Sabtu, Oktober 12, 2024

Asal-Muasal Dua Kalimat Syahadat Pasca Nabi?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

Judul tulisan ini diberi tanda tanya (walaupun sebenarnya tidak perlu) karena akan dipersoalkan banyak kalangan. Bahkan, sebagian orang akan menyangkal keras klaim bahwa formula syahadat “asyhadu an-la ilaha illa allah wa anna muhammadan rasulullah” (saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah) dibakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Namun, klaim itulah yang akan dipresentasikan dalam tulisan ini. Dan untuk mendukung klaim pembakuan kalimat syahadat pasca Nabi akan diajukan dua bentuk argumentasi, yakni data historis yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan logika commonsense (akal-sehat).

Sebelum memulai, ada baiknya dikatakan tentang hadits Jibril yang dimuat dalam kitab-kitab hadits yang mendapat pengakuan luas. Seperti disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, suatu saat baginda Nabi didatangi malaikat Jibril sembari mengajukan pertanyaan apa Islam, apa Iman, dan apa Ihsan. Terhadap setiap pertanyaan tersebut, jawaban Nabi dibenarkan oleh Jibril.

Misalnya, pertanyaan tentang apa itu Islam, Nabi menjawab, “Islam ialah hendaknya kamu bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan salat, berpuasa, memberikan zakat dan menunaikan haji.” Di kalangan Muslim Sunni, jawaban Nabi tersebut kemudian disepakati sebagai “rukun Islam” yang lima.

Penisbatan rukun Islam kepada baginda Nabi merupakan upaya normatif-teologis yang diyakini oleh kalangan Sunni. Saya tak yakin tulisan pendek ini akan menggoyahkan keyakinan Anda. Namun, jika berbicara sejarah, kita memang tak punya bukti dokumenter yang mendukung klaim teologis di atas selain hadits itu sendiri. Fakta bahwa kalangan Syi’ah mempunyai rukun Islam yang berbeda cukup untuk mengatakan tidak adanya kesepakatan mutlak.

Data Numismatik dan Arkeologis

Dalam buku Kontroversi Islam Awal (2015), saya menyebutkan sepintas bahwa dua kalimat syahadat baru pertama ditemukan dalam uang koin yang dikeluarkan oleh Abdulmalik bin Marwan (berkuasa, 685-705), khalifah kelima dari Bani Umayyah. Penelitian tentang data-data numismatik (hal-hal berhubungan dengan koin) telah banyak dilakukan, salah satunya oleh sarjana Inggris Chase F Robinson.

Sejak menjabat sebagai khalifah, Abdulmalik mengeluarkan sejumlah koin yang berbeda. Menarik dicatat, koin-koin yang dikeluarkannya merefleksikan kristalisasi Islam sebagai agama secara bertahap. Di awal masa pemerintahannya, Abdulmalik mengeluarkan koin yang menyerupai mata uang Persia dengan gambar seseorang seperti Raja Khasru di bagian tengah koin.

Dalam koin lain terdapat gambar menyerupai salib. Hal itu bisa dtafsirkan bahwa Abdulmalik masih bereksperimen dengan desain koin. Berdasar data historis ini sebagian sejarawan mencoba merekonstruksi narasi kemunculan Islam. Tidak mengagetkan jika mereka berkesimpulan bahwa sebelum masa Abdulmalik Islam belum menjadi agama yang distingtif dari agama-agama lain. Dan baru pada masa-masa akhir pemerintahannya, Khalifah Abdulmalik mengeluarkan koin dengan dua kalimat syahadat ditulis di bagian pinggirnya.

Itulah dokumen paling awal yang kita punya yang mencakup dua kalimat syahadat. Hal itu tidak berarti kalimat “la ilaha illa allah” atau “Muhammad rasulullah” tidak pernah ada sebelumnya. Kalimat “la ilaha illa allah” merupkan kredo agama-agama monoteis sebelum Islam. Ini sudah dibuktikan oleh penelitian yang tak diragukan.

Kemiripan kalimat tauhid “la ilaha illa allah” dengan kredo kaum Samaritan telah banyak didiskusikan para ahli. Formula keimanan Samaritan dimaksud ialah “lyt ‘lh ‘l’ ‘hd” (baca: lit eloe illa ahad), yang berarti “tidak ada tuhan selain Yang Satu”. Penggunaan kata ahad dalam ekspresi tauhid kaum Samaritan ada kesamaan dengan ayat pertama surat al-Ikhlas, “qul huwa allah ahad” (Katakan, Dia adalah Allah yang Satu).

Kredo keagamaan kaum Samaritan dan kalimat tauhid kaum Muslim dapat dilacak lebih jauh pada formula Alkitab, “Sy’ma Yisra’el, YHWH ‘eloheinu, YHWH ‘eḥad” (Dengar, wahai Isra’il, Yahweh adalah Tuhan kami, Tuhan yang Satu). Lihat penggunakan kata “ahad” dalam Taurat ini, demikian juga dalam kredo kaum Samarintan dan al-Qur’an sendiri.

Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Yehuda Nevo juga membuktikan kredo keagamaan “tidak ada tuhan selain Allah atau Yang Satu” ditemukan di sejumlah lokasi di sekitar Palestina dan Suriah. Batu prasasti dengan tulisan kredo keagamaan tersebut dapat dilacak jauh sebelum kedatangan Islam.

Yang menjadikan kalimat tauhid tersebut khas Islam karena digabungkan dengan keyakinan pada kenabian Muhammad, yang sangat mungkin diformulasikan setelah wafatnya Nabi, sebagaimana terbukti dari koin Khalifah Abdulmalik. Di dinding bangunan Batu Shakhrah (Dome of the Rock), yang juga dibangun atas inisiatif Abdulmalik, terdapat kalimat pengakuan kerasulan Muhammad, “muhammadun ‘abduhu wa wasuluhu” (Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya), tapi belum digabungkan dengan kalimat tauhid.

Argumen Commonsense

Sampai saat ini kita tak punya bukti historis lain yang menunjukkan bahwa kalimat syahadat tersebut diformulasikan dan digunakan pada zaman Nabi. Keesaan Allah dan kerasulan Muhammad dapat ditemukan dalam al-Qur’an, tapi tak pernah digabung dalam satu formula sebagai kredo keagamaan para pengikutnya.

Demikian juga dalam dokumen paling awal yang sampai kepada kita sekarang, yakni yang dikenal dengan “Mitsaq al-madinah” atau Piagam Madinah. Walaupun sejumlah sejarawan mengekspresikan skeptisisme terhadap historitas dokumen itu, barangkali kontennya memang berasal dari zaman Nabi. Menarik dicatat, dokumen Piagam Madinah tidak memuat kredo keagamaan yang sangat esensial bagi kaum Muslim. Sebelum ada bukti sebaliknya, data-data historis menunjukkan gabungan dua kalimat syahadat itu terjadi setelah meninggalnya Nabi.

Di luar bukti-bukti historis di atas, kita juga dapat ajukan argumen yang berpijak pada akal-sehat (commonsense). Maksudnya, kita tak perlu rumit menelusuri bukti sejarah, tapi cukup menggunakan akal-sehat untuk membenarkan atau menolak.

Tak ada keraguan bahwa kalimat syahadat (dan rukun Islam secara umum) merupakan hal fundamental dalam agama. Seorang yang masuk Islam harus menyatakan konfesi keimanan (syahadat) itu. Jika formula syahadat dan rukun Islam sudah diajarkan oleh Nabi, sudah pasti semua komunitas Muslim mengetahuinya. Kenyataan bahwa ternyata tidak ada kesepakatan di kalangan kelompok-kelompok Muslim mengindikasikan kredo keagamaan tersebut kemungkinan besar memang muncul setelah periode Nabi.

Kaum Khawarij, misalnya, menambah jihad sebagai rukun Islam. Padahal, kita tahu kelompok ini paling keras dalam mengamalkan ajaran agama secara saklek. Kaum Syi’ah bukan hanya memiliki rukun Islam-nya sendiri, juga formula kalimat syahadat-nya berbeda dari kalangan Sunni.

Dalam konfesi keimanan Syi’ah, selain dua kalimat syahadat yang dikenal dalam Sunni juga terdapat kalimat ketiga. Yakni, “wa-asyhadu anna ‘aliyan waliyullah” (dan saya bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah). Kata “wali Allah” di sini dipahami bukan dalam pengertian mistikal (seperti dalam tradisi Sunni), melainkan pewaris Nabi yang penentuan kewaliannya ditunjuk oleh Allah dan Nabi.

Saat ini tiga kalimat syahadat Syi’ah itu dilantunkan oleh para muadzin sebagai panggilan salat. Namun demikian, berbagai literatur Syi’ah dari abad kelima hijriyah dan sebelumnya tidak menyebut secara pasti kapan formula kredo Syi’ah tersebut bermula.

Dalam empat buku fikih Syi’ah yang diakui luas (yakni, Kitab al-kafi, Tahdzib al-ahkam, al-Istabsar, dan Man la yahdhuruhu al-faqih), adzan Syi’ah tidak mencakup kalimat syahadat terakhir yang menegaskan kewalian Ali. Bahkan, kitab terakhir melarang penggunaannya. Ibnu Babawaih (w. 381), penulis kitab Man la yahdhuruhu al-faqih, menyebut berbagai versi adzan dan dia menolak keras menambah kewalian Ali dalam adzan Syi’ah.

Jadi, kenyataan bahwa kaum Syi’ah sekarang menyepakati adzan dengan tiga kalimat syahadat tidak berarti formula tersebut telah muncul sejak awal. Hal yang sama bisa dikatakan terhadap formula syahadat Sunni: kesepakatan kaum Sunni tentang dua kalimat syahadat tidak berarti itu berasal dari Nabi sendiri.

Dengan dua argumen historis dan commonsense di atas, kita sulit mempertahankan klaim bahwa kredo keagamaan paling sentral dalam Islam itu berasal dari zaman Nabi. Hal itu juga berarti Islam bukanlah sebuah pengecualian. Sebab, semua konfesi keimanan (syahadat) dalam setiap agama di dunia memang diformulasikan setelah para pendirinya tiada.

Ramadhan karim…

Baca juga: 

Kapan Islam sebagai Agama Muncul?

“Agama-Agama Ibrahim”, Makhluk Apakah Itu?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.