“Bagaimana lelaki tampan nan gagah, dengan hati dan otak yang dipenuhi visi tentang Jazirah Arab bersatu adil makmur, telah menjauhkan negeri yang dibangun buyutnya, Ibrahim AS, dari bau amis darah pertikaian antar kabilah, dari rasa dendam yang muncul akibat ashobiyah, serta dari bau busuk nanah rasa keangkuhan sebagai paling bermartabat dan berkuasa”.
Ini adalah nukilan yang dijabarkan secara jelas dalam kitab-kitab klasik Sirah Nabawiyah (lihat Ibnu Ishaq, 2009: 153-155; Ibnu Hisyam, 2014: 77-80; Ibnu Katsir, 2011: 56-57).
Lelaki itulah yang hadir terlebih dahulu di Baitullah. Sebagaimana kesepakatan para kabilah Hijaz, siapa yang datang lebih dulu memasuki Baitullah bertawaf, maka orang itulah yang akan menjadi pengadil di antara mereka.
“Wahai Al-Amiin, Wahai Yang Tepercaya, jadilah pengadil di antara kami. Siapa menurutmu yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad ini di posisinya di Ka’bah?”
Lelaki agung yang pada waktu itu berusia 35 tahun ini berpikir sejenak, lalu ia bentangkan surbannya. Kemudian, lelaki yang telah diramal oleh seorang Rahib Kristen memiliki tanda kenabian dan kerasulan, meminta suku-suku yang bertikai perihal Hajar Aswad ini memegang ujung di empat sudut surbannya.
Hajar Aswad telah berpindah ke surban itu. “Ayo kita angkat bersama Hajar Aswad ini dengan surbanku, lalu mohon izinkan aku meletakkannya di tempatnya”. Semua kabilah setuju dan merasa inilah keadilan paling nyata yang mereka alami.
Tentu setiap bangsa memiliki imajinasi masing-masing tentang kemajuan dan kemakmuran bangsanya. Imajinasi itu seperti imagined community-nya Ben Anderson, adalah suatu gambaran tentang cita-cita terbentuknya masyarakat ideal yang ada dalam memori panjang sejarah nyata sebuah bangsa. Yakni, komunitas yang diimajinasikan sebagai komunitas yang bersatu, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan oleh para pendirinya.
Salah satu imajinasi kebangsaan yang mungkin relevan dengan kita saat ini adalah visi kebangsaan yang diamalkan dengan apik oleh Rasulullah Muhammad SAW di atas. Secara sederhana, saya menyebutnya sebagai imaji Batu Hitam.
Mengambil eksemplar contoh visi kebangsaan Muhammad bukan berarti dimaksudkan sebagai keinginan mendirikan Negara Islam. Apalagi mendukung sistem khilafah. Bagi saya, Negara Islam ataupun Khilafah adalah sistem utopis untuk dipraktikkan di negara kita. Karena NKRI dan Pancasila, UUD 1945 adalah sistem final yang telah disepakati para pendiri republik ini.
Tetapi, proposal imaji Batu Hitam ini adalah untuk penggalian nilai-nilai dan isyarat-isyarat visioner yang dijadikan landasan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik, yang dalam sejarah umat manusia dinilai berhasil. Paling tidak, di antara 100 tokoh paling berpengaruh, Rasulullah Muhammad disebut sebagai tokoh nomor wahid (Michael H. Hart, 1992: 3-10).
Perkembangan situasi sosial, ekonomi dan politik belakangan ini, terutama mendekati Pemilu 2019, terlihat semakin memanas. Hampir semua kekuatan ekonomi, politik dan sosial unjuk gigi. Energi mereka banyak difokuskan untuk menyiapkan diri menghadapi momentum pemilu tersebut. Benturan kepentingan di antara mereka untuk memenangkan pertarungan terlalu keras dan panas, sehingga terkadang melupakan tujuan berkeindonesiaan sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Contohnya adalah sikap masing-masing kekuatan terhadap perbedaan pendapat yang muncul di antara mereka terkadang melupakan akal sehat. Sehingga abai terhadap pemberian jawaban akan pertanyaan apakah sikap-sikap ini nyambung dengan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan?
Bila dibiarkan, kondisi ini dikuatirkan akan menggerus kita sebagai bangsa; kita hancur berantakan, lalu kita hanya jadi bumbu tidak sedap masakan peradaban dunia. Apalagi dua poros kekuatan politik telah menyatakan kesiapannya bertarung pada Pemilu 2019. Entah apakah masih akan muncul kekuatan lain.
Di tengah hiruk-pikuk itu terlihat mengemuka upaya mengadu-domba–meminjam istilah KH Hasyim Muzadi—sepasang sandal bangsa Indonesia: NU & Muhammadiyah. Merasakan situasi ini, saya kira Indonesia kini dan di masa mendatang perlu mempelajari dan memraktikkan nilai-nilai dan isyarat-isyarat visioner imaji Batu Hitam yang akan diurai berikut ini.
Imaji Batu Hitam menandaskan nilai-nilai praksis dari empat isyarat yang melekat padanya. Empat isyarat itu adalah Kepemimpinan Visioner (persatuan, memihak kepentingan bangsa, serta tidak bekerja untuk kepentingan dan kesenangan asing-aseng); Surban Putih (empat penjuru kepentingan kebangsaan, kesucian niat dan tujuan); Pemimpin Qabilah (kerja tim, toleransi/tepo seliro dalam bekerja sebagai tim kepemimpinan/tidak ashobiyah) dan Batu Hitam (tujuan bersama harus dikerjakan dan diletakkan secara bersama).
Muhammad dalam kisah peletakan Hajar Aswad telah meletakkan fundamental nilai kepemimpinan. Pemimpin haruslah visioner dan berpikir ke depan. Ketika dihadapkan kepadanya fakta persoalan bangsa, pemimpin sudah seharusnya menghadirkan solusi strategis, tepat sasaran serta menjadikan kepentingan bangsa di atas kepentingan apa pun.
Pemimpin juga harus pandai membawa rakyat dan bangsanya secara keseluruhan kepada imajinasi kebajikan tentang persatuan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan (empat penjuru kepentingan bangsa). Tentu imajinasi seperti itu membutuhkan praksis gerakan yang didasari oleh niat kuat serta tujuan suci.
Oleh karena itu, pemimpin harus menyadari bahwa dirinya tidak bisa bekerja sendirian: hanya mengandalkan kelompoknya serta menjalankan roda kebangsaan dengan melibatkan lingkaran sahabatnya saja. Sebaliknya, justru ia perlu mengajak serta berbagi kerja dan jerih-payah dengan seluruh komponen kekuatan bangsa.
Ikatannya adalah tujuan bersama yang diletakkan di atas pundak bersama serta dikerjakan secara bersama. Yakni, seperti tujuan bersama sebagaimana diamalkan Al-Amiin dalam Imaji Batu Hitam. Wallaahu a’lam.