Adakah kaum ateis di masyarakat kontemporer Timur Tengah? Apakah ateisme pernah terjadi dan berkembang dalam sejarah Islam?
Dua pertanyaan ini sama-sama menggelitik dan menarik untuk dikaji. Sebagai sebuah teritori, Timur Tengah tentu saja tidak ada bedanya dengan kawasan-kawasan lain di dunia ini dalam hal pluralitas dan kompleksitas penghuninya, termasuk perkembangan tradisi, budaya, agama, ideologi, dan sebagainya.
Sebagaimana laiknya daerah-daerah lain, Timur Tengah juga dihuni berbagai macam kelompok etnis, agama, dan non-agama. Tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, Timur Tengah bukan hanya rumah bagi orang Arab dan Muslim saja, tapi juga Yahudi, Kristen, Druze, Yazidi, dan juga ateis.
Penulis Kuwait, Sajed Al Abdali, dalam sebuah koran yang berbasis di Dubai, Al Bayan, pernah menulis sebuah kolom tentang fenomena pertumbuhan dan perkembangan kelompok ateis di Timur Tengah, khususnya di kawasan Arab Teluk (Saudi, UEA, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman) yang kemudian menjadi polemik dan mendapat respons dari banyak pihak.
Dalam kolom itu, Dr. Al Abdali menulis: “Penting buat kita untuk mengakui bahwa ateisme dan kelompok ateis itu ada dan cukup berkembang di masyarakat Timur Tengah. Anda bisa melihat fenomena ini di berbagai tulisan, forum, majelis, diskusi, blog, website jejaring sosial, juga media massa. Fenomena ateisme ini bukan harus disikapi dengan hukuman, tetapi perlu dikaji secara ilmiah.”
Dalam konteks negara-negara Timur Tengah yang intoleran dengan ateisme, maka hampir sulit menjumpai orang yang berani mendeklarasikan diri secara terbuka atau terang-terangan sebagai ateis karena itu berarti sama saja dengan tindakan bunuh diri. Ada cukup banyak kasus intoleransi dan hukuman terhadap kaum ateis di berbagai kawasan di Timur Tengah seperti pernah ditulis oleh Brian Whitaker, Samuli Schielke, Adam Withnall, Max Fisher, dan lainnya.
Meski sebetulnya secara sosial, masyarakt Timur Tengah cukup toleran terhadap orang-orang yang tidak aktif dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan, mengadopsi nilai-nilai sekuler dalam kehidupan sehari-sehari dan sosial-kemasyarakatan, atau bersinergi dengan berbagai ideologi asing seperti komunisme misalnya. Tetapi mereka (apalagi pemerintah) tidak bisa menerima terhadap orang yang mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai ateis karena masih dianggap sangat tabu.
Itulah sebabnya mengapa komunisme yang dalam sejarahnya pernah berkembang di berbagai negara di Timur Tengah (sebagian masih berlanjut hingga kini), misalnya Palestina, Yaman, Libanon, Irak, Yordania, Suriah, atau bahkan Saudi itu minus ateisme. Mereka mengadopsi komunisme hanya sebatas sebagai ideologi gerakan sosial politik-ekonomi.
Pandangan intoleran terhadap ateisme ini, kata Diaa Hadid di Associated Press yang banyak menulis tentang masyarakat Timur Tengah, agak berubah sejak tahun 2000-an seiring dengan perkembangan Internet dan media sosial, dan khususnya sejak Arab Spring yang membongkar banyak “tabu sosial” di masyarakat.
Sejak 2000-an, misalnya, tercatat ada lebih dari 50 grup ateis di Facebook di Timur Tengah yang beberapa di antaranya memiliki anggota ratusan ribu. Ini belum termasuk blog dan website yang dikelola kelompok ateis, freethinker atau agnostik dari berbagai daerah di Timur Tengah.
Menurut Samuli Schielke, dalam konteks Timur Tengah dan kawasan Islam pada umumnya, ateisme seperti yang dimaksud dalam literatur kontemporer yang berkembang di Barat (yakni penegasian atas eksistensi Tuhan) sudah eksis sejak abad ke-19 di kala umat Islam berada di bawah otoritas negara-negara kolonial.
Menurutnya, sekitar pertengahan abad ke-19, muncul sejumlah kelompok antiklerik dan freethinker di Iran dan India, kemudian di kawasan Muslim di wilayah Rusia dan juga Turki Usmani (Ottoman)
Perlu diingat bahwa ateisme ini bukan hanya diperkenalkan dan dibawa oleh kaum Muslim saja, tetapi juga oleh umat Kristen. Pada waktu itu tendensi antiklerik dan antinasionalisme agama muncul dalam kerangka atau bingkai modernisme-sekularisme.
Meski fenomena munculnya ateisme di kawasan mayoritas berpenduduk Muslim di era kolonial terdapat pengaruh asing (Eropa khususnya), tapi “ateisme Timur Tengah” tidak semata-mata sebuah adaptasi atas “atesime Barat”, melainkan juga dibangun atas basis tradisi heretik lokal dan “pembangkangan teologis” di kalangan umat Islam.
Memang, dalam sejarah umat Islam di Timur Tengah khususnya, tradisi heretik ini sudah sangat klasik. Tidak jelas apakah tradisi heretik dalam sejarah Islam itu juga termasuk ateisme seperti yang dipahami di negara-negara Barat. Tetapi, yang jelas, kata “mulhid” dan “ilhad” memiliki makna, konotasi, dan cakupan yang lebih luas ketimbang “ateis” dan “ateisme”. Dalam konteks Islam, kata “mulhid” bukan hanya dipakai untuk “ateis”, tetapi juga secara fleksibel bisa digunakan untuk kaum heretik, zindik, dan murtad.
Dengan begitu, kata “ilhad” bukan hanya mencakup “ateisme”, tetapi juga tindakan pemurtadan dan perlawanan teologi-keagamaan. Ini tentu agak berbeda dengan makna “atheist” dalam kosa kata Bahasa Inggris yang berakar dari kata Yunani a = tidak dan theos = Tuhan. Jadi, kata ateis dalam tradisi Barat, secara etimologis, jelas merujuk pada orang yang tidak mempercayai Tuhan (atau Tuhan-Tuhan) seperti yang dipedomani oleh kelompok teis, baik monoteis maupun politeis.
Merriam Webster Dictionary mendefinisikan “ateisme” sebagai “a lack of belief or a strong disbelief in the existence of a god or any gods”. Dalam implementasinya, kata “ateisme” sering disinonimkan dengan kata-kata berikut ini: “irreligion, non-belief, disbelief, non-theism, godlessness, heathenism”, dan lainnya.
Kendati cukup sulit mengidentifikasi nama-nama orang ateis dalam sejarah Islam, ada cukup banyak literatur yang menyebutkan tentang–dan menyerang–orang-orang penolak eksistensi Tuhan. Salah satu karya awal tentang fenomena “kaum mulhid” (ateis, zindik, heretik, murtad, dan sejenisnya) ini adalah Radd ‘ala al-Mulhid yang ditulis oleh al-Qasim bin Ibrahim, seorang teolog Syiah Zaidiyah di abad ke-9 M.
Dalam buku ini, dan sejumlah bukunya yang lain, al-Qasim seperti terlibat polemik sengit dengan “para pembangkang teologis” yang menolak eksistensi Tuhan. Ia kemudian menyertakan daftar bukti-bukti dan argumen tentang eksistensi atau keberadaan Tuhan.
Sarah Stroumsa dalam bukunya Freethinkers of Medieval Islam mengatakan bahwa al-Qasim terlibat perdebatan sengit dengan kelompok heretik, skeptik, atau non-agama tentang ada tidaknya Tuhan. Stroumsa sendiri tidak begitu yakin apakah kelompok yang menjadi lawan dan disebut al-Qasim itu termasuk “kaum ateis” seperti dipahami dalam literatur-literatur Barat. Tetapi, ia yakin bahwa kelompok freethinkers memang nyata dalam sejarah Islam klasik dan pertengahan.
Dua tokoh dan sarjana Muslim klasik ternama yang sering dilabeli “mulhid” adalah Ibnu al-Rawandi atau Abu Hasan Ahmad bin Yahya bin Ishaq al-Rawandi (wafat 911) dan Abu Bakar bin Muhammad bin Zakariya al-Razi atau Abu Bakar al-Razi (wafat 925).
Keduanya orang Persi dan merupakan sarjana rasionalis-kritis yang, karena pikiran-pikiran “liberalnya”, sering dilabeli skeptik, freethinker, atau bahkan ateis. Tetapi, filsuf eksistensialis Mesir ternama, Abdur Rahman Badawi (1917–2002) lebih suka menyebut pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan teologi-keagamaan al-Rawandi dan al-Razi sebagai “rasionalisme antiprophetik” ketimbang sebagai “ateisme” (bersambung).
Kolom terkait:
Islam dan “Hantu” Komunis-Ateis
Bersikap Jujur tentang Tan Malaka dan Islam
Buya Syafii Maarif, Gejala Ateisme, dan Hoax