Dalam segenap narasi hidupnya, Habib Luthfi bin Yahya menjadi cermin betapa tasawuf menjadi oase di tengah kehidupan bangsa. Habib Luthfi memimpin Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah atau Jatman, yang terkoneksi dengan jaringan ulama tasawuf lintas negara. Di bawah nahkoda kepemimpinan Habib Luhtfi, Jatman menjelma menjadi ruang komunikasi lintas aliran tasawuf di negeri ini, serta menjembatani pelbagai aspirasi Muslim penganut tasawuf.
Pada 15-18 Januari 2018 ini, Jatman menyelenggarakan Muktamar XII di Pekalongan, Jawa Tengah. Presiden Joko Widodo hadir membuka muktamar para kiai dan jam’iyyah tasawuf pada Senin (15/01). Muktamar XII Jatman ini membahas kondisi internal dan eksternal yang berkaitan dengan persoalan umat, rakyat, bangsa, negara dan masalah internasional.
Jatman pertama kali menyelenggarakan muktamar pada 20 Rajab 1377 Hijriah, bertepatan dengan 10 Oktober 1957. Agenda Muktamar I JATMAN diselenggarakan di pesantren API Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah. Pada muktamar pertama, diprakarsai oleh beberapa kiai waskita, yakni KH Chudlori, KH Dalhar, KH Siradj, serta Kiai Hamid Kajoran. Pada awalnya, Kiai Muslih Abdurrahman Mranggen (Demak) mendapat amanah menjadi Rais ‘Aam. Jatman didirikan oleh lima tokoh, yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Muslih Mranggen, KH Masykur, dan KH Idham Chalid.
Suatu ketika, dalam kisah yang disampaikan Syaroni as-Samfury, wali Quthb Syaikh Muhammad Amin Kutbi menyampaikan nasihat kepada KH Idham Chalid, yang saat itu menjadi Mudir ‘Aam Jatman. “Idham, thariqah di Indonesia akan maju dan berkembang bila nanti dipimpin oleh seorang habib yang bernama Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya”. Seolah Syaikh Muhammad Amin Kutbi mengetahui kapasitas Habib Luthfi untuk memimpin jaringan thariqah di Indonesia.
Sepulang dari Makkah, KH Idham Chalid bertemu dengan Habib Luthfi bin Yahya. Keduanya bersalaman dalam durasi lama tanpa berkata-kata. Di tengah keheningan, Habib Luthfi menjawab berulang, “Insya Allah, Pak Kiai, saya laksanakan.” Ternyata, keduanya melakukan komunikasi batin. Kiai Idham menyampaikan, “Habib, nanti kamu yang melanjutkan thariqah.” Menjawab ini, Habib Luthfi langsung berkata: “Insya Allah, Pak Kiai, saya laksanakan.”
Pada sebuah forum di Muktamar Thariqah, KH Idham Chalid mengungkapkan kepada para kiai yang hadir bahwa JATMAN ini ibarat rumah sakit besar. Kiai Idham Chalid yang bagian membangun, sementara dokter spesialisnya adalah Habib Luthfi bin Yahya. Sementara, dalam struktur warga nahdliyyin, tasawuf, dan gerakan tarekat menjadi basis nilai-nilai spiritual.
Pesan Kebangsaan
Dalam sejarahnya, jaringan tariqah berperan penting dalam perjuangan antikolonial. Peristiwa 1888 di Banten menjadi tonggak sejarah betapa para penganut tasawuf yang menggerakkan perjuangan untuk melawan rezim kolonial. Jaringan tarekat terbukti efektif untuk menggerakkan perlawanan, dengan nilai-nilai tasawuf dan jihad untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Sosok guru tasawuf, semisal Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid, merupakan motor penggerak pemberontakan di Banten, melalui gerakan 9 Juli 1988, yang dikenal Geger Cilegon, sebagaimana dicatat Sartono Kartodirjo (1984), Pemberontakan Petani Banten 1888.
Di Jawa Tengah, dikenal sosok Kiai Rafa’i yang menggerakan jamaahnya untuk melawan kolonial Belanda. Kiai Rifa’i lahir pada 13 November 1786, di Tempuran, Kendal. Dalam kitab Nazam Wikayah, Kiai Rifai menggerakkan perlawanan:
Slamete dunya akherat wajib kinira// nglawan raja kafir sekuasane kafikira
Tur perang sabil lewih kadene ukara //kecukupan tan kanti akeh bala kuncara
[keselamatan dunia-akhirat wajib diperhitungkan// melawan raja kafir semampunya perlu dipikirkan, Juga perang sabil lebih dari ucapan// cukup tidak menggunakan pasukan yang besar]
Dalam narasi panjangnya, gerakan tariqah menjadi basis perjuangan untuk melawan rezim kolonial, sekaligus menjaga kemerdekaan. Pasa masa kini, jaringan tariqah berfungsi sebagai pilar nilai-nilai kebangsaan, untuk menjaga negeri ini agar terhindar dari perpecahan serta menjadi solusi atas tantangan radikalisme dan geostrategis di dunia internasional.
Dalam sebuah konferensi ulama thariqah internasional di Pekalongan, Juli 2016 lalu, Habib Luthfi berpesan tentan pentingnya cinta tanah air. “Wahai bangsaku, relakah negeri kita ini terpecah belah? Jika tidak, ikuti kata-kata saya, bismillahirrahmaanirrahim, asyhadu anlaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, radhiina billahi robba, wa bil islaami dina, wabi muhammadin nabiyya wa rasula. Kami berikrar, bela negara adalah wajib, bela negara adalah wajib, bela negara adalah wajib!”
Dalam ungkapan Habib Luthfi, bela negara dan upaya mencintai tanah air itu mempunyai pengertian yang luas. “Mungkin ini disebabkan kurangnya pendidikan dari orang tua. Sehingga anak menjadi rabun akan bangsanya. Padahal wajib hukumnya bela negara. Memajukan pendidikan, ekonomi, pertanian itu termasuk dalam kategori bela negara. Kekayaan apa yang ada di negara masing-masing,” terangnya.
Jatman tidak sekadar perkumpulan para penganut tasawuf. Gerakan tariqah ulama sufi menjadi oase bagi bangsa ini untuk tetap menebarkan wajah Islam yang penuh kedamaian. Dari selasar muktamar, keberkahan berpendar menyelami lubuh hati kami, para pengais cahaya.
Kolom terkait:
Habib Luthfi dan Maulid Kebangsaan
Habib, NU, dan Islam yang Satu