Kadang ada saja istilah baru atau pemaknaan kata yang ketika dihubungkan menjadi saling kontradiktif, walau tetap dipergunakan menjadi istilah baru yang diterima. Dulu, pernah dikenal istilah “Tobat Nasional” yang dipopulerkan oleh M. Amien Rais, yang sebenarnya antara “tobat” dan “nasional” juga memiliki makna kontradiktif ketika digabungkan.
Baru-baru ini muncul istilah “Dzikir Kebangsaan” yang mungkin kurang lebih sama. Ada “contradictio in adjecto”, mengingat kata “dzikir” dan “kebangsaan” juga dua hal yang memiliki makna yang sama sekali berbeda.
“Dzikir” jelas bernuansa agama, transenden, bahkan dalam bahasa agama disebut sebagai kalimat “musytarok” (satu kata banyak makna). Sedangkan “Kebangsaan” memiliki arti “yang bertalian dengan bangsa atau ciri-ciri suatu bangsa” (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI), yang sangat lekat dengan keduniaan (imanen).
Barangkali, jika kemudian dihubungkan, istilah Dzikir Kebangsaan akan bermakna bagi fenomena dzikir dengan melakukan ritual keagamaan tertentu yang dianggap menjadi ciri bangsa tersebut. Lalu, apakah demikian? Benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang senang berdzikir?
Untuk bagian ini, saya kira, setiap orang dapat punya pendapat sendiri-sendiri soal apakah benar bangsa kita ini adalah bangsa yang bercirikan gemar berdzikir kepada Tuhan atau tidak. Jika pun ini menjadi istilah baru, apakah memang benar untuk memperkuat fenomena dzikir sebagai bagian dari ciri bangsa Indonesia yang dikenal agamis dan humanis, tentu kita akan mempunyai argumentasi masing-masing yang pasti berbeda.
Pada Selasa malam (1/8) Istana Negara memang menggelar acara “Dzikir Kebangsaan” yang digagas dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-72. Pihak istana mengklaim telah mengirim 2000 undangan yang disampaikan kepada para ulama dan tokoh masyarakat Muslim agar mengikuti rangkaian kegiatan yang pertama kalinya digelar di Istana Negara ini.
Bagi saya, ini menjadi menarik dan sangat fenomenal karena dua hal. Pertama, acara ini digelar di Istana Negara yang biasanya steril dari segala aktivitas sosial, apalagi bersifat massif karena soal keamanan. Kedua, dzikir merupakan istilah dalam konteks ritual Muslim yang sangat bersifat “khusus” tetapi dibuat bersifat “umum”, sehingga jika diprakarsai oleh penguasa, lebih-lebih menjelang kontestasi politik nasional, akan muncul banyak spekulasi di tengah masyarakat.
Konsepsi dzikir dalam ajaran Islam memiliki nuansa esoteris yang sangat berpengaruh terhadap seseorang yang memang terbiasa menjalankannya. Bahkan, dzikir juga dapat bermakna politis jika dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Hal ini dijelaskan oleh salah satu riwayat hadis Turmudzi dan Ibnu Majah, bahwa amalan dzikir dapat mengangkat prestise seseorang (irfa’ darajatikum) dalam konteks keduniaan (politik).
Bahkan lebih jauh hadis ini menyebut dzikir sebagai ibadah ritual terbaik dibanding sedekah sebanyak apa pun atau jihad sebesar apa pun. Makna esoteris dzikir sangatlah dalam dan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu yang memang telah memiliki cara khusus dalam upaya “bermesraan” dengan Tuhan. Lalu, apakah ini yang dituju oleh Dzikir Kebangsaan? Wallahu a’lam.
Perhelatan Dzikir Kebangsaan di Istana Negara adalah pertama kalinya dalam sejarah rezim negara ini. Bahkan masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang dikenal lekat dengan kelompok tasawuf dan dzikir dari kalangan NU, rasa-rasanya belum pernah menggelar dzikir bersama di lingkungan istana.
Lalu, muncul spekulasi, apakah Jokowi memang sedang “bermesraan” dengan kalangan Nahdliyyin, yang memang memiliki massa sangat besar dan bisa dimanfaatkan untuk menjadi pendukungnya di Pilpres 2019 nanti? Ini juga akan membutuhkan penelitian lebih mendalam, karena semua spekulasi hanya dilakukan secara kasatmata mengingat jumlah ulama NU yang mendominasi kegiatan dzikir ini.
Saya meyakini bahwa dzikir akan membawa suasana yang lebih kondusif, nyaman, dan tenteram, lebih-lebih jika nuansa berdzikir benar-benar diciptakan secara khusyuk dan mantap, tak ada tujuan apa pun, kecuali mengharap keberkahan Sang Maha Agung. Namun, rasanya akan lain halnya jika dzikir sekadar digelar demi tujuan lain yang berkait dengan dimensi keduniaan, seperti mengharap dukungan politik atau membuat pencitraan yang melenceng dari tujuan utamanya.
Saya berharap kegiatan apapun, terlebih menyangkut soal ritual keagamaan, apalagi dzikir, akan berdampak pada kondusivitas kebangsaan yang mungkin hampir-hampir terkoyak. Hal inilah yang diungkapkan Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin yang juga hadir dalam acara tersebut. Kiai Ma’ruf menyambut positif Dzikir Kebangsaan sebagai pembuka pintu keberkahan Tuhan bagi negara dan bangsa.
Bagi saya, jika dinamakan Dzikir Kebangsaan, maka ritual dzikir sebagai bentuk pengingat kita kepada Tuhan tidak selalu diidentikkan kepada hanya umat Muslim saja. Karena, dzikir sesungguhnya bukan sebuah klaim bagi satu kelompok agama atau manusia saja.
Dzikir dengan mengambil pemaknaan “mengingat Tuhan” tentu dilakukan oleh seluruh mahluk ciptaan-Nya, di seluruh muka bumi. Alam raya ini “berdzikir”, bulan, bintang, pepohonan, sungai, gunung, dan yang tak kasatmata senantiasa mendengungkan “dzikir” kepada Tuhan dengan cara berbeda-beda.
Jika memang ini konsepnya kebangsaan, maka seluruh agama lain juga semestinya hadir untuk bersama-sama berdzikir dengan khusyuk, memohon kehadirat-Nya agar bangsa dan negara ini selalu diberikan keberkahan yang melimpah dari Tuhan. Paling tidak, dzikir akan menenangkan dan menenteramkan hati, agar hati tidak liar berprasangka buruk terhadap banyak hal.
Berdzikirlah, karena dzikir pasti menenteramkan jiwa!
Baca juga:
Ada Apa antara Istana dan GNPF MUI?