Jumat, Oktober 4, 2024

Inti Idulfitri: Pesta Raya Makan-Makan

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.

Idulfitri adalah momen ketika manusia kembali pada manusia, pada dimensi terdalam kemanusiaannya. Dan kembali pada manusia ditandai dengan makan dan minum, bahkan dirayakan dengan pesta makan-makan. Dengan makan dan minum di hari Idulfitri itulah manusia sejatinya menyadari kembali dirinya sebagai manusia dengan segala tanggung jawab sejarahnya.

Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa pada makan dan minum terletak inti Idulfitri.

Mungkin itu terdengar aneh. Tapi tidak. Kata ‘îd secara harfiah memang berarti pesta, lebaran, perayaan, atau festival. Sedangan kata fithr secara harfiah berarti makan. Kata fithr seringkali diartikan fitrah atau kesucian, mengacu pada bentuk kata yang seakar, yaitu fithrah. Namun baik secara morfologis maupun semantik, kata fithr sebenarnya lebih dekat dengan kata futhûr dan ifthâr, yang berarti makan (dalam bentuk nomina). Dengan demikian, ‘îd-u ‘l-fithr-i (Idulfitri) secara harfiah berarti pesta makan(an).

Pengertian tersebut akan lebih jelas jika dikaitkan dengan zakat fitrah. Dalam bahasa Arab, zakat fitrah adalah zakât-u ‘l-fithr, yang secara harfiah berarti zakat makan(an), yakni zakat makanan pokok. Di Indonesia pada umumnya, itu berarti zakat beras (yang dapat dikonversi dengan uang).

Zakat makanan ini diwajibkan bagi setiap muslim yang memiliki sekadar makanan pokok  berkecukupan apalagi berlebih, dan harus didistribusikan selambat-lambatnya sebelum salat id. Dengan demikian, zakat fitrah merupakan suatu mekanisme untuk memastikan bahwa semua umat (khususnya fakir miskin) memiliki makanan pokok pada hari Idulfitri, agar mereka dapat mengadakan pesta makan-makan di hari pesta itu.

Sudah tentu IdulFitri tak bisa dilepaskan dari puasa (Ramadan). Dalam kaitan ini pentinglah difahami kekhasan puasa. Dalam Al-Futûhât Al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arobi mengatakan bahwa pada dasarnya seseorang tidak melaksanakan puasa. Sebab, puasa justru meninggalkan, yakni meninggalkan makan, minum, dan lainnya.

Dalam hal itu puasa berbeda dari segala bentuk ibadah yang lain. Misalnya dalam salat, zakat, dan haji, orang melaksanakan semua syarat dan rukun ibadah-ibadah tersebut. Sementara itu, dalam puasa orang justru meninggalkan makan, minum, dan sebagainya. Dengan demikian, puasa secara esensial berbeda dari ibadah apa pun.

Yang menarik adalah bahwa perbedaan tersebut sejalan dengan sifat Tuhan, yaitu bahwa Dia tidak serupa dengan apa pun. Jadi, sebagaimana Tuhan secara esensial berbeda dari apa pun, demikian juga puasa berbeda dari ibadah apa pun. Dalam arti itu, pada dirinya sendiri puasa sudah mengandung sifat ilahiah.

Sejurus dengan itu, apa yang penting dalam puasa adalah laku tidak-makan dan tidak-minum. Yang penting dalam puasa bukan menahan lapar dan haus. Bukan pula menahan segala godaan negatif dan destruktif. Menahan lapar dan haus sesungguhnya hanyalah konsekuensi dari laku tidak-makan dan tidak-minum. Demikian juga menahan hawa nafsu atau segi-segi negatif dan primitif lainnya. Maka, dalam puasa, laku tidak-makan dan tidak-minum itulah yang harus dihayati.

Sekali lagi dalam Al-Futûhât Al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arobi mengingatkan: adalah Tuhan yang tidak makan dan tidak minum. Maka, berpuasa (yakni tidak makan dan tidak minum) adalah laku ilahiah. Dengan berpuasa, seseorang meninggalkan kebutuhan dasarnya sebagai makhluk hidup, tidak lain demi menjalankan laku ilahiah. Dalam arti itu, puasa adalah manifestasi (tajalli ) dimensi ketuhanan dalam hidup manusia.

Berpuasa adalah tindakan sadar untuk memanifestasikan dimensi ketuhanan secara jasmani. Sudah pasti Tuhan memanifestasikan diri-Nya baik secara rohani maupun jasmani, dengan atau tanpa disadari manusia. Tapi dengan puasa, manusia secara sadar mengaktifkan diri dalam usaha memanifestasikan Tuhan tidak saja secara rohani, melainkan juga secara jasmani.

Karena Tuhan tidak makan dan tidak minum, puasa tak lain merupakan manifestasi Tuhan dalam tubuh manusia dengan cara sedemikian konkretnya. Dalam konteks itulah tidak-makan dan tidak-minum dalam puasa begitu ilahi. Dengan puasa Ramadan, seseorang menanamkan laku ilahiah dalam dirinya, dalam kehidupan konkretnya sehari-hari, selama satu bulan.

Menanamkan laku ilahiah ini merupakan langkah cukup jauh, bukan saja untuk menyadari imanensi Tuhan dalam dirinya, melainkan juga untuk menyatu dengan Tuhan bahkan secara fisik. Orang yang berpuasa sesungguhnya mengadopsi dan mempraktikkan satu segi dari kepribadian Tuhan, yang dengan cara itu dia menyatukan dirinya secara fisik dengan kepribadian Tuhan itu sendiri, dan akhirnya dengan Tuhan sendiri.

Dengan demikian, puasa pada hakikatnya menyatukan manusia dengan Tuhan secara rohani dan jasmani sekaligus.

Adalah logis bahwa penyatuan diri dengan Tuhan secara rohani dan jasmani ini mengandung konsekuensi moral dan etik bagi kehidupan. Pada titik itulah seseorang harus kembali pada inti terdalam kemanusiaannya, pada panggilan moral dan etik sebagai manusia. Dia harus memancarkan cahaya penyatuan dirinya dengan Tuhan secara rohani dan jasmani (yang telah dicapainya selama Ramadhan) pada berbagai aspek kehidupan yang konkret.

Zakat fitrah secara simbolik mengembalikan seseorang pada dirinya sendiri sebagai manusia, sekaligus pada panggilan moral dan etik. Zakat fitrah, yakni zakat makanan pokok, mengingatkan: pangan adalah kebutuhan dasarmu, sebab engkau adalah manusia. Pada saat yang sama, zakat fitrah merupakan panggilan moral dan etik: engkau bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan saudara-saudaramu.

Sekali lagi, zakat fitrah adalah mekanisme untuk memastikan bahwa semua orang memiliki makanan pokok sebagai kebutuhan minimal mereka di hari raya Idulfitri. Hanya ketika semua orang dijamin memiliki makanan pokok, engkau boleh mengadakan pesta makan.

Itulah buah dari penyatuan rohani dan jasmanimu dengan Tuhan dalam pengalaman spiritualmu selama Ramadan. Tanpa jaminan bahwa semua orang memiliki makanan, pesta makan pada hakikatnya merupakan suatu kezaliman sosial. Itulah inti Idulfitri sebagai hari pesta raya makan-makan.

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.