Rabu, April 24, 2024

Banyak Jalan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

“Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” telah menjadi slogan dan komitmen hampir semua Muslim, baik individu maupun kelompok di dunia, yang merujuk cukup banyak ayat al-Qur’an dan hadis-hadis. Ternyata umat Nabi Muhammad SAW, setelah beliau wafat, mengikuti perintahnya secara berbeda. Mereka melihat al-Qur’an dan kehidupan Nabi berbeda-beda dan bahkan sering bertentangan satu sama lain. Umat Islam berbeda memahami hubungan antara al-Qur’an dan Hadis Nabi. Apa saja jalan-jalan yang berbeda itu, dan mengapa ada banyak jalan?

Beberapa buku pengenalan seperti karya Fazlur Rahman, Jonathan Brown, dan Asma Afsaruddin, cukup menarik diulas dalam menjawab pertanyaan di atas. Penjelasan umumnya, al-Qur’an, diyakini turun selama kurang lebih 23 tahun di Mekkah dan Madinah, yang lisan dan tulisan disusun dan kemudian menjadi kitab resmi (kanonikal) di zaman Khalifah Usman bin Affan, meski ada perbedaan kata dan cara membaca (qiraat), dan kemudian digunakan umat Islam hingga saat ini.

Umat Islam meyakini periwayatan al-Qur’an terjadi secara mutawatir, banyak sahabat dan keluarga Nabi, sehingga mustahil ada kesalahan dan pertentangan redaksional. Pada tataran ini, kajian kritis terhadap al-Qur’an tidak seberkembang dengan kajian kritis kitab-kitab agama lain.

Berbeda dengan al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad tidak dikumpulkan dalam bentuk buku pada mulanya. Pengikut-pengikut Nabi masa awal memahami Sunnah sebagai keseluruhan kata, perbuatan, dan sikap Nabi, dan mereka mengikuti sesuai dengan kecenderungan dan kapasitas mereka, tanpa memerlukan teks tertulis. Karena umat Islam berkembang dan menyebar ke berbagai tempat, muncul berbagai kelompok yang bertentangan tentang bagaimana mengikuti Sunnah Nabi.

Kelompok yang dikenal Ahlul Hadis beranggapan Sunna Nabi harus melalui hadis. Sedangkan Ahlul Ra’y, berpendapat, meskipun riwayat-riwayat hadis itu penting, Sunnah adalah praktik yang hidup yang diwariskan para pengikut awal Nabi. Ahlul Hadis mengembangkan ilmu hadis untuk meneliti kapasitas dan karakter periwayat (isnad) dan kemudian setelah lama sekali baru isi riwayat (matan) juga.

Maka, munculah koleksi-koleksi hadis oleh Bukhari (w. 870), Muslim (w. 875), dan lain-lain. Di kalangan Syiah pun, yang tidak percaya khalifah kecuali Ali bin Abi Thalib, memiliki hadis-hadis mereka menurut imam-imam jalur keturunan Ali yang mereka yakini terbebas dari kesalahan.

Kalangan Mu’tazilah meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan (makhluq), karena jika ia bukan ciptaan, maka ada sesuatu selain Allah yang mula ada. Mereka tidak mempercayai hadis-hadis yang penuh ketidakpastian dan berbeda dengan al-Qur’an yang pasti otentik.

Namun, pada masa klasik dan pra-modern, banyak ulama memahami sebab dan konteks ayat al-Qur’an, yang kemudian dikenal dengan asbab al-nuzul, selain biografi Muhammad dan para sahabat. Misalnya, ayat 2:216, “berperang diwajibkan atas kalian meskipun kalian tidak suka”, diartikan hanya ditujukan kepada Nabi dan para sahabat ketika konflik dengan kafir Quraish Mekkah, bukan ditujukan untuk semua orang dan di semua kondisi.

Selain soal asbab al-nuzul, ulama berbeda pendapat mengenai naskh (penghapusan ayat sesudah atas ayat sebelum), dan makna-makna lain naskh, seperti atas ayat 2:25, “Tidak ada paksaan dalam agama” dihapus ayat lain yang memerintahkan perang kepada kaum kafir.

Di zaman modern, ada banyak sikap di kalangan Muslim. Pertama, kalangan modernis Islam, yang dipengaruhi pencerahan dan modernitas Eropa, mengkritik hadis-hadis yang bertentangan dengan akal sehat dan sains. Terhadap ayat-ayat al-Qur’an pun, seperti terkait dengan mukjizat, poligami, perbudakan, jihad, dan qital, mereka menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan modernitas.

Sebagian dari mereka, seperti kalangan Ahlul Qur’an, dipimpin Chirag Ali (w. 1895), Abdallah Chakralawi (d. 1930), dan Ahmad Din Amritsari (w. 1936) di India, dan Muhammad Tawfiq Sidqi (w. 1920) dan Mahmud Abu Rayya (w. 1970) di Mesir, hanya menerima al-Qur’an, tidak hadis. Karena, menurut mereka, al-Qur’an itu sempurna, sedangkan hadis problematis.

Di kalangan perempuan, Fatima Mernissi di Maroko dan Amina Wadud di Amerika juga sangat kritis terhadap hadis, yang menurut mereka dikuasai laki-laki, dan mengutamakan pesan-pesan al-Qur’an yang inklusif dan adil bagi laki-laki dan perempuan.

Bagi neo-modernis seperti Fazlur Rahman (w. 1988), asal Pakistan dan berkiprah di Amerika, Sunnah Nabi dan Hadis tidak selalu sama: Sunnah adalah idealitas dan praktik hidup Nabi yang dinamis, sedangkan Hadis adalah laporan atas praktik itu yang tidak tentu otentik dan benar dan sering bersifat statis.

Terhadap al-Qur’an, Rahman mengajak Muslim untuk memahami maksud di balik ayat-ayat dan pesan-pesannya, karena ayat-ayat itu merespons kenyataan khusus pada zaman itu, dan kemudian mewujudkan maksud itu (seperti keadilan sosio-ekonomi dan persamaan manusia) di dalam kehidupan sekarang. Ini disebut “gerakan ganda”.

Muhammad Sharur di Suriah, dalam bukunya Al-Qur’an wa al-Kitab (1990), membedakan pesan ilahi yang abadi dan pemahaman manusia atas pesan itu yang berubah. Sarjana Mesir Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010) meyakini al-Qur’an bersifat ilahi namun terkungkung bahasa manusia yang bersifat temporal. Wahyu, menurutnya, adalah hubungan dan percakapan manusia dan Tuhan secara terus menerus.

Kedua, kalangan Salafi, yang ingin kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah seperti pada masa awal: Masa NAbi dan tiga generasi setelahnya: sahabat dan pengikut sahabat, dan para pengikut Sahabat, karena mereka meyakini masih otentik.

Kalangan Salafi modernis, seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) berpendapat, kembali kepada al-Qur’an dan adaptasi kepada modernitas, seperti teori evolusi Darwin dan hukum alam, membuat Islam berjaya. Menurut Khan, kritik Hadis harus juga meneliti isinya (apakah bertentangan dengan akal dan pesan al-Qur’an atau tidak), bukan sekadar perawinya.

Bagi Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir, Sunnah adalah sumber kedua Islam setelah al-Qur’an, tapi berdasar hadis yang mutawatir dan otentik saja, seperti mengenai salat, puasa, dan haji. Dan untuk hadis-hadis yang tidak mutawatir, seorang Muslim bebas mengikuti dan menolak. Murid Abduh, Rasyid Rida (w. 1935), setuju, misalnya menolak hadis tentang lalat (yang jika jatuh di minuman, harus ditenggelamkan satu sayapnya lagi karena satu sayap beracun dan sayap lain obat), karena itu bertentangan dengan sains.

Mahmud Syaltut (w. 1963), Muhammad al-Ghazali (w. 1996), dan Aisyah ‘Abdurrahman (d. 1999), seirama. Syaltut, misalnya, berpendapat bahwa Muslim tidak harus menerima hadis tentang turunnya Nabi Isa di akhir zaman, karena itu berkaitan dengan iman dan tidak bisa berdasarkan hadis saja.

Ketiga, kalangan Salafi tradisionalis, seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1792), Jamal al-Din Al-Qasimi (w. 1914), Tahir al-Jaza’iri (w. 1920), dan Muhammad Nasir al-Din al-Albani (w. 1999) menolak kalangan modernis yang dipengaruhi pemikiran Barat, dan mengajarkan kemurnian Islam, dengan kembali kepada Sunnah dan hadis-hadis yang otentik (termasuk masalah iman), dan mengkritik ilmu kalam dan praktik-praktik sufi seperti mengunjungi makam wali.

Keempat, kalangan Sunni tradisionalis, kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah juga harus melalui mazhab kalam dan mazhab fiqih yang diwarisi ulama-ulama otoritatif dan mengakomodir tasawuf dan tarikat yang sah. Menjawab masalah-masalah modern harus menggunakan metodologi ulama yang masih cocok, baik taqlid bagi masyarakat awam, maupun ijtihad (bagi yang berkapasitas saja) dan tidak berarti menolak modernitas yang tidak bertentangan.

Mufti Besar Mesir Ali Gomaa, misalnya, menggunakan usul fiqih untuk membolehkan bunga bank dan menafsirkan ulang hadis “siapa yang mengganti agama, maka bunuhlah”. Menurut Ali Gomaa, tidak ada sahabat yang menerapkan hadis ini bagi mereka yang pindah agama tanpa menjadi ancaman dan melakukan makar terhadap negara.

Di antara kalangan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, ada yang literal dan ada yang kontekstual. Ada yang reformis, yang berpandangan bahwa pemahaman kembali prinsip-prinsip Islam dapat sejalan dengan prinsip-prinsip modern seperti pemerintahan demokratis, civil society, kesetaraan gender, dan seterusnya. Dan ada yang Islamis, yang memperjuangan hukum Islam, jika belum negara Islam, melalui gerakan dan partai berideologi Islam.

Yang Islamis, ada yang radikal, yang mengecam demokrasi dan nilai-nilai modern dan ada yang moderat, yang berusaha menyesuaikan konsep negara dan hukum Islam dengan nilai-nilai modern dengan tetap menitikberatkan Islam sebagai ideologi.

Jadi, banyak jalan “kembali kepada al-Qur’an” dan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dalam sejarah Islam awal hingga modern. Perbedaan dan pertentangan antara kalangan di atas terjadi karena bahasa dan karakteristik al-Qur’an itu sendiri yang memungkinkan perbedaan.  Juga karena karakteristik manusia dan masyarakat, yang berbeda dan berubah, dipengaruhi keluarga, lingkungan, bacaan, pengalaman, dan kecenderungan-kecenderungan manusia yang alamiah belaka.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.