Jumat, Maret 29, 2024

Imagined Indonesia: Belajar dari Bantul dan Pesantren Ngalah

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Pengunjung mengamati pameran foto bertajuk "Toleransi dan Keberagamaan" di kampus Institut Agama Islam Tribakti, Kota Kediri, Jawa Timur, Jumat (30/12). Pameran yang diselenggarakan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan (Kontras) bekerjasama dengan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (Asosiasi pesantren Nahdlatul Ulama) tersebut guna mengkampanyekan toleransi kepada masyarakat luas agar menghormati perbedaan dan keberagamaan. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc/16.
Pengunjung mengamati pameran foto bertajuk “Toleransi dan Keberagamaan” di kampus Institut Agama Islam Tribakti, Kota Kediri, Jawa Timur, Jumat (30/12). Pameran ini diselenggarakan Kontras bersama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi pesantren NU) guna mengkampanyekan toleransi. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc/16.

Yogyakarta terasa tak henti-hentinya terkurung duka intoleransi. Setelah diterpa aksi penurunan baliho jilbab milik Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) pertengahan Desember lalu, provinsi yang dikenal sebagai basis multikulturalisme dan rujukan tempat kuliah ini dikejutkan oleh penolakan sebagian warganya terhadap Yulius Suharta, PNS senior yang dilantik Suharsono, Bupati Bantul Yogyakarta, sebagai Camat Pajarakan pada Oktober lalu.

Yulius yang Katholik dianggap tidak pantas memimpin kecamatan yang memang dihuni mayoritas Muslim.

Meski didemo, Suharsono kukuh dengan pendiriannya: tetap menempatkan Yulius sebagai Camat Pajangan. Menurutnya, pengangkatan tersebut berdasarkan kompetensinya, bukan agamanya. “Kerja saja belum, kok, saya disuruh mengganti (Yulius)? Apa dosa dia? Keputusan tetap sesuai Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya sebagaimana dikutip Tempo Edisi 4403.

Sebelumnya, Suharsono juga bergeming saat didesak segelintir orang agar menutup Gereja Baptis Indonesia (GBI) Saman, Kecamatan Semon, dan membongkar patung Yesus milik Gereja Santo Yacobus Alfeus di Kecamatan Pajangan.

“Saya Muslim ingin menciptakan kerukunan beragama. Ini agama diakui pemerintah, kenapa dilarang? Menteri dan Presiden pun enggak punya hak dan wewenang membubarkan (agama itu),” kata purnawirawan polisi berpangkat AKBP yang juga lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Yang menarik, lanjut Suharsono, pendemo Camat Yulius, GBI, maupun Patung Yesus berasal dari kelompok yang sama.

Dua Riset
Keteguhan Bupati Suharsono emoh tunduk kepada tekanan kelompok radikal Islam terasa tegukan air di tengah semakin gersangnya toleransi dan tandusnya kesungguhan komitmen pejabat publik merawat 4 pilar bangsa: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

Dalam kasus intoleransi pejabat publik tidak seagama, jika mau ditelisik, sesungguhnya praktiknya berjalan cukup massif. Meski belum ada riset akurat menyangkut akumulasi kasus, kita bisa meminjam dua hasil riset sebagai galah.

Pertama, survei Wahid Foundation 2016 yang menunjukkan ada sekitar 92,2% dari 59,9% Muslim-dewasa Indonesia yang tidak rela menjadikan non-muslim sebagai aparat pemerintahan.

Kedua, kondisi ini diperparah oleh temuan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, saat mensurvei tiga ratusan guru Pendidikan Agama Islam di 5 provinsi. Sebanyak 87%, 80% dan 89% responden mengaku tidak setuju non-Muslim menjadi kepala sekolah, kepala dinas, dan kepala daerah.

Data guru PAI ini, saya yakini, seakan telah membuka kotak pandora dari mana muasal tingginya angka survei Wahid Foundation. Bagaimanapun juga, pendidikan merupakan hulu yang berperan vital mempengaruhi output di hilir. Lembaga pendidikan merupakan persemaian utama yang menjadi target utama untuk direbut kelompok radikal-intoleran.

Temuan PPIM juga menunjukkan realitas loyonya institusi pendidikan sebagai arena pendadaran nilai-nilai keberagaman perlu segera diintervensi negara. Caranya, dengan membenahi sistem rekrutmen, seleksi, pendidikan, dan pelatihan guru agama serta mengembangkan bahan ajar, termasuk buku pengayaan dan buku guru yang memperkuat wawasan keislaman dan keindonesiaan.

Ngalah Tidak Kalah
Kita semua pasti memimpikan wajah Islam Indonesia yang lebih toleran. Wajah tersebut hanya bisa tersaji manakala institusi pendidikan Islam mau menjadi garda depan pelaku multukulturalisme itu sendiri.

Dalam konteks ini, Universitas Yudharta (UY) bisa menjadi temuan menarik. Universitas ini berdiri di dan berada dalam sistem pendidikan Pesantren Ngalah Sengonagung Purwosari Pasuruan, pimpinan KH Sholeh Bahruddin. Sejak awal pendiriannya, UY didesain sebagai kampus multikultural di tengah pesantren. Itu sebabnya tidak sedikit mahasiswa/i non-muslim mengambil studi di sana.

Jika sebuah kampus besar milik salah satu pesantren besar di Jombang mewajibkan mahasiswi non-muslim memakai jilbab dengan alasan penghormatan, maka hal itu tidak berlaku di UY. Mereka bebas tidak mengenakan jilbab.

Bahkan, sebagaimana yang Muslim, mahasiswa/i non-muslim juga tidak dilarang mengadakan acara keagamaan di dalam kampus. “Kami tidak pernah diperlakukan diskriminatif. Saya sangat senang menjadi keluarga besar Yudharta,” kata Estalita Kelly, Dekan Fakultas Psikologi, saat saya berkunjung ke sana awal Oktober 2016.

Estalita Kelly adalah lompatan besar KH Sholeh yang berani memasukkan non-muslim dalam jabatan struktural kampus. Bisa jadi Estalita merupakan satu-satunya dekan Kristen pada perguruan tinggi yang berdiri di dalam pesantren.

“Yudharta adalah kampus terbuka, meski berada di tengah pesantren. Sebab, Islam merupakan rahmat bagi alam semesta,” kata Kiai Sholeh Bahruddin, yang juga pernah menjabat Mustasyar (penasihat) Nahdlatul Ulama Kabupaten Pasuruan 2006-2010.

Saya percaya, dengan keunikan masing-masing, Kiai Sholeh Bahruddin dan Suharsono adalah dua menara yang bisa dirujuk tatkala menara-menara lain bertumbangan dalam menjaga Indonesia yang kita impikan.

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.