Jumat, April 26, 2024

Agama Sipil dan Sesat Pikir “NKRI Bersyariah”

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis dan perupa, alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta.

Ada pendapat lama yang mengatakan bahwa Islam tak sama dengan Arab dan sebaliknya. Artinya, dua istilah itu tak pernah sebangun. Berhijab ataupun bergamis tak sama dengan berislam, sebab—dari berbagai video yang mudah dijumpai di sosial-sosial media—para penari perut ataupun maling pun juga berhijab dan bergamis.

Saya tak pernah membenci tari perut, hanya saja menyimpulkan bahwa berhijab adalah satu-satunya ukuran keislaman seseorang adalah sebentuk sesat pikir, sama sesatnya pula dengan kesimpulan bahwa tak berhijab sudah dengan sendirinya humanis-pancasilaistis.

Dalam logika almaghfurlah Gus Dur, andaikata Raudhatu Thalibin diganti dengan Taman Pelajar, apakah berarti akan menyebabkan kurangnya kadar keislamannya? Apakah penyebutan Mbah Mangli dengan sendirinya akan menyebabkan kurangnya kadar ketawadukan atau rendah hati daripada menyebut KH Hasan Asy’ari?

Apakah sapaan Mbah Hasyim Asy’ari menandakan kesombongan daripada sapaan Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari? Apakah ungkapan berkah dalem Gusti tak lagi seislami barakAllah? Apakah istilah “hukum” tak lagi seislami istilah “syariah”?

Pada titik ini kembali kita berhadapan dengan sebentuk formalisme dalam Islam. Sangat klasik, ukuran keislaman bagi penganut salah satu varian keislaman di Indonesia ini hanyalah pada apa yang tampak, termasuk “bahasa.” Barangkali, pemilihan nama-nama bawah-tanah para teroris yang kearab-araban membuktikan formalisme semacam ini. Saya tak akan melihat fenomena formalisme keislaman ini dari kacamata para penganut Islam substansial yang saya kira klasik juga.

Untuk dibuat gampang, sejatinya Pancasila dan UUD 1945 tak pernah mengharuskan kita semua—bahkan pun yang secara administratif “Islam”—bersyahadat, salat, puasa, zakat maupun berhaji. Ketika kita tak melakukannya tak ada sanksi hukum apa pun. Kita tak pernah sadar bahwa di republik ini ada dua bentuk agama: agama sipil dan agama privat.

Agama sipil adalah agama publik di mana agama-agama privat, selama kepentingan-kepentingannya tak menciderai nalar publik dan merusak ruang publik, diakomodasi. Sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 adalah wujud nyata pengayoman negara terhadap ekspresi agama-agama privat tersebut. Dengan kata lain, konsep nation-state yang telah diracik para founding fathers dahulu, secara logis sudah dengan sendirinya memilih jalan tengah dan menolak segala bentuk ekstremisme.

Bagaimana kemudian menyikapi aspirasi “NKRI Bersyariah” yang tengah viral tersebut ketika tak semua kepentingan orang Indonesia dapat terakomodasi oleh syariah yang berarti hukum Islam? Ketika “NKRI Bersyariah” berhasil tegak di Indonesia, maka ketika kita tak salat, misalnya, akan dapat dikenai sanksi hukum. Untuk urusan-urusan yang menjadi larangan agama—seumpama fitnah, pembunuhan, prostitusi, dst.—sudah sangat jelas, tanpa memakai logika agama sekalipun hukum positif di Indonesia telah mengaturnya.

Hanya saja permasalahan dalam wacana “NKRI Bersyariah” adalah gelagat akan dipaksakannya kewajiban-kewajiban agama Islam pada semua warganegara. Kita berhak untuk menyimpulkan demikian, sebab ketika wacana tersebut digulirkan di ruang publik, Pancasila dan konstitusi memberi ruang untuk melakukan apa yang disebut John Rawls sebagai “judgmental rationality” untuk mendapatkan mufakat.

Judgmental rationality atau perdebatan—bisa pula berupa polemik—merupakan sebentuk sarana dalam masyarakat sipil bagaimana mereka mengatur kehidupannya sendiri. Konsep masyarakat sipil memang menuntut keterlibatan semua warganegara dalam menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Di sini pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga tegaknya satu-satu aturan main yang mesti dipatuhi dalam ruang publik: Pancasila dan konstitusi.

Dengan demikian, masing-masing orang atau kelompok dituntut untuk menerjemahkan kepentingannya yang sudah pasti berbeda satu sama lain secara umum dengan mempertimbangkan kepentingan publik yang luas. Maka, saya kira, problem bahasa menjadi penting di sini. Bagaimana masing-masing orang atau kelompok pada akhirnya menyembunyikan kepentingan khususnya dalam logika dan retorika yang dapat diterima publik.

“Syariah” dan “hukum” sudah jelas berbeda makna dan pengaruhnya dalam nalar publik. Istilah yang pertama sudah tentu menciderai konsep masyarakat sipil yang menyiratkan—secara sosial-politis—bahwa pertama-tama manusia harus dipandang sebagai warganegara, bukannya warga Islam, warga Kristen, warga Buddha, ataupun yang menyangkut kesukuan seperti warga Jawa.

Sedangkan istilah yang kedua sudah pasti diterima oleh setiap kalangan tanpa menghilangkan, misalnya, apa yang menjadi tujuan dari hukum-hukum agama partikular. Maka, di sini judgmental rationality dapat menjadi parameter kedewasaan dalam berdemokrasi.

Bagaimanapun Indonesia tak pernah berdiri atas usaha orang per orang ataupun satu kelompok tertentu. Sebagai warganegara kita semua punya saham atas republik yang kini telah menginjak usia 74 tahun selama semua mengindahkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya nalar publik sekaligus agama sipil di Indonesia. Jadi, siapa yang nalarnya mengalami sesat pikir?

Kolom terkait

Negara antara “Syariatisasi Indonesia” dan “Indonesianisasi Syariah”

“Islam Kaffah” yang Bagaimana?

Demokrasi Mengembalikan Politik Islam ke Jalur yang Benar

Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!

Membedah Islam Politik, Politik Islam, dan Khilâfah

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis dan perupa, alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.