Sabtu, April 20, 2024

Belajar Meneguhkan Toleransi dari Buya Syafii

Ahmad Fuad Fanani
Ahmad Fuad Fanani
Kader Muhammadiyah, Peneliti MAARIF Institute for Culture and Humanity, dan pernah mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

“Situasi kita sudah jelas memprihatinkan… Kita harus bangkit menyelamatkan bangsa ini, menyelamatkan keturunan kita untuk ratusan bahkan ribuan tahun yang akan datang.”

Pernyataan itu diungkapkan Buya Ahmad Syafii Maarif dalam pertemuan sesepuh bangsa untuk perdamaian Indonesia pada Jumat lalu (26 Mei 2017).

Pertemuan itu menggambarkan betapa gentingnya situasi bangsa sekarang ini. Kegentingan itu telah terjadi sebelum dan terutama pasca Pilkada DKI Jakarta April 2017. Menurut para sesepuh bangsa, semua pihak dan pemerintah harus bersatu padu menyelamatkan keutuhan bangsa yang sedang berada di tubir perpecahan karena keterbelahan sikap politik.

Pertemuan sesepuh bangsa pada Jumat pekan lalu itu dihadiri oleh para tokoh seperti Buya Syafii Maarif, Kardinal Julius Dharmaatmaja, Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Bhikku Nyana Suryanadi, Mohamad Sobary, Pendeta Gomar Gultom, Abdul Munir Mulkan, KH Imam Aziz, Ida Bagus Agung, Engkus Ruswana, dan Budi Suniarto. Quraish Shihab dan KH Ahmad Mustofa Bisri juga direncanakan hadir, namun hanya memberikan pernyataan lewat video (Kompas.com., 26/05/2017).

Ada lima butir seruan perdamaian yang harus segera dilakukan komponen bangsa ini agar berbagai permasalahan yang terkait dengan kesatuan dan keutuhan bangsa tidak semakin parah.

Kehadiran Buya Syafii dalam pertemuan itu sangat penting dan strategis. Buya Syafii yang dua lalu, 31 Mei 2017, berulang tahun ke-82, adalah sedikit dari guru bangsa yang masih kita miliki. Pasca wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) pada 2005 dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2009, selain Buya, kita sering kesulitan mencari tokoh bangsa yang konsisten menyuarakan persatuan dan membela kelompok yang terpinggirkan.

Saat ini, selain Buya Syafii, kita masih beruntung memiliki tokoh bangsa yang teduh dan tulus seperti Gus Mus dan Quraish Shihab. Kehadiran para guru bangsa ini mutlak dinantikan agar kondisi negara ini tidak terus larut dalam keterbelahan politik yang menyebabkan saling menyalahkan, mengkafirkan, mem-bully, dan merasa paling benar sendiri.

Sang Penentang Arus
Buya Syafii Maarif adalah seorang penentang arus dan tidak gampang larut dalam dukung mendukung kelompok tertentu. Kita masih mengingat dengan jelas, saat musim kampanye Pilkada DKI Jakarta lalu, Buya Syafii adalah salah seorang tokoh yang banyak di-bully di media sosial dan dunia nyata karena pendapatnya tentang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menentang arus utama.

Menurut Buya, Ahok tidak melakukan penodaan agama dan kita wajib memaafkannya, karena dia sudah meminta maaf. Dalam salah satu artikelnya, Buya menulis agar semua lawan Ahok puas, kalau perlu Ahok dipenjara 400 tahun. Buya menyatakan itu bukan karena beliau membela atau menjadi tim sukses Ahok, namun karena keprihatinannya terhadap kondisi sosial politik yang tidak sehat dan semakin parah.

Yang memprihatinkan, reaksi publik pada Buya sangat menyedihkan. Banyak yang mengecam dan menganggap Buya sudah tidak pantas menyampaikan pendapat seperti itu, karena Buya sudah sepuh dan lebih baik memikirkan hari tuanya. Banyak yang menyangsikan keilmuan beliau karena dianggap tidak punya otoritas berbicara tentang persoalan keagamaan.

Menurut mereka, Buya adalah lulusan sejarah dan ketika mengambil kuliah PhD di Universitas Chicago, jurusannya adalah bahasa. Tanpa berusaha mencari tahu lebih serius dan mendalam, mereka melupakan fakta bahwa Buya Syafii punya otoritas keilmuan dan kelembagaan untuk berbicara persoalan tersebut. Beliau adalah lulusan Madrasah Mu’alimin Lintau dan Mu’alimin Yogyakarta yang merupakan sekolah resmi untuk kader Muhammadiyah. Ketika di Chicago, beliau masuk jurusan Islamic Studies di bawah Department of Neareastern Languages and Civilizations.

Menurut pengakuan Buya, tidak mudah menjalani kuliah di sana, karena harus mengambil dan lulus mata kuliah bahasa Arab, bahasa Persia, satu bahasa non-Inggris, dan tentu saja butuh kemahiran bahasa Inggris. Di Chicago, Buya belajar dan dibimbing oleh Prof. Fazlur Rahman yang sangat kompeten dan sangat ahli dalam bidang Islam (Titik-titik Kisar di Perjalananku, 2009).

Reaksi publik terhadap Buya Syafii yang negatif itu mungkin karena jika seseorang sudah fanatik, semua yang tidak sependapat dengannya pasti akan dianggap salah. Quraish Shihab dan Gus Mus yang jelas-jelas alumni Al-Azhar, Mesir, pun diragukan pendapatnya.

Kita bisa belajar toleransi dari Buya Syafii Maarif yang dalam berbagai tulisan, sikap, dan pendapatnya sering menyatakan pentingnya mempraktikkan nilai-nilai toleransi dan menjaga kebinekaan bangsa ini. Dengan senantiasa berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utamanya, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman, Buya menyerukan bahwa kita wajib menghargai eksistensi semua kelompok.

Mengutip al-Qur’an, Buya menyatakan bahwa seorang atheis pun berhak hidup di Indonesia. Karena al-Qur’an sudah menyatakan bahwa semua orang berhak beriman atau tidak beriman. Terhadap kontrovensi eksistensi Ahmadiyah, Buya juga menyatakan bahwa kita wajib menghargai keberadaan dan keyakinan mereka. Kita bisa tidak setuju dengan mereka, tapi jangan sampai kita mendiskriminasi mereka.

Urusan kebenaran keyakinan itu hak prerogatif Tuhan yang baru diketahui pada Hari Akhir nanti, manusia tidak berhak menjadi Tuhan. Tentang Syi’ah, Buya mengatakan kita sebaiknya tidak larut dan terjebak pada warisan konflik sejarah pertentangan Sunni dan Syi’ah. Kita seyogyanya menatap masa depan dengan optimisme untuk kemajuan kemanusiaan.

Meski Buya Syafii Maarif adalah kader Muhammadiyah, sekolah di sekolah kader Muhammadiyah, dan pernah menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah, beliau tidak mau menjadi Muhammadiyah yang fanatik. Pesan yang sering disampaikan Buya adalah: “perluas radius pergaulan dan bacaan”. Buya bisa bergaul erat dan bekerjasama dengan lapisan yang sangat luas di negeri ini.

Buya Syafii tidak canggung bergaul dan bercanda dengan pemuka-pemuka Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Tionghoa, kalangan nasionalis, NU, dan juga tokoh-tokoh dunia. Hal itu tentu saja menjadi teladan dan modal yang sangat besar untuk membangun toleransi di negeri ini. Fanatisme pada satu golongan dan pendapat, memang bisa sangat mudah menggiring kita pada sikap antipati, mengecam, dan menutup pintu dialog dengan kelompok lain.

Terus Memikirkan Indonesia
Salah satu hal penting yang sering disampaikan oleh Buya Syafii Maarif adalah harapannya tentang Indonesia. Beliau menyatakan, “Indonesia harus tetap bertahan satu hari sebelum kiamat.” Ungkapan itu menunjukkan bahwa Buya Syafii sangat peduli pada masa depan bangsa ini. Dan perhatian itu diwujudkan dalam pernyataan, tulisan, dan sikap hidupnya sehari-hari.

Ketika ada fenomena kaum agamawan yang sering main hakim sendiri dan menimbulkan keonaran, Buya Syafii tidak segan mengkritik keberadaan mereka dan menjulukinya sebagai fenomena kaum “preman berjubah”.

Saat ada kelompok radikal yang muncul di banyak tempat dan menyusupkan ide-idenya bahkan di lembaga-lembaga pendidikan, beliau menyerukan bahwa bangsa ini jangan sampai mengikuti gerakan radikal karena itu sama artinya dengan “menggali lubung kubur sendiri”. Pada saat para teroris menyerukan jihad dan bom bunuh diri, Buya menyerukan yang kita butuhkan bukanlah tekad dan jihad berani mati, tapi kita harus jihad untuk berani hidup untuk kemanusiaan.

Nilai-nilai toleransi untuk perdamaian dan kemanusiaan yang sering disampaikan oleh Buya tadi itu, bukan sekadar jargon kosong yang tanpa pelaksanaan. Buya berusaha menyeleraskan laku dan kata. Buya berani pasang badan untuk mempertahankan ide dan keyakinannya tentang pentingya nilai toleransi dan perdamaian.

Buya Syafii adalah manusia merdeka yang tidak dapat didikte dan diintervensi oleh siapa saja. Dalam kesempatan diskusi buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif (2015) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saya mendengar kesakasian dari Ustadz Yunahar Ilyas, salah satu Ketua PP Muhammadiyah. Beliau menyampaikan cerita bahwa pada saat Buya Syafii menyampaikan ide-ide dan sikapnya tentang toleransi dan kebhinnekaan, beberapa orang mengingatkan agar Buya jangan terlalu kencang karena beliau adalah Ketua Umum PP Muhamamdiyah.

Namun, jawaban yang didapat di luar perkiraan. Buya menjawab bahwa beliau akan terus menyampaikan dan mempertahankan ide-idenya. Bahkan kalaupun disuruh mundur dari Ketua Umum PP Muhammadiyah karena ide-idenya, beliau dengan sukarela mengundurkan diri.

Ada beberapa kritik terhadap Buya Syafii Maarif yang dianggap terlalu membela kaum minoritas dibandingkan membela umat Islam. Kritik itu dijawab oleh Buya Syafii bahwa yang dibelanya bukanlah mayoritas atau minoritas, melainkan persoalan universal dan kemanusiaan yang sebetulnya menjadi misi utama semua agama. Beliau sangat menginginkan agar rakyat Indonesia bisa hidup dengan toleran dan damai serta saling bekerjasama.

Buya ingin agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara. Agar bisa mengembangkan Islam seperti itu, umat Islam harus bermental terbuka, semangat untuk maju, optimis dan tidak putus asa, serta tidak bermental minoritas (Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2009).

Dengan demikian, umat Islam bisa bersama-sama umat agama lain berkontribusi untuk kemanusiaan, kebangsaan, kebangsaan, dan persyarikatan/jamaah masing-masing (urutan dari global ke lokal/kelompok). Jadi, bukan dibalik dari memikirkan persoalan komunal dan lupa pada persoalan global dan menjadi orang yang kosmopolit.

Sebagai manusia, tentu Buya juga memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Namun pemikiran dan sikap hidupnya layak kita jadikan teladan untuk membangun toleransi menjaga keutuhan bangsa ini. Selamat ulang tahun ke-82 Buya, mudah-mudahan Buya terus sehat, menginspirasi, dan tidak lelah berjuang untuk masa depan bangsa Indonesia ini…..

Baca juga

Jalan Terjal Buya Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif: Sang Penentang Arus

Ahmad Fuad Fanani
Ahmad Fuad Fanani
Kader Muhammadiyah, Peneliti MAARIF Institute for Culture and Humanity, dan pernah mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.