Berita kepergian Djohan Effendi saya terima pada saat rehat di tengah rangkaian acara Halaqah Nasional Ulama dan Cendekiawan bertema “Peran Ulama dalam Membangun Kehidupan Beragama yang Harmoni” yang diselenggarakan Maarif Institute di Jakarta kemarin bekerjasama dengan Lakpesdam NU dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Berita itu begitu menghentak, lantaran tema besar halaqah ini, dalam kehidupan keindonesiaan, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran Mas Djohan, yang dalam meletakkan dasar-dasar kebebasan dan keharmonisan beragama kerap disejajarkan dengan dua sahabat karibnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Seperti dua sahabatnya yang lebih dulu wafat, Mas Djohan merupakan salah satu tokoh yang sangat menonjol dalam memperjuangkan kerukunan beragama. Ia, bersama Cak Nur dan kawan-kawan, mendirikan Yayasan Paramadina pada 1986 yang tumbuh menjadi salah satu lembaga terdepan dalam menyemai gagasan pluralisme, kebebasan, dan kerukunan beragama.
Kebebasan beragama bukan perkara yang harus dirisaukan atau dikhawatirkan, karena dianggap membuat orang beragama dengan semau-maunya, pindah agama dengan seenaknya, sesuai dengan selera. Kebebasan beragama harus dirayakan, karena inilah salah satu prinsip yang tak bisa ditawar-tawar yang landasan teologisnya sangat kuat dan jelas tertuang dalam kitab suci.
Dan, sebagai warga negara Indonesia, kita bersyukur karena keberbagaian agama yang ada di negeri ini, memiliki titik temu dalam Pancasila yang menjadi falsafah dan landasan hidup berbangsa dan bernegara. Semua agama memiliki kekuatan yang sama, juga kerekatan yang sama, dalam jiwa keindonesiaan yang berketuhanan yang Maha Esa.
Sila pertama Pancasila adalah meeting dan melting point bagi semua agama dan keyakinan. Meskipun keesaan itu dalam ranah material bisa terekspresikan dalam ragam bahasa dan rupa, tapi pada tataran esoteris berada pada sumbu yang sama. Karena itulah inklusivitas beragama menjadi keniscayaan, dan bumi Indonesia menjadi lahan yang subur untuk menumbuhkan dan merayakannya.
Untuk menumbuh-kembangkan inklusivitas keberagamaan dalam masyarakat Indonesia, memasuki era reformasi, Mas Djohan mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dengan visi mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, berkeadilan, setara, persaudaraan dalam pluralisme agama dan kepercayaan, dan penghormatan kepada martabat kemanusiaan. Pada 12 Juli 2000, organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat non-sektarian ini diresmikan oleh Presiden Gus Dur.
Di antara gagasan yang menonjol dari Mas Djohan adalah tentang pentingnya menumbuhkan kerukunan beragama di tengah-tengah masyarakat secara objektif dan alamiah. Karena itu, pada saat Menteri Agama Mukti Ali mengadakan “proyek Kerukunan Antar Umat Beragama”, Mas Djohan diserahi tugas untuk memimpinnya. Sayang, proyek ini belum sempat dijalankan maksimal karena pada saat kursi Menteri Agama beralih ke Alamsyah Ratu Perwiranegara, diformalkan dalam bentuk peraturan dan bahkan direncanakan menjadi undang-undang tentang kerukunan antarumat beragama–suatu upaya yang tidak diinginkan Mas Djohan.
Menurut pria kelahiran Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1939, kerukunan umat beragama seyogianya dibiarkan tumbuh secara alamiah di tengah-tengah masyarakat. Pada saat diatur dengan beragam ketentuan, kerukunan beragama akan menjadi ekspresi yang menutupi kedustaan. Keberadaannya menjadi tidak otentik.
Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang menyebut Mas Djohan sebagai salah satu peletak dasar teologi kerukunan beragama di Indonesia. Karena gagasan-gagasannya tentang bagaimana mempertemukan beragam agama dan keyakinan banyak menjadi rujukan para pelanjutnya.
Di tengah situasi politik saat ini, ketika partai politik atau para elitenya kerap menjadikan agama sebagai alat politik yang bertendensi memecah belah keharmonisan, kepergian Mas Djohan menjadi seperti lonceng pengingat bahaya akan masa depan sebuah bangsa yang memiliki kerentanan tingkat tinggi dalam kerukunan beragama.
Keharmonisan yang sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat selama bertahun-tahun bisa dirobek dalam waktu hitungan jam lantaran dipicu ujaran kebencian yang dilontarkan oleh seorang elite agama atau politikus intoleran. Emosi dan semangat keagamaan dijadikan alat untuk menghimpun kekuatan, meningkatkan daya elektoral, untuk meraih kekuasaan.
Maka, memperkuat landasan keharmonisan beragama yang memiliki keragaman ekspresi di negeri ini menjadi tugas yang tak bisa dikerjakan sambil lalu oleh para penerus Mas Djohan.
Kolom terkait:
Cak Nur dan Pikiran-pikiran yang Melampaui Zamannya
“Agama-Agama Ibrahim”, Makhluk Apakah Itu?
Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme dalam Beragama