Nama Sofyan Alop tiba-tiba menjadi terkenal setelah video dirinya mengimami salat viral di media sosial. Bukan karena wajahnya yang sepintas mirip dengan penyanyi legendaris, Bob Marley, tetapi karena memang penampilannya yang tak lazim, terlebih ketika mengimami salat berjamaah. Padahal, penampilan bukanlah ukuran seseorang itu pantas atau tidak, karena sejatinya Tuhan-lah yang berhak menilai “kedekatan” seseorang dengan-Nya.
Dengan bacaan al-Qur’an yang cukup fasih dan baik, Sofyan sepertinya hendak “melawan” stereotip saat atribusi keagamaan yang ditunjukkan melalui jubah, imamah, sarung, kopiah atau apa pun, baginya hanyalah sekadar “simbol” bagi keimaman, bukan “nilai” layak atau tidaknya seseorang menjadi imam dalam salat.
Istilah “imam” dalam bahasa Arab yang seakar dengan kata “amam” yang berarti “di depan” memang dikonotasikan sebagai simbol atas kepemimpinan, baik dalam salat maupun hal lainnya, termasuk dalam urusan agama maupun politik. Orang-orang tertentu dalam sejarah Islam dengan keahlian di bidang keagamaan disebut sebagai “imam”.
Kita tentu mengenal Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki atau Hanbali yang merupakan tokoh dalam mazhab fikih yang menjadi panutan umat. Hanya saja, dalam konotasi politik, istilah “imam” kurang begitu populer, digantikan oleh “amir” atau “khalifah” yang tentu saja kental bobot politiknya.
“Imam” lebih populer disematkan kepada mereka yang ahli dalam bidang agama, sedangkan “amir”, “sulthon” atau “khalifah” merupakan gelar politik yang umum disematkan kepada para penguasa.
Memang, dalam salat terdapat beberapa kriteria yang merujuk paradigma fikih, lekat dengan kecenderungan fisik sebagai prasyarat seseorang menjadi imam. Paling tidak, terdapat tiga kriteria umum yang dijadikan dasar boleh atau tidaknya seseorang menjadi imam dalam salat. Pertama, sehat jasmani dan rohani, Kedua, bacaan yang fasih dan benar. Ketiga, dituakan secara umur.
Dari kriteria yang disebutkan di atas, jika kedua syarat terpenuhi saja, maka seseorang sudah cukup layak untuk menjadi imam. Tidak disebutkan kriteria lain, seperti penampilan atau pakaian yang dikhususkan bagi seseorang yang ditunjuk menjadi imam sholat. Saya kira Sofyan sang “imam gimbal” telah memenuhi kriteria untuk tampil menjadi seorang imam dalam salat.
Sejauh ini kita memang selalu menilai terhadap apa yang kita lihat dan hampir jarang sekali menilai dari hal yang luput dari penglihatan. Anehnya, manusia yang selalu memiliki keterbatasan ini seringkali tak pernah menyadari keterbatasannya. Itulah sebabnya, manusia cenderung kepada simbolisasi yang lebih mudah dipahami karena terlihat kasat mata. Sehingga tak jarang, sebuah “kebenaran” pada akhirnya diukur menggunakan simbol-simbol.
Sebagaimana dalam praktik keagamaan, begitu bertebarannya simbol-simbol yang diyakini sebagai wujud bahkan “bukti kebenaran” itu sendiri. Padahal, ketika agama diyakini sebagai “nilai kebenaran” yang bersumber dari Tuhan, maka semestinya tak diperlulan lagi simbolisasi. Tuhan Maha Tahu terhadap segala wujud nyata maupun tersembunyi, sehingga ketulusan hati dan kejujuran justru akan jauh lebih bernilai dihadapan-Nya.
Karenanya, sangat masuk akal ketika Nabi Muhammad bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada fisik dan bentukmu, tetapi Dia akan melihat kepada ketulusan hati dan prilakumu”. Dengan demikian, simbol nampaknya tidak begitu penting di hadapan Tuhan, tetapi yang terpenting justru hati kita yang selalu condong kepada kebenaran (Islam) berdasar atas ketulusan dan kejujuran.
Bahkan, dalam dunia tasawuf, simbol tampak tidak pernah dianggap penting, karena bagi kaum sufisme, simbolisasi hanyalah perwujudan dari sifat keduniaan yang justru seharusnya dihindari.
Melihat fenomena “imam gimbal” yang viral, seakan ada semacam bentuk “perlawanan” atas simbolisasi agama yang secara sadar maupun tidak sedang dijalankan oleh Sofyan. Hal ini dibuktikan oleh wawancara Detik.com dengan dirinya, ketika kebanyakan orang memandang sebelah mata karena penampilan dan “simbol” yang tak nampak, tetapi setelah didaulat menjadi imam dalam salat, seluruh penilaian orang justru berubah.
Tanpa disadari, inilah sesungguhnya sebuah realitas yang kita bangun. Awalnya sangat terikat dengan “simbol”, walaupun kemudian kita sendiri yang meruntuhkan “simbol-simbol” tersebut. Terlampau percaya dan yakin terhadap simbol-simbol—terutama dalam soal agama—justru seringkali didahului dengan membangun citra buruk kepada pihak lain, sehingga membongkar fondasi ketulusan dan kejujuran. Manusia cenderung menilai lewat simbol-simbol, tetapi Tuhan-lah yang akan menilai ketulusan dan kejujuran hati seseorang pada akhirnya.
Perlawanan atas simbolisasi agama melalui fenomena “imam gimbal” hanyalah sedikit dari sekian banyak kegandrungan orang terhadap kekuatan melihat simbol. Saking kuatnya, simbol terkadang dijadikan “legitimasi” atas kedekatan seseorang dengan Tuhan. Mereka yang memanfaatkan simbol dalam agama, layaknya manajer-manajer Tuhan yang mendapatkan mandataris-Nya dalam memberikan penilaian-penilaian salah-benar kepada orang lain. Bahkan, kebenaran seringkali diklaim hanya milik mereka yang tak bisa diganggu gugat.
Sedemikian pentingkah simbol? Mungkin, bagi Sofyan “gimbal”, sombolisasi harus dilawan dengan menunjukkan cara-cara dan perilaku yang jauh lebih penting, yaitu ketulusan dan kejujuran. Simbol sekadar “pembeda” yang tak memiliki kekuatan atau makna apa pun, karena ketulusan dan kejujuranlah yang bernilai lebih di mata Sang Maha Agung.