Sabtu, April 20, 2024

Idul Adha: Sepercik Cahaya Sosial Spiritualitas Islam

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
FOTO ANTARA/pandu dewantara

Merayakan Idul Adha merupakan usaha umat Islam di seluruh dunia untuk ikut serta dalam karnaval akbar kerohanian ibadah haji, yang berpusat di Mekkah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Perayaan itu dilakukan guna meraih dimensi-dimensi relijius dan spiritual dengan panggilan moral sosialnya. Sedemikian penting ibadah haji sebagai praktik relijius dan spiritual, sehingga umat Islam tak mau ketinggalan dengan momen tersebut, yaitu dengan melaksanakan puasa tarwiyah, puasa Arafah, melaksanakan salat Idul Adha, dan memotong hewan kurban. Semua ini bersumber dari Nabi Ibrahim

Begitu Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, Allah SWT memerintahkannya naik ke atas Ka’bah untuk memanggil orang-orang datang ke rumah Tuhan yang, menurut Al-Qur’an (Ali Imrân/3: 96), merupakan rumah Tuhan yang pertama itu. Dengan agak sangsi Nabi Ibrahim bertanya-tanya: bagaimana mungkin suaranya bisa sampai dan didengar oleh orang banyak?

Menanggapi kesangsian Nabi Ibrahim ini, Allah SWT berfirman, “Wahai Ibrahim, tugasmu adalah memanggil. Aku sendirilah yang akan menyampaikan panggilanmu pada orang-orang.” Nabi Ibrahim pun memanggil orang-orang untuk datang ke Ka’bah. Lalu, Allah menyampaikan panggilan itu pada hamba-hamba-Nya.

Kisah di atas jelas memberikan supremasi kepada Nabi Ibrahim. Di situ Allah SWT memang memposisikan diri, atau diposisikan, sebagai Yang Memberikan perintah. Namun, di sisi lain, Allah diposisikan sebagai “Penyambung lidah” Nabi Ibrahim. Bahwa Allah diposisikan sebagai “Penyambung lidah” Nabi Ibrahim jelas mengekspresikan supremasi Nabi Ibrahim itu sendiri. Ini merupakan bentuk lain penghormatan kepada Nabi Ibrahim, yang menurut al-Quran (An-Nisâ`/4: 125) dijadikan Tuhan sebagai kawan dekat-Nya (khalîl). Supremasi Nabi Ibrahim ini punya arti penting dalam Islam, khususnya dalam konteks ibadah haji dan hari raya Idul Adha.

Versi ringkas kisah tersebut direkam dalam al-Qur’an (al-Hajj/22: 27). Versi lebih rinci dituturkan antara lain oleh Ibnu Arabi dalam magnum opus-nya, al-Futuhâtu ‘l-Makkiyyah, jilid 11. Itulah cikal-bakal ibadah haji yang dilembagakan Nabi Muhammad sebagai ajaran Islam. Itu sebabnya, sering dikatakan bahwa menjalankan ibadah haji adalah memenuhi panggilan Allah SWT.

Secara verbal, memenuhi panggilan itu diucapkan dengan membaca talbiyah, yaitu ucapan labbayk, ‘Aku penuhi panggilan-Mu’. Dalam talbiyah, kata labbayk diucapkan sebanyak lima kali. Kata Ibnu Arabi, memenuhi panggilan Allah SWT (melaksanakan haji) itu serupa dengan persaksian manusia kepada Tuhan di alam penciptaan pada hari alastu. Menurut al-Qur’an (al-A’râf/7: 172), pada hari itu kepada manusia Tuhan bertanya, “Bukankah Aku Tuhanmu?” Dan manusia menjawab, “Balâ syahidnâ (Benar. Kami bersaksi).”

Kalau labbayk merupakan afirmasi terhadap panggilan melaksanakan ibadah haji, balâ merupakan afirmasi terhadap panggilan untuk mengakui eksistensi Tuhan. Dengan demikian, labbayk adalah proyeksi dan manifestasi balâ dalam kehidupan konkret seorang Muslim. Bahwa labbayk dalam talbiyah diulang sebanyak lima kali, hal itu sejalan dengan lima salat fardu yang dilaksanakan setiap Muslim saban hari.

Ibadah haji diwajibkan hanya satu kali bagi setiap Muslim. Itu pun bagi yang mampu melaksanakannya. Tentu saja hal tersebut pertama-tama untuk tidak memberatkan setiap Muslim, baik secara fisik, finansial, maupun pertimbangan-pertimbangan lain. Namun lebih dari sekadar mengandung motif tidak memberatkan, kewajiban satu kali itu juga mengandung makna yang lebih penting.

Menurut Ibnu Arabi, satu kali kewajiban menjalankan ibadah haji itu merupakan poyeksi dan manifestasi ke-esa-an Tuhan. Dengan cara itu, Tuhan imanen dan hadir dalam praktik ibadah haji. Demikianlah, maka secara keseluruhan ibadah haji pertama-tama mengekspresikan kehadiran Tuhan melalui sifat-Nya yang Mahaesa, yang merupakan basis sangat penting spiritualitas Islam.

Bukan kebetulan kalau Nabi Muhammad melaksanakan ibadah haji hanya satu kali sepanjang hayatnya. Memang, ada faktor-faktor objektif yang membuat Nabi Muhammad melaksanakan ibadah haji hanya satu kali: permusuhan tak kunjung usai penduduk Mekkah terhadap Nabi Muhammad, negosiasi dengan penduduk Mekkah yang gagal, dan lain-lain. Tapi bagaimanapun, faktor-faktor objektif itu telah memastikan termanifestasikannya keesaan Tuhan dalam satu kali praktik ibadah haji Nabi Muhammad.

Manifestasi keesaan ilahi dalam satu kali praktik ibadah haji Nabi ini kiranya semakin relevan di tengah kian daruratnya pelaksanaan ibadah haji akibat kian tingginya angka jemaah haji dari seluruh dunia. Kecuali atas pertimbangan tertentu, melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali sesungguhnya menghilangkan manifestasi keesaan ilahi dalam ibadah haji itu sendiri.

Demikianlah salah satu dimensi relijius dan spiritual ibadah haji. Ditambah lagi dengan dimensi-dimensi relijius lainnya, baik menyangkut pengalaman hidup Nabi Ibrahim, isterinya Sarah, dan anaknya Ismail, maupun tempat-tempat suci seperti Mekkah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina, ibadah haji tentu mengandung dimensi-dimensi relijius dan spiritual yang sangat dalam. Tapi yang tak kalah penting adalah etik sosial dari dimensi relijius dan spiritual ibadah haji itu sendiri.

Etik sosial ini sekali lagi bersumber dari Nabi Ibrahim, yaitu ketika peristiwa penyembelihan anaknya berganti dengan domba, yang kemudian menjadi ajaran berbagi daging kurban. Panggilan moral dari pencapaian dan pengalaman spiritual pada akhirnya tak lain adalah solidaritas dan tanggung jawab sosial.

Sebagai panggilan Tuhan, pelaksanaan ibadah haji selalu ramai setiap tahun. Ini merupakan karnaval akbar kerohanian umat Islam dari seluruh dunia. Ibadah haji merupakan momen kerohanian yang sangat penting, bukan saja bagi jemaah haji, melainkan juga bagi seluruh umat Islam di mana pun. Itu sebabnya, umat Islam di seluruh dunia ikut serta dan ambil bagian dalam momen relijius tersebut dengan cara merayakan Idul Adha.

Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, Idul Adha merupakan momen penting sebagai jalan untuk ikut serta dalam karnaval akbar kerohanian ibadah haji. Dengan merayakan Idul Adha, mereka menyatukan diri dengan jamaah haji yang sedang memenuhi panggilan ilahi. Dengan menyatukan diri dengan jamaah haji, mereka menyatukan dunia rohani mereka dengan Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Sarah, dan Nabi Ismail.

Perayaan Idul Adha merupakan satu rangkaian mulai puasa tarwiyah, puasa Arafah, salat Idul Adha, dan memotong hewan kurban —di samping takbir, tahmid, tasbih, zikir, dan sejenisnya. Semuanya merupakan ibadah sunnah, bersifat anjuran. Dalam hal diawali dengan puasa, Idul Adha sama dengan Idul Fitri. Oleh karenanya, baik makna Idul Adha maupun Idul Fitri perlu dipahami dari puasa.

Apa yang penting dalam puasa bukanlah menahan lapar, haus, dan hal-hal negatif sebagaimana sering dikatakan. Yang penting dalam puasa adalah laku tidak makan dan tidak minum itu sendiri. Menahan lapar dan haus serta hal-hal negatif lainnya hanyalah konsekuensi dari laku tidak makan dan tidak minum dalam puasa. Hal itu demikian karena Allah-lah yang tidak makan dan tidak minum. Dengan demikian, tidak makan dan tidak minum dalam puasa merupakan laku ilahiah.

Orang yang berpuasa sesungguhnya sedang menjalani laku ilahiah, yakni mengkonkretkan imanensi Tuhan di dalam tubuhnya sendiri. Dengan menjalani laku ilahiah ini, orang yang berpuasa sedang meninggalkan kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yaitu makan dan minum, sekaligus sedang menaikkan dirinya ke aras keilahian.

Setelah selesai menjalankan puasa, yakni meninggalkan makan dan minum sebagai kebutuhan dasarnya, orang boleh merayakan Idul Fitri, yang secara harfiah berarti pesta makanan. Namun sebelum merayakan Idul Fitri, yakni mengadakan pesta makanan, orang-orang yang memiliki sekadar makanan berlebih harus mengeluarkan zakat fitrah, yang berarti zakat makanan (pokok).

Zakat fitrah harus dikeluarkan selambat-lambatnya sebelum salat Idul Fitri. Dengan demikian, zakat fitrah merupakan mekanisme untuk menjamin semua orang memiliki makanan di hari pesta makanan, agar semua orang dapat merayakan Idul Fitri sebagai hari raya makan-makan. Melalui puasa Ramadan seseorang dididik atau “dipaksa” untuk memupuk dunia rohaninya melalui laku ilahiah, dan melalui zakat fitrah dia dididik untuk memiliki tanggung jawab sosial. (Baca: Inti Idul Fitri adalah Pesta Makan).

Dua bulan sepuluh hari setelah Idul Fitri, tibalah Idul Adha. Itu berarti, setelah diwajibkan memupuk dunia rohani melalui puasa Ramadan dan dididik memikirkan nasib orang lain melalui zakat fitrah, seorang Muslim kiranya memahami dan menyadari arti penting keduanya. Maka, selanjutnya mereka diminta untuk melakukan hal serupa secara suka rela, yaitu puasa menyambut Idul Adha dan berkurban.

Dalam kaitan ini, puasa yang paling penting adalah puasa Arafah, yang bersamaan dengan puncah ibadah haji, yaitu wuquf di Arafah. Setelah puncak laku ilahiah yang sangat penting inilah, Idul Adha baru dirayakan. Idul Adha sendiri secara harfiah berarti pesta daging hewan kurban.

Dengan demikian, setelah menjalani laku ilahiah dalam puasa, orang baru dapat mengadakan pesta daging hewan kurban. Daging kurban haruslah dibagikan kepada fakir-miskin. Inilah dimensi sosial Idul Adha, yang merupakan pancaran dari “puncak” laku ilahiah yang dijalankan sebelumnya. Itulah sepercik cahaya sosial dari spiritualitas Islam.

Kolom terkait:

Kita “Ibrahim”, Siapa “Ismail” Kita?

Haji dan Kemunculan Islam

Haji yang Zalim (Mengenang KH Ali Mustafa Yaqub)

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.