Rabu, April 24, 2024

Apa itu Kitab Suci?

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

koranKasus-kasus terkait dengan sikap terhadap al-Qur’an di Indonesia, Amerika, dan di berbagai belahan dunia, menunjukkan pentingnya kita memahami apa itu kitab suci secara historis dan sosiologis, selain secara teologis. Bagi umat Islam umumnya, al-Qur’an adalah kitab suci.

Bagi umat Kristen umumnya, Al-Kitab (Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama) adalah kitab suci. Bagi umat Hindu umumnya, Kitab Weda, Upanishads, dan Bagawad Gita, antara lain, adalah kitab suci. Kitab-kitab ini menjadi suci melalui proses sejarah dan sosiologis manusia. Apa itu kitab suci? Mengapa dan bagaimana sebuah kitab menjadi kitab suci?

Di Barat, kitab suci biasanya disebut scripture, berasal dari kata Latin script, artinya tulisan yang bersifat netral, tapi kemudian dipakai untuk kitab yang suci atau sakral.

Dalam buku What is Scripture?, (Apa itu Kitab Suci?), Wilfred Cantwell Smith berargumen, sebuah kitab menjadi suci bukan berasal dalam dirinya sendiri, tapi bermula dari manusia atau kelompok manusia yang meyakini dan menjaganya sebagai suci. Bahkan ada kecenderungan orang untuk memperlakukan teks seperti kitab suci. Ada proses skripturalisasi, proses membuat sebuah buku atau teks menjadi suci. Singkatnya, menurut Smith, kitab suci adalah kegiatan manusia, bukan Tuhan atau alam semesta.

Cara pandang sejarah dan sosiologis memandang kitab suci berbeda dengan cara pandang teologis atau keyakinan metafisik bahwa kitab suci menjadi suci karena ia wahyu dari Kekuatan Ilahi, kekuatan super-alami di luar kemampuan manusia. Cara pandang sejarah, sosiologis, dan komparatif penting dan bermanfaat sebagai penyeimbang bagi keyakinan terhadap satu kitab yang sudah dan sedang diyakini kebenarannya, namun pada saat yang sama menganggap rendah kitab-kitab lain yang diyakini suci oleh komunitas-komunitas agama lain.

Sebuah kitab juga menjadi suci juga karena ada otoritas figur manusia, yang dianggap memiliki kekuatan dan pengaruh bagi siapa saja yang meyakini. Otoritas kitab suci, secara historis dan sosiologis, tidak berasal dari kitab itu sendiri, tapi berasal dari manusia atau orang-orang, mulai dari satu atau beberapa orang saja, sampai kemudian banyak orang yang menganggapnya sebagai otoritatif dan memiliki kekuatan dan pengaruh dalam kehidupan mereka.

Konsep “Firman Tuhan”, untuk menunjuk al-Qur’an, Bibel, Tanakh, dan sebagainya, lahir dalam konteks iman di atas. Dalam buku al-Wahyu al-Muhammadiy, cendekiawan yang wafat di Mesir tahun 1935, Muhammad Rasyid Rida, menggunakan cara pandang teologis dan polemis dalam membela wahyu Ilahi kepada Nabi Muhammad di tengah kritik sarjana-sarjana Orientalis terhadap al-Qur’an.

Rasyid Rida mengkritik kitab-kitab agama lain. Bagi Rida dan umat Islam pada umumnya, al-Qur’an adalah kitab suci terakhir dan satu-satunya yang sempurna, tanpa kesalahan, tanpa kontradiksi, dan tanpa ada tandingan. Cara pandang ini juga ada dan berkembang dalam penganut agama-agama lain terhadap kitab-kitab mereka.

Pengalaman keagamaan seorang figur Nabi, resi, dan sebagainya, menjadi pengalaman keagamaan otoritas dan kemudian para pengikutnya. Wahyu yang terbatas pada manusia-manusia tertentu—yang diyakini sebagai manusia-manusia pilihan—menjadi wahyu sebagai sumber ilmu dan inspirasi bagi manusia-manusia lainnya. Sebuah kitab pun menjadi kitab suci, scripture, atau kitab sakral.

Al-Qur’an sebagai scripture, dipahami sebagai kitab atau tulisan, dan bacaan (Karena itu salah satu namanya al-Qur’an). Kitab suci tidak sekadar teks atau tulisan tapi juga bersifat lisan, oral, atau ucapan. Dimensi oral kitab suci dibahas sarjana lain William A. Graham dalam bukunya Beyond the Written Word, Bukan Sekadar Kata Tertulis. Menurut Graham, kitab suci adalah konsep hubungan: hubungan antara manusia-manusia dan teks atau kitab tertentu.

Sejalan dengan pendapat Smith di atas, Graham berpendapat, sebuah teks menjadi kitab suci dalam hubungannya yang subyektif terhadap orang-orang dan menjadi bagian dair kumpulan-kumpulan tradisi komunal yang cukup lama. Kitab suci ini dianggap bersifat transendental, melampaui dan berbeda dengan perkataan dan kitab-kitab lain yang ada.

bibleTradisi menulis memiliki peran sangat penting dalam pembentukan kitab menjadi kitab dan kitab suci. Hanya saja, banyak kitab suci awalnya adalah tradisi lisan sekelompok masyarakat tertentu, lalu kemudian dituliskan di benda-benda yang ada dan menjadi teks tertulis, sehingga menjadi lestari.

Awalnya ditulis tangan, tapi kemudian di Abad Pertengahan, kitab suci itu dicetak dan dari situlah kitab suci menyebar ke seluruh dunia. Umat Yahudi dan Kristen awalnya menyebut kitab-kitab mereka saja sebagai scripture. Umat Islam melalui al-Qur’an menyebut umat Yahudi dan umat Nasrani sebagai Ahlul-Kitab, para pemiliki kitab suci.

Namun, kitab suci menjadi suci juga karena aspek oralnya, dibaca, didengar, bahkan dipertunjukkan. Selain al-Qur’an sendiri yang menyebut dirinya “Bacaan”, ada praktik membaca (tilawah) yang kuat di masyarakat Muslim. Menurut Martin Luther (1546), Gospel adalah suara yang hidup (living voice), yang dibaca dan didengar. Sebagai firman yang diucapkan, kitab suci menjadi bagian dari kehidupan orang yang beriman, berpengaruh sangat penting terhadap kelestarian kitab suci itu dalam sejarah manusia.

Kitab suci juga memiliki berbagai dimensi: pikiran, rasa, dan bentuk fisik. Membaca kitab suci sebagai obyek bacaan melibatkan akal dan rasa manusia. Membaca secara keras atau membaca dalam hati atau lembut, bahkan menghapal ayat-ayat melibatkan pikiran dan rasa. Dimensi oral ini sejak awal hingga kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kitab-kitab suci yang ada.

Belajar tentang kitab-kitab suci membawa banyak faedah. Kitab suci menjadi sumber bagi ajaran-ajaran agama-agama, sumber ritual atau ibadah, dan bahkan pemikiran dan praktik keluarga, sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Kitab suci adalah dokumen tertulis yang tertua dan otoritatif dalam masing-masing agama. Kitab-kitab suci itu juga berlaku sebagai simbol sakral bagi mereka yang meyakininya.

Kini kitab-kitab suci telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di luar bahasa asli, sehingga mudah diakses siapa saja, meski tentu saja terjemahan tidak persis sama dengan aslinya. Hampir semua kitab suci bisa diakses online, kendati tentu berbeda dengan kitab suci yang dipegang tangan manusia.

Dan setiap kitab suci terbuka untuk dipelajari, dibaca, dan dikaji siapa saja. Kitab suci tidak lagi terbatas hanya bagi manusia-manusia yang meyakini kebenaran dan kekuatannya.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.