MALAM masih muda ketika kami tiba di Pesantren Al-Huda di Desa Siwarni, Sumpiuh, Banyumas. Kiai Ja’far Shodiq menyambut dengan suka cita. Ia ulama yang sungguh pandai membuat kami malu hati. Wajahnya bersinar terang, senyumnya selalu menyala, dan jiwanya tekun melayani kami bagaikan raja.
Tak mau dibantu, Kiai Ja’far membawa sendiri nampan berat dan menyuguhkan kopi secangkir demi secangkir. Tidak hanya jasmani kami yang dihangatkan dengan keramahannya, namun rohani kami pula. Lisannya terus berucap, ”Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah…”
Bagi saya, inilah ulama sejati. Bahkan kepada istri, keempat putra-putrinya, dan kelima cucunya, Kiai Ja’far berbicara dengan bahasa Jawa halus, dengan tata krama yang lembut, dan kasih sayang yang mengharukan.
Tanpa sedikit pun berdalil, Kiai Ja’far menunjukkan Islam yang ramah dan penuh rahmah. Betapa tidak menjadikan kami malu hati luar biasa, ia yang selayaknya lebih tinggi dari murid-muridnya justru menundukkan kepala lebih rendah. Sampai-sampai seperti setengah membungkuk. “Saya bahagia didatangi berkah,” tuturnya.
Kami yang datang untuk menimba ilmu merasa diguyur kerendahatian yang tak terkira dan tiada habisnya. Kiai Ja’far terus menerus mempersilakan kami menikmati suguhan. Padahal, waktu berlalu dan malam semakin tua, kami belum melihatnya meneguk air minum, meski hanya untuk membasahi bibir.
Berenam belas kami datang, tapi hanya oleh satu orang yang berakhlak mulia ini kami ditelanjangi. Sungguh, betapa kaidah bahwa adab hadir sebelum ilmu dan ilmu hadir sebelum amal diwujudkan dari awal hingga akhir oleh sang kiai.
Keesokan harinya, seusai salat Jum’at, Kiai Ja’far mengajak kami sowan kepada seorang kiai lainnya yang bahkan lebih tawadhu. Betapa tidak, kiai yang satu ini masih berdarah biru dari Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta, pun keturunan kiai besar, tapi ia tak mau namanya dikenal oleh siapa pun.
“Orang-orang menyebut saya Mbah Bawor. Sudah, biar begitu saja. Tak ada yang perlu diganti, tak ada yang perlu diubah,” ucapnya. Pun pada waktu dimintai hikmah tentang kehidupan, kiai yang baru saja sembuh dari stroke tidak lantas mengiyakan, apalagi menggurui.
Ia terlebih dahulu mengatakan, ”Saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya mengikuti apa kata Bos.” Ya, Mbah Bawor suka menyebut Allah dengan julukan Bos. Ini rupanya mudah dipahami oleh orang-orang yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan hidup, baik duniawi maupun ukhrawi.
Kepada orang-orang yang sowan, Mbah Bawor mengingatkan untuk selalu mengingat Allah, terutama dengan melafalkan basmalah dan shalawat sepenuh hati. Kemudian, ia mengajari kami untuk meminta hanya kepadaNya. Menguatkan tauhid umat.
Ulama-ulama seperti Kiai Ja’far Shodiq dan Mbah Bawor ini teramat dicintai oleh masyarakat. Mereka datang tak hanya untuk mengaji, namun juga mengadukan persoalan-persoalan hidupnya kepada kiai. Dari mulai perkara sosial politik lokal, rumah tangga, hutang-piutang, sakit badan, sampai hal-hal yang lebih privat lagi.
Semuanya diterima para kiai dengan lapang dada. Semua disuguhi minuman dan makanan. Semua didengarkan keluh-kesahnya. Semua didoakan dengan doa-doa yang baik, bukan malah dikutuk atau dimurkai karena keburukannya.
Pun saat saya dan kawan-kawan datang kepada Kiai Ibnu Hajar Sholeh Pranolo di rumahnya di komplek Masjid Aolia, Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta. Lantaran berangkat dari Sumpiuh ba’da Ashar, kami baru tiba di kediaman kiai pada jam 21.00. Seorang putranya, yang tentu sedang menikmati waktu istirahat malam, mempersilakan kami ke ruang tamu dan menyuguhkan hidangan. Oleh karena Kiai Ibnu masih menyampaikan pengajian di desa lain, kami diminta untuk bersantai. Di sinilah kami belajar sabar, menunggu lima jam hingga kiai pulang.
Apakah kami capek? Ya, tentu saja. Tapi, Kiai Ibnu niscaya lebih capek lagi. Turun dari mobil, sekira jam 02.00, ia langsung menemui kami. Sejenak menyambut, kiai berusia 76 tahun ini kemudian permisi sebentar untuk salat tahajud. “Saya tadi sempat tidur di mobil. Sabar sebentar, ya, saya perlu menghadap Allah, mumpung masih ada waktu.”
Selesai salat di kamar yang pintunya dibiarkan terbuka, saya lihat Kiai Ibnu masih menyempatkan diri membaca Al-Qur’an dan berzikir. Lantas, ia temui kami, bercengkerama panjang lebar hingga menjelang waktu Subuh.
“Setua ini, saya masih tidak tahu apa-apa. Saya hanya bisa mengingatkan agar diri saya pribadi dan orang lain menjaga salat. Selebihnya, saya membenarkan perilaku orang lain pun tidak berani, lebih-lebih menyalahkannya. Saya memilih untuk memperbaiki diri sendiri, menjaga jarak, dan memohon petunjuk Allah,” ungkap Kiai Ibnu.
Sebagaimana Kiai Ja’far Shodiq dan Mbah Bawor, Kiai Ibnu juga tidak pernah membiarkan bibirnya berhenti tersenyum. Ia memaparkan kepada kami betapa Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw. itu penuh keberkahan.
“Jangan pernah berhenti berdoa, apalagi lupa berdoa. Sebab, doa mendatangkan azimat, bukan azimat yang mendatangkan doa. Doa mendatangkan pusaka, bukan pusaka mendatangkan doa,” paparnya.
Petuah Kiai Ibnu mengingatkan betapa doa adalah senjata paling utama bagi setiap orang beriman. Senjata yang bahkan ampuh memerangi nafsu dan bisikan setan ke dada manusia. Kiai mengingatkan agar jangan mau dikuasai nafsu dan diadu domba setan untuk bertengkar dengan sesama manusia. “Jagalah jarak. Jangan lampaui batas.”
Bersamaan dengan matahari terbit di hari Sabtu, saya dan kawan-kawan tiba di kediaman saya yang di Soloraya. Saya menamai rumah ini: Omah Mulih, rumah untuk pulang. Sebagian dari kami tidak berlama-lama dalam istirahat. Langsung melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Sebagian yang lainnya, termasuk saya, masih bisa menaruh punggung hingga sore.
Malamnya, Sabtu malam tadi, saya mengasuh Suluk Badran, majelis kecil untuk membicarakan hal-hal mengenai agama dan budaya. Tengah malam, saya menyusul kawan-kawan ke Banyuwangi.
Hidup memang untuk perjalanan. Untuk diperjalankan. Dari satu guru ke guru lainnya menimba ilmu, dari satu kiai ke kiai lainnya mengolah hati, dari satu manusia ke manusia lainnya untuk belajar akhlak mulia. Bahwa dalam kehidupan sering kita berjumpa dengan hal-hal yang tidak kita inginkan, pun tidak kita sukai, itu juga pelajaran yang bisa diolah jadi hikmah.
Soal ilmu dan hikmah, saya berniat sowan pada Gus Hanif di Caruban dan Kiai Taufik di Ngawi. Mereka berdua inilah penerus duo murid Kiai Munawwir Kertosono: Kiai Amnan dan Kiai Abdul Jabbar.
Semasa hidup, Kiai Amnan lebih dikenal dengan sebutan Mbah Balok. Oleh Kiai Munawwir kala itu, ia dan Abdul Jabbar muda diperintah menaiki sebatang kayu balok, mengarungi perjalananan, dan mendirikan rumah di mana balok yang mereka tumpangi berhenti. Nama-nama pemberian masyarakat inilah yang abadi di hati masyarakat pula.
“Nama saya Ibnu, tapi lidah orang desa susah mengucap. Mereka memanggil saya Mbah Benu,” kata Kiai Ibnu. Lagi-lagi, ulama berhati mulia membuat orang macam saya, yang mengejar gelar dan kehormatan duniawi, menjadi sangat malu hati. (bersambung)
Kolom terkait:
Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian