Nahdlatul Ulama (NU), salah satu Ormas yang dikenal sebagai penjaga gawang NKRI, menggelar Musayawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), 23-25 November. Sontak, saya jadi terngiang dengan salah satu tokoh NU, KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang amat komit dengan nilai-nilai keislaman yang teduh, santun, dan toleran.
Saya sering mendapati Gus Mus menekankan perihal kegelisahannya akan krisis ruh al-dakwah (semangat dakwah) yang semakin menjamur. Ruh al-dakwah yang dimaksud Gus Mus tentu saja merujuk kepada spirit dakwah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang telah diwariskan berabad-abad, dari generasi ke generasi.
Pendapatan (baca: kesaksian) itu saya peroleh di beberapa kesempatan panggung ceramah keagamaan yang kebetulan saya hadir di sana, maupun via siaran tunda yang biasanya diunggah ke Youtube. Untuk yang terakhir itu, motifnya pun macam-macam. Ada beberapa orang yang mungkin merasa tergerak hatinya untuk perlu menyebarluaskan ekspresi keagamaan yang teduh a la Gus Mus. Ada juga yang memang karena tuntutan profesi sebagai Youtubers sekaligus “ngalap berkah” dari pengajian Gus Mus.
Kembali ke ruh al-dakwah. Secara personal, saya mengamini apa yang disampaikan Kiai Mustofa Bisri. Pengaminan itu setidaknya saya landaskan pada dua realitas empiris. Pertama, betapa sering kita disuguhkan dengan fenomena ruang publik yang dipenuhi ujaran kebencian (hate speech). Salah-menyalahkan, sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan, menjadi hal biasa.
Apalagi di ranah jagat maya yang penuh kebebasan, ujaran kebencian seakan menjadi konsumsi sehari-hari. Jangankan kita, Gus Mus saja pernah dibilang kasar di Twitter. Apa ndak kurang ngajar coba?
“Manusia kok mengafirkan orang yang berbeda, itu kan ya kacau. Manusia ya manusia saja, jangan mengambil alih hak mutlak Gusti Allah”, kata Gus Mus (2017) di salah satu video Youtube.
Kedua, berapa banyak artis kita yang mendadak alih profesi menjadi ustaz. Bahkan ada juga yang mengaku mualaf lalu vokal berbicara Islam. Ini tidaklah keliru. Toh, sekaliber Sayyidina Umar pun memiliki masa lalu yang kelam.
Tapi, celakanya, jika ujaran kebencian itu terlontar dari para pendakwah, yang dalam istilah zaman now mafhum disebut ustaz. Pangkalnya pun beragam, bisa dari kicauan di Twitter yang dibatasi 280 karakter itu, atau bisa jadi juga dalam kesempatan siaran keagamaan di Tv-tv, posting-an sosial media, repost dari posting-an di sosial media, dan sebagainya.
Saya pun tidak menolak ketika harus mengapresiasi mereka yang terlibat dalam mendakwahkan Islam, namun pada saat yang sama harus diakui juga jika itu merupakan salah satu faktor ruwet-nya pemahaman keislaman kita. Sebab, mengutip kegelisahan Gus Mus, ustaz-ustaz seleb itu tidak jelas jalur ilmunya. Dulu ngajinya di mana? Nyantrinya sama siapa? Sanad ilmunya bagaimana, kan masih buram.
Well, tahu-tahu mereka tampil di TV-TV, berceramah, didengarkan ribuan orang awam lainnya, masyarakat umum. Mereka tampan, kelimis, pakaiannya memikat, cara bicaranya memukau, raut mukanya selalu tebar senyum, wajar kalau didengarkan.
Sialnya lagi, jika semudahnya saja mereka mengartikan ayat, hadis, lalu sekonyong-konyong menyimpulkan hukumnya begini dan begitu. Seolah cukup bermodal ayat Al-Qur’an, mengutip sabda Nabi, lalu dianggap selesailah semua urusan tafsir Al-Qur’an.
Masih mending, saya kira, kalau mau menggunakan terjemahan Al-Qur’an, meski versi Kementerian Agama. Itu pun mestinya tetap perlu diimbangi dengan penelusuran lebih jauh mengenai aspek disiplin ilmu lainnya yang turut menunjang proses interpretasi sehingga produk tafsir dapat dikatakan objektif. Katakankan ilmu tafsir, ushul fiqih, bahasa Arab, dan ilmu lainnya.
Saya pun dulu sempat terbelalak, betapa artis idola emak-emak zaman old yang mestinya merawat “Cinta mbak Fitri” itu secara tiba-tiba berbicara, bahwa mengirim surah Al-Fatihah selepas salat lima waktu kepada arwah leluhur adalah pekerjaan yang sia-sia. Kan ngeselin.
Belum lagi ada ustaz yang dulu sempat bikin heboh warganet, karena melakukan manuver opini puncak kenikmatan surga itu terletak di pesta seks, bukan di perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya. Bahkan belakangan gejala itu mencapai kulminasinya ketika ada seorang yang dielu-elukan sebagai ustaz-nya para remaja zaman now, tidak mau tanda tangan pernyataan penerimaan Pancasila, lantas pergi diantar Polri dan kemudian koar-koar seolah sebagai victim (korban). Simalakama.
Alih-alih berhenti, mereka ini justru menganggap pola dakwahnya itu sebagai bagian dari kebebasan berbicara, bahkan bagian dari jihad. Karenanya, sejumlah upaya pembungkaman akhirnya disamakan dengan melarang orang untuk berbicara yang telah dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia.
Maka, tidaklah heran jika kemudian para aparat penegak hukum kita menjadi gamang menindak para penyiar agama yang penuh kerapuhan teologi ketika provokasi ujaran kebencian itu disandarkan pada dalil-dalil keagamaan seperti, jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar, dan lain sebagainya.
Akhirnya, umat taruhannya. Saya sebagai orang awam pun turut merasa bingung dengan menjamurnya ustaz-ustaz seleb itu. Boleh jadi saudara kita juga merasakan hal yang sama. Beruntung mungkin bagi yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat (baca: pesantren), namun pada saat yang sama bagaimana dengan nasib mereka yang tidak?
Karenanya, menjadi relevan untuk kita renungkan kegelisahan Gus Mus tentang arti penting sejauhmana mutu materi dakwah. “Sederhana”, kata Gus Mus. Yakni, mengajak umat kepada cinta, kasih sayang, persaudaraan. Karena Islam ya intinya akhlak karimah, tujuannya rahmatan lil ‘alamin. Ayat dakwah kan jelas menyeru kita pada hasanah, kebaikan, dan tidak saling menyalahkan. Baik dalam isinya, baik dalam penyampaiannya.
Selian itu, dakwah juga bukan memaksa, sebab manusia hakikatnya tidak suka dipaksa-paksa. Juga, dakwah itu merangkul bukan memukul. Ia menenteramkan mereka yang gelisah dengan uluran kasih sayang. Dengan dakwah, manusia menjadi dihormati, keragaman dihargai, kegundahan diobati. So, tidak ada alasan lagi untuk kita saling mencaci dan membenci.
Toh, hanya Allah Yang Maha Mengetahui siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk, bukan? (Q.S. an-Nahl [16]: 125).
Kolom terkait:
Tentang Gus Mus, Quraish Shihab, dan Buya Syafii
Gus Mus dan Akhlak yang Hilang dari Kita
Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian