Musim semi umat beragama kini memasuki babak baru. Setelah kerecokan pelarangan cadar di sebuah kampus ternama Yogyakarta, menyusul kemudian aksi melepas hijab di ruang publik, lantas menggantungnya ke dahan pohon—yang kini ramai dilakukan oleh kaum Muslimah Iran.
Di negeri kita, cerita serupa sudah lebih dulu terjadi dan masih terus menggelinding sampai hari ini. Sesungguhnya apa yang sedang menjangkiti umat Islam kiwari sehingga perilaku mereka terkesan labil begitu?
Jika menilik pola yang berkembang di masyarakat, nampaknya tak salah bila gejala ini kita sebut sebagai tren orang beragama belaka, yang gagal menemukan rahasia terdalam dari laku syariat sebagai ritus agama—Islam khususnya.
Dalam Fashl al-Maql fi ma Bayna al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittisal, Ibn Rusyd menyitir, “Hukum Ilahi menggabungkan Wahyu dengan akal. Hal ini harus dipahami berdasarkan sebab, sarana, dan tujuan. Wahyu dilengkapi dengan unsur dalam akal, sedangkan akal juga dilengkapi unsur dalam Wahyu.”
Hal yang perlu diingat adalah bahwa kata al-‘aql (yang berasal dari bahasa Arab) tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an sama sekali, melainkan sekadar kata turunan atau bentuk jadian yang berupa kata kerja, semisal ya’qilu, na’qilu, ta’qiluna, ya’qiluna, ‘aqillu yang mencapai sekitar limapuluh kata.
Sedangkan beberapa kata yang menunjukkan aktivitas ‘aqliyyah dengan gambaran umum, semisal tafakkur (berpikir), tadabbur (merenung), ‘ilm (ilmu), nazhr (pandangan), idrak(persepsi), fikr (pikiran), dan tabashshur (pencermatan mendalam), jumlahnya mencapai ratusan.
Sebenarnya akal manusia diseru oleh Tuhan untuk merenung, berpikir, mengambil pelajaran, meningkatkan kemampuan olah pikir, menyesuaikannya dengan dunia batin (hati) dan alam nyata, guna mencermati problematika kehidupan. Persoalan besar umat Islam abad ini adalah, hilangnya gairah mengembangkan akal sampai batas paling maksimal dari yang sanggup dilakukannya.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan narasi keagamaan ditelan mentah-mentah. Tak perlu diperiksa lagi hal ihwal yang berkenaan dengannya. Seolah-olah apa yang telah terb[u]akukan itu sudah menjadi ketetapan akhir dan puncak.
Pintu ijtihad—sebagai moda bagi beroperasinya akal dalam agama, ditutup rapat oleh segelintir orang yang mendaku bahwa Islam miliknya seorang. Mereka juga memposisikan diri sebagai penjaga pintu gerbang agama dari kejernihan berpikir. Tak boleh ada yang kritis dalam beragama. Itu sama dengan meragukan para nabi tuhan—dan bahkan termasuk tuhan di dalamnya.
Agama tak perlu didiskusikan atau dibawa ke ruang publik. Cukup jadi keyakinan buta saja. Anehnya, ranah agama bisa serta-merta menjadi urusan bersama apabila muncul gangguan dari pihak luar yang mencibir perilaku beragama umat Islam yang kadang terlihat kekanak-kanakan.
Padahal, jika kita mau menelaah, sumber segala kejahatan dalam jagat kehidupan kita adalah ketidaktahuan, pandangan yang keliru, dan tentu—kebodohan. Ketiganya bermuara dari satu sumber: akal-pikiran.
Dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan di semesta raya tercandra, hanya manusia sajalah yang sanggup memikirkan pikiran sendiri yang sedang berpikir tentang dirinya. Sepintas lalu, kalimat itu terkesan membingungkan. Namun, bila kita cermati lebih dalam, akan muncul sebuah kesadaran tentang betapa sebuah pikiran bisa sedemikian berharga dan indah.
Tanpa panduan khusus dari siapa pun—termasuk guru bijak bestari, sejatinya kita sanggup menggali ilmu hanya dengan dan bersama diri sendiri. Caranya mudah saja. Mulailah dengan memikirkan diri sendiri, perihal kenapa kita diciptakan, dilahirkan, tumbuh, berkembang, beranak pinak, dan kemudian kembali meniada. Adakah itu semua hanya sekadar kesia-siaan belaka? Apakah kita cuma sebatas singgah di dunia fana ini? Rahasia apakah yang disembunyikan tuhan dalam kehadiran kita di semesta raya?
Semula, kita memang akan menemukan sekian banyak kebingungan saja. Tapi, anehnya, kebingungan itu adalah jawaban paling tepat dari pertanyaan yang kita ajukan sendiri. Kebingungan itu, juga membenarkan apa yang kita pikirkan, tanpa perlu mengonfirmasinya pada orang lain. Bahkan kita hampir tak punya alasan meragukan diri sendiri yang kita pikirkan. Kenapa? Karena hanya kita sajalah yang tahu siapa diri ini yang sejati.
Kita telah bersama diri sendiri seumur usia. Sepanjang hayat masih dikandung badan. Tak satu pun manusia lain yang bisa memahami kedirian kita, yang telah kita miliki sejak kali pertama muncul ke dunia.
Maka, menjadi konyol jika kita menanyakan tentang bagaimana kita yang sejati kepada orang lain—yang juga sedang bersusah payah mengenali dirinya sendiri. Sebanyak apa pun yang ia ketahui tentang kita, masih lebih banyak dan teramat banyak yang kita ketahui tentang diri sendiri. Termasuk ketika orang lain melakukan penilaian atas satu perbuatan moral yang telah kita lakukan. Baik menurut orang lain, belum tentu sama menurut kita.
Pun sebaliknya. Jadi, hanya dengan mengandalkan pikiran sendiri, sesungguhnya kita sudah bisa melakukan proses penilaian terhadap apa yang sedang kita jalani dalam hidup sendiri.
Perkaranya adalah, sedikit sekali manusia yang melakukan hal tersebut di atas. Kebanyakan manusia malah terlampau sering meragukan pikirannya sendiri. Bahkan mereka menepis apa yang sebelumnya telah ia pikirkan secara matang. Mereka tak lagi mengerti bahwa berpikir yang benar adalah modal besar utama untuk melakukan perbuatan yang benar.
Artinya, hanya dengan mengandalkan kemampuan berpikir secara mandiri, sejatinya kita telah mengerti nilai benar-salah dari sebuah perbuatan yang akan dilakukan. Lantaran telah melewati proses perenungan dalam diri sendiri yang rasanya sudah sedemikian rumit.
Ada begitu banyak contoh kekacauan berpikir yang berseliweran setiap hari di dunia kita hari ini. Ada begitu banyak orang yang akalnya terbakar (al-mamrur), dan celakanya malah dijadikan panutan oleh publik luas. Sehingga yang terjadi adalah, muncul kekacauan di mana-mana.
Akal yang seharusnya bisa dijadikan tolok ukur menentukan benar-salah, justru malah dipakai untuk menyalahkan yang benar, dan membenarkan yang salah. Apalagi jika sudah berkenaan dengan nash agama yang kesakralannya dibuat sedemikian rupa tak terjamah. Wajar bila kemudian jamur kejumudan tumbuh subur di benak banyak orang beragama.
“Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (QS. al-Jin [72]:4) Pada surah lain kita bisa menemukan redaksional begini, “Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 28).
Sebagai “jenderal utama” manusia, akal bertugas melakukan beberapa hal penting dalam kehidupan; seperti bertanya, menjawab, meragukan, menampik, menolak, mengingkari, menerima, membongkar rahasia lalu mengulitinya hingga ke bagian terkecil, memilih-memilah, mengolah keyakinan sampai menjadi iman, menembusi batas terjauh pikiran, menciptakan sudut pandang, membenarkan, dan menemukan kebenaran. Pola kerja akal tersebut nampaknya jarang sekali dipakai umat Islam kala membincang agamanya.
Mohandas Karamchand Gandhi pernah membuat sebuah tamsil indah terkait pembahasan kita ini, “Bunga mawar tak pernah berkhutbah. Ia hanya menebarkan wewangian. Aroma itulah khutbah baginya. Tapi aroma kesalehan dan kehidupan spiritual, jauh lebih halus dan harum tinimbang wanginya mawar.”
Gandhi tahu, agama hanya diperuntukkan bagi manusia berakal sehat. Agama harusnya mencerdaskan. Turut mewarnai kehidupan. Sebab, kehidupan dan agama tak mungkin dipisah. Keduanya serupa dengan kondisi mata dan melihat. Perilaku beragama yang baik semestinya mendidik manusia dengan hukum indah kehidupan. Agama yang berurat akar dalam akal tentu akan menerbitkan sebuah keyakinan adekuat.
Kerana itulah kita sama mafhum bahwa tiada yang pasti dalam kehidupan ini. Ujian terbesar dan terberat bagi manusia berada dalam keyakinannya sendiri. Bukan berasal dari Tuhan.
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Para Imam Mazhab di Tengah Perbedaan Pendapat