Selasa, November 5, 2024

Ali Audah dan Gerakan Kembali ke Kemurnian Al-Qur’an

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
- Advertisement -
ali-audah-dan-muhammad-haekal
Ali Audah dan salah satu karya monumental Muhammad Haekal yang ia terjemahkan.

SIAPA PUN yang memiliki gagasan, atau gerakan, untuk kembali kepada kemurnian al- Qur’an, bahkan dengan mengabaikan Hadits dan Ijtihad Ulama, sebaiknya becermin kepada Ali Audah. Sastrawan dan penerjemah karya sastra yang wafat pada usia 93 tahun ini mencurahkan hampir seluruh hayatnya untuk menjaga kemurnian Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ia, antara lain, pernah menulis Konkordansi Al-Qur’an, sebuah buku setebal 861 halaman yang memandu kita menemukan kata, ayat, dan surat di dalam al-Qur’an. Ali Audah meninggal dunia pada Selasa pagi, 20 Juni 2017.

Ali Audah juga pernah menerjemahkan Sejarah Hidup Muhammad dan Abu Bakar as-Siddiq, Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi–karya Dr. Muhammad Husain Haekal; serta Qur’an, Terjemahan dan Tafsir karya Abdullah Yusuf Ali.

Lihatlah, betapa seorang Ali Audah, yang sedemikian mumpuni dan termasyhur bahkan dalam menerjemahkan al-Qur’an pun tidak lantas mengandalkan kemurniaan akal budi dan hati nuraninya sendiri. Ia juga tetap merasa perlu mempelajari Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat, dan belajar kepada orang lain.

Dalam belajar membaca al-Qur’an, kita selayaknya memahami bahwa ALLAH adalah Rabb al-‘Aalamiin, Pengatur Alam Raya. Dan, Dia mengutus Rasulullah Muhammad SAW untuk membawa Risalah Kebenaran dan Kebaikan sebagai Rahmatan lil ‘Aalamiin, rahmat bagi alam semesta dan seluruh isinya. Rasulullah Muhammad SAW, Sang Nabi Terakhir dan Suri Teladan (Uswatun Hasanah), menjalankan tugas kenabian dan kerasulannya dengan terpuji. Bahkan, ia menjadi tokoh paling penting dalam peradaban manusia sepanjang sejarah.

Berkat sifat dan sikapnya yang amanah (tepercaya), fathonah (cerdas), siddiq (benar), dan tabligh (fasih berbicara), kita kini masih bisa belajar dan menerima Islam sebagai ajaran yang disampaikan untuk menyempurnakan akhlak mulia, sebagaimana cita-cita dan tujuan kerasulan putra Abdullah dan Siti Aminah ini. Namun, tahun berganti dan zaman berubah, umat Islam kini tidak hanya mengalami perbedaan pendapat, melainkan juga perselisihan paham yang tak jarang berujung pada kebencian, kekerasan, permusuhan, dan bahkan perang.

Kita perlu kembali mengingat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Memberi Rahmat, Rasulullah SAW adalah utusanNya yang membawa rahmatan lil ‘aalamiin, Islam adalah agama yang mulia di sisi Allah, dan oleh karena itu umat muslim selayaknya menjadi umat yang mulia pula dan, tentu, melakukan hal-hal mulia, bukan justru berbuat paradoks: menempuh jalan kekerasan dan pemaksaan kehendak dalam mendakwahkan ajaran kelembutan dan kasih sayang.

Allah telah menetapkan Rahmat atas DiriNya. Bahkan, dalam sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Muhammad SAW bersabda bahwa Allah berfirman,”Inna rahmatii ghalabat ghadhabii. Sesungguhnya RahmatKu melampaui KemurkaanKu.” Sesungguhnya, betapa sungguh susah membuat Allah marah, namun lihatlah betapa kini sejumlah manusia beragama menjadi mudah marah, bahkan berdalil dan berdalih membela agama namun dengan amarah.

Agama yang selayaknya menjadi rahmah justru dijadikan medan pelampiasan marah, manusia beragama yang sepatutnya pemurah malah menjelma sebagai manusia pemarah.

Rasulullah telah menetapkan syafa’at atas dirinya. Dengan RahmatNya, Allah memberi syafa’at kepada Rasulullah di Hari Akhir, kemudian Rasulullah memberi pertolongan kepada umatnya yang terpilih. Namun, mari kita lihat sekeliling, betapa semangat gotong-royong makin hari makin lemah di negeri ini. Semangat tolong-menolong, bahu-membahu, bantu-membantu, tidak lagi berdasarkan ketulusan dan kerelaan (ikhlas dan rida), tapi telah berubah menjadi pertunjukan dan pembenaran untuk menyudutkan orang-orang yang tidak suka menunjuk-nunjukkan sedekah, infak, dan zakat-nya.

Jika Allah telah menetapkan Rahmat atas Dirinya dan Rasulullah telah menetapkan syafaat atas dirinya, lalu kita–Abdullah, hamba Allah–akan menetapkan apa atas diri kita? Merujuk kepada sabda Nabi Muhammad SAW bahwa khairun naas anfa-uhum li ‘n-naas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia, maka tentu saja kita selayaknya menetapkan manfaat atas diri kita masing-masing terhadap liyan.

- Advertisement -

Tidaklah benar-benar memiliki Cinta Sejati jika seseorang tidak mencintai orang lain sebaik ia mencintai diri sendiri. Nah, lalu apa yang harus kita kerjakan untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat?

Suri Teladan

Untuk dapat menjadi manusia yang bermanfaat, Rasulullah Muhammad SAW telah meninggalkan petuah yang sungguh indah, yaitu berpeganglah kepada al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah firman-firman Allah yang di dalamnya terkandung perintah dan larangan, kabar gembira dan peringatan, serta petunjuk bagi umat manusia pada umumnya dan petunjuk bagi golongan manusia yang bertakwa pada khususnya.

Sedangkan As-Sunnah adalah segala perilaku dan perkataan Rasulullah SAW, termasuk diamnya. Karena al-Qur’an bersifat sangat umum–berlaku bagi manusia sejak sebelum dilahirkan hingga sesudah diwafatkan–maka kita membutuhkan suri teladan terbaik dalam membaca, mempelajari, dan memahami, serta mempraktikkannya. Dan, teladan paling utama itu adalah Rasulullah SAW.

Ketika muncul gagasan, bahkan gerakan, untuk kembali kepada kemurnian al-Qur’an, saya rasa kita perlu menyadari segala keterbatasan kita. Jangankan untuk memahami al-Qur’an, yang sarat dengan makna-makna tersirat, bukankah kita membutuhkan guru-guru untuk belajar dari buku-buku di sekolah? Jika kalimat berasal dari kata, dan jika kata disusun dari aksara, adakah di antara kita yang belajar membaca, mengeja, mengenal huruf-huruf, tanpa bantuan sesiapa?

Kita manusia dan kita dikodratkan untuk saling belajar. Tidak hanya dengan membaca teks, namun juga menyadari konteks, dan di sinilah letak kemanusiawian manusia.
Kita memerlukan contoh figur paripurna yang berhasil tidak hanya membaca al-Qur’an langsung dari Allah, Sang Pemberi Wahyu, dan/atau Malaikat Jibril, sang perantara penyampaian kalam Ilahi itu, namun juga sukses besar menjadi perwujudan dari Qur’an hidup itu sendiri.

Segala gerak-gerik, tutur-kata, tindak-tanduk, salat-nya yang daim dan zikir-nya dalam diam, penghambaan kepada Allah dan pengorbanan kepada sesama makhluk Allah, adalah praktik terbaik dari pemahaman manusia atas al-Qur’an, yang diteladankan Rasulullah. Lalu, berbekal kemurnian macam apa jika kita seorang diri kembali kepada kemurnian al-Qur’an? Semurni apa kita?

Mengikuti sunnah Rasul menjadi bukan lagi sekadar pilihan jika kita berkenan untuk mawas diri betapa kita ini faqir dan dhaif, hina dan nista, tidak murni dan mudah tercampur goda dunia. Namun demikian, kita tidak satu masa dengan Rasulullah. Ketika Rasulullah bersabda, “Shalluu kamaa ra-aitumuuni ushallii, salatlah sebagaimana engkau melihat aku salat”, kita tidak pernah melihat sendiri bagaimana Beliau SAW mendirikan shalat.

Oleh karena itulah, kita harus membuka diri, mata hati dan akal budi kita, untuk belajar kepada para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, terus turun-temurun hingga guru-guru kita, kiai-kiai kita, para alim-ulama kita hingga hari ini, yang merupakan ahlus sunnah, untuk dapat belajar, memahami dan kemudian mempraktikkan sunnah Rasul, sebagai jalan ritual dan spiritual untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah yang tersurat dan tersirat dalam Qur’an Karim.

As-Sunnah adalah konteks, sedangkan al-Hadits adalah teks, yang mulai dituliskan pada 150-200 tahun sejak Nabi Muhammad SAW wafat. Ada jeda waktu dan, tentu saja, kesenjangan pengetahuan dan pengalaman belajar dan berjumpa langsung dengan Sang Junjungan. Oleh karena itu, sistem periwayatan sunnah pun diterapkan dengan teramat sangat ketat dalam penulisan hadits.

Belum lagi dalam hal penyampaiannya, dibutuhkan alim-ulama yang mumpuni dan dapat dipercaya untuk mengajarkan risalah Rasulullah dan firman Allah. Hoax, dusta, propaganda, dan penistaan, niscaya tidak hanya baru terjadi hari-hari ini, namun telah juga berlangsung di hari-hari yang telah lalu.

Maka, kita sebaiknya belajar tentang sesuatu; apalagi belajar tentang al-Qur’an dan Sunnah, kepada sumber dan narasumber yang murni dan mumpuni, sahih dan tepercaya, serta memiliki sanad yang jelas dan terang. Ada dua macam sanad, yaitu sanad guru dan sanad ilmu. Mari kita belajar kepada guru, kiai, alim-ulama, yang memiliki sanad guru yang tersambung dan terhubung hingga Rasulullah Muhammad SAW, yang oleh Jibril AS disambungkan dan dihubungkan kepada Allah SWT.

Mari kita belajar kepada guru, kiai, alim-ulama yang sanad ilmunya tersambung dan terhubung hingga Laa ilaaha illa ‘l-Laah, Muhammada ‘r-Rasuulu ‘l-Laah. Mengapa harus Laa ilaaha illa ‘l-Laah, Muhammada ‘r-Rasuulu ‘l-Laah? Mengapa tidak cukup hanya Laa ilaaha illa ‘l-Laah saja?

Pertanyaan ini akan membawa kita kembali kepada hal-hal yang telah kita bicarakan sejak awal, betapa kita tidak bisa kembali kepada kemurnian al-Qur’an hanya dengan mengandalkan kemurnian diri kita, yang jelas-jelas tidak murni ini. Kita perlu mengikuti As-Sunnah untuk memahami dan menjalankan al-Qur’an. Allah mengutus Rasulullah untuk umat manusia, lalu betapa sombong kita jika hendak langsung berhubungan dengan Allah tanpa perantaraan dan pertolongan Rasulullah?

Jika hanya sampai pada Laa ilaaha illa ‘l-Laah, kita selayaknya khawatir akan kian banyak Muslim yang memekik Allahu Akbar namun sama sekali mereka tidak mencerminkan keagunganNya. Beraksi dengan mengatasnamakan agama, dan bahkan berdalil dan berdalih membela Allah namun tidak dengan cara-cara yang Dia kehendaki, yaitu bi ‘l-hikmah wa ‘l-mau’idhatil hasanah, wa jaadilhum billati hiya ahsan, sebagaimana Q.S. An Nahl: 125.

Mereka bertindak dengan kekerasan dan memaksakan kehendak padahal justru menodai agama kelembutan yang melarang pemaksaan kehendak, laa ikhraaha fi ‘d-diin, sebagaimana Q.S. Al Baqarah: 256.

Rahmat bagi Alam Semesta

Allah berfirman dalam Q.S Anbiya: 107, “Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘aalamiin. Dan tidaklah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.” Artinya, makna kehadiran Rasulullah SAW dan risalah Islam yang diterimanya dari Allah adalah rahmat bagi alam semesta dan seisinya. Harap kita ingat bersama-sama: rahmatan lil ‘aalamiin, bukan rahmatan lil muslimiin, bukan pula rahmatan lil mu’miniin, bukan rahmatan lil mukhlishiin, bukan juga rahmatan lil muttaqiin, melainkan rahmatan lil ‘aalamiin. Dan, sekali lagi, Islam itu membawa rahmat, bukan laknat.

Jika dirangkum, manusia dalam hidupnya melakukan dua hal, yakni berbantah dan berdebat. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya juga dua hal: mengingat dan mengingatkan, terutama dalam kebenaran dan kesabaran. Jika agama adalah kebenaran, maka marilah kita berhenti saling menyalahkan. Dan, bukankah membenarkan itu bukan dengan cara menyalahkan? Dan, bukankah ketika merasa benar, kita baru saja berbuat salah?

Agama itu mudah dan mempermudah. Karena itu, jika hidup kita justru susah, jangan menyalahkan agamanya. Siapa tahu kitalah yang suka mempersulit diri sendiri? Allah menghendaki kebaikan dan suka memberikan keringanan. Karenanya, jangan mengatasnamakan Allah atas keburukan-keburukan kita sendiri dan beban-beban hidup yang diakibatkan ulah kita sendiri.

Manusia berada di wilayah proses, Allah-lah yang menentukan hasilnya. Manusia berada di wilayah dakwah, Allah-lah yang memberikan hidayah. Jika pun seseorang kemudian beriman, niscaya itu bukan karena jerih payah kita, namun semata-mata hidayah Allah. Jika pun karena kita yang berdakwah, itu juga karena Allah-lah yang menggerakkan kita dengan segala petunjuk, pertolongan, kekuatan, dan perlindunganNya. Allah memberi petunjuk kepada siapa pun yang Dia kehendaki dan tidak ada yang dapat menyesatkan setelah datangnya petunjuk itu.

Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki dan tidak ada yang dapat memberi petunjuk setelah datangnya kesesatan itu selain Allah.

Berbicara mengenai dakwah, marilah kita bersama-sama menyadari bahwa dakwah itu mengajak, bukan mengejek. Dakwah itu merangkul, bukan memukul. Dakwah itu memuliakan, bukan menghinakan. Dakwah itu menyembuhkan, bukan menyakitkan. Dakwah itu mengobati, bukan melukai.

Dakwah itu menenangkan, bukan menegangkan. Dakwah itu menenteramkan, bukan menyeramkan. Dan, yang paling penting, dakwah itu membahagiakan, bukan membahayakan. Menyadari ini, kita bisa mengetahui dan memetakan mana Islam yang sejati, dan mana pula yang menjadikan Islam sebagai kedok untuk kepentingannya sendiri.

Baca juga:

Kontekstualisasi Islam: Memikirkan Kembali Wahyu Al-Qur’an

Al-Qur’an, Toleransi, dan Tuhan Yang Maha Toleran

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.