lebih adil tidak pernah terasa hingga sekarang, sejak gelombang Islamisasi tahun 1970-an yang dimotori oleh Nurcholis Madjid dan kawan-kawan. Islam tetap mereproduksi tatanan sosial yang membuat perempuan tetap menjadi manusia kelas dua.
Perang wacana Islam di di Indonesia terpolarisasi antara pemahaman konservatif dan pro-demokrasi. Polarisasi ini seksama tapi tidak memberikan sumbangan apa pun kepada perempuan, justru lebih menekankan pada apologetik Islam dan lagi-lagi legitimasi untuk perempuan tetap berada dalam struktur yang telah ada.
Jikalau sudah banyak upaya reformasi pemikiran dan tafsir-tafsir lebih ramah perempuan, suara dari tafsir dan pemikiran tersebut kalah dan dibungkam dalam wacana perdebatan pemikiran Islam yang sayup ini. Pemikiran Islam terbawa pada isu pencegahan radikalisme dan upaya untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia tidak mereproduksi Islam yang marah dan suka perang sebagai tandingan wacana Islam Timur Tengah.
Terkait poin kedua ihwal suara perempuan dalam dakwah Islam kini hanya “membeo” dari struktur sosial yang menindas dirinya. Ustadzah-ustadzah perempuan tidak bicara tentang pengalaman perempuan sebagai makhluk bebas dan sadar tetapi mendengungkan kembali posisi perempuan dalam struktur masyarakat. Menjadikan relasi ketertindasan perempuan yang resiprokal dan kompleks terhadap laki-laki yang berdasarkan relasi kehidupan.
Perempuan sebagai partner, perempuan yang setara dengan ribuan kata tapi… Dan legitimasi yang digunakan adalah tafsir ulama laki-laki yang tentu saja ketinggalan zaman. Ilmu keislaman yang diserap oleh para pendakwah ini bukan Islam yang berasal dari suara perempuan seperti Asma Barlas, Fatimah Merrisi ataupun Aminah Wadud. Perempuan yang mampu bersuara, menyuarakan suara laki-laki yang mengharapkan perempuan tetap di tempatnya, dan bahkan pembicaraan ini hanya terdapat pada perbincangan dengan pendengar sesama perempuan itu sendiri.
Dan yang terakhir adalah pemisahan ruang gerak yang menutup ruang bagi perempuan untuk berbicara. Pemikiran perempuan tidak diangkat karena ada stigma bahwa perempuan tidak bisa rasional dan agama bukan sesuatu yang pantas untuk dibuat menjadi “rasional”. Karenanya, lagi-lagi, walaupun perempuan bisa berpikir dan berbicara, ruang mereka untuk berbicara dipisah, dan buah pengetahuan mereka tidak dipercaya.
Dan saya menggunakan analogi putri duyung dalam pembungkaman perempuan pada ranah agama ini. Ketika muncul kesempatan perempuan untuk berbicara ketika mereka sudah bisa masuk ruang publik, mereka menjadi putri duyung yang berhasil menukar ekornya dengan sepasang kaki, tapi tetap tak bisa bicara tentang apa yang telah menimpa dirinya, segala usahanya.
Tapi bukan hanya karena putri duyung bisu, tapi tidak ada laki-laki yang mau mendengarkan ceritanya.