Sejak Maret 2020, ketika Indonesia sedang sibuk berperang menghadapi virus Korona atau COVID-19, ternyata sebagian dari masyarakat kita masih ada yang terjangkiti virus lain, yaitu virus intoleransi. Diskriminasi dan intoleransi tidak berhenti di beberapa tempat. Pada 16 Maret 2020, sekelompok masa yang menamakan dirinya Aliansi Benteng Aqidah (ABA) menekan Bupati Bogor agar melarang Ahmadiyah.
Pada 6 April 2020, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melalui Bakorpakem berupaya menyegel Masjid Al-Aqso milik Jemaat Ahmadiyah di Singaparna. Pada 20 Juli 2020, ada penyegelan terhadap pasarean sesepuh Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Kuningan oleh Satpol PP. Dan terakhir, pada 8 Agustus 2020, sekelompok laskar membubarkan acara doa di Solo karena dianggap terkait tradisi Syiah.
Selain beberapa kasus tersebut, ada juga yang menggunakan COVID-19 sebagai alasan untuk semakin membenci atau melakukan stigma buruk terhadap etnis Tionghoa. Beberapa selebaran atau flyer juga dialamatkan kepada kelompok Syiah dengan menyebutkan bahwa Syiah lebih berbahaya dari COVID-19. Berbagai peristiwa itu menunjukkan bahwa ada sebagian dari kita yang masih tak suka terhadap mereka yang berbeda atau menganggap kebinekaan itu sebagai ancaman.
Orasi ini akan mengulas tentang mengapa persoalan diskriminasi terhadap minoritas itu kini seperti menjadi penyakit di Indonesia, dan juga di dunia, justru ketika dunia menjadi semakin tak berjarak dan demokrasi di negara kita semakin membaik. Orasi ini hendak menggarisbawahi satu faktor, yaitu persoalan kultural yang menjadi pupuk dan lahan bagi berkembangnya diskriminasi dan intoleransi. Ada tiga persoalan yang secara khusus dibahas di sini, yaitu:
1) Dilema hubungan mayoritas-minoritas
2) Kultur intoleransi
3) Wawasan teoretis
Dilema Hubungan Mayoritas-Minoritas
Slavoj Žižek menggambarkan tentang adanya racist, sectarian, and exclusivist fantasy di sebagian masyarakat dunia saat ini. Gambaran tentang fantasi ini adalah sebagai berikut: “If only they weren’t here, life would be perfect, and society will be harmonious again” (Seandainya mereka tak ada di sini, maka kehidupan ini akan menjadi sempurna dan masyarakat yang harmonis akan terwujud kembali).
“Mereka” itu bisa berganti-ganti maknanya. Ia bisa berarti kelompok agama yang berbeda; kelompok seagama tapi memiliki keyakinan yang berbeda seperti Syiah dan Ahmadiyah; kelompok dari etnis atau warna kulit berbeda; dan mereka yang berbicara dengan bahasa yang berbeda. Mereka yang sering menjadi korban dari fantasi ini adalah berbagai kelompok minoritas.
Racist, sectarian, atau exclusivist fantasy ini tentu saja tak hanya terjadi di Indonesia. Ia juga terjadi di beberapa negara maju di Eropa, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan lainnya. Penembakan di Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, sering digambarkan sebagai ketakutan sebagian kelompok “kulit putih” terhadap kehadiran dan berkembangnya kelompok berbeda di negara itu. Di India, Hindutva kini seolah menjadi ideologi negara dan kebencian atau diskriminasi terhadap umat Islam sering terjadi.
Ketika saya berbicara tentang minoritas, maka yang dimaksudkan dengan istilah ini adalah mereka yang secara objektif menempati posisi yang tak menguntungkan dalam masyarakat. Mereka menghadapi beberapa persoalan sosial dan kebangsaan seperti terkait kebijakan publik, perlindungan hukum, dan stigma sosial. Nasib minoritas itu kerap seperti “simalakama”; apapun pilihannya, acapkali dipandang salah.
Bagi etnis Tionghoa di Indonesia, terlibat dalam politik merupakan dilema. Jika bergabung dengan kelompok oposisi, mereka dituduh subversif. Jika mendukung penguasa, mereka dicap oportunis. Jika menjauhi politik, mereka juga dianggap hanya mau cari untung sendiri dan tak mau berkorban untuk bangsa. Bagi minoritas agama di luar kelompok agama mainstream, istilah yang dipakai pemerintah menggambarkan posisi mereka.
Dulu disebut “Aliran Sesat” atau “Aliran Sempalan” dan kini dipanggil “Kelompok Bermasalah”. Mereka dikaji dan didata dengan tujuan dibina atau “dibawa ke jalan yang benar”. Proses “minoritisasi” dapat dilihat sebagai konsekuensi relasional dari kekuasaan yang diproduksi maupun direproduksi oleh teknokrasi developmentalisme. Mereka yang dibayangkan ‘tertinggal’, ‘terkebelakang’, ‘terpencil’ diperlakukan sebagai subyek yang seolah tak memiliki sejarah, argumentasi dan agensi sosial.
Kultur Intoleransi
Ada beberapa persoalan kultural yang menyebabkan sebagian orang tidak merasa bahwa telah terjadi berbagai diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas agama tertentu di negeri yang kita cintai ini. Saya membagi persoalan ini kepada lima kelompok: 1) Messianic tendency, 2) False virtue (kebajikan yang salah), 3) Narasi eufemistik tentang intoleransi, 4) Mental construct konservatif, dan 5) delimited pluralism (pluralisme yang terbatas).
1. Tendensi Ingin Jadi Juru Selamat (Messianic Tendency)
Seperti yang digambarkan Edward Said ketika melihat orang-orang Eropa menjajah penduduk Afrika dan Asia, mereka merasa apa yang mereka lakukan itu adalah civilizing (membuat masyarakat beradab), bukan colonializing (menjajah). Mereka menganggap masyarakat Asia dan Afrika waktu itu tidak beradab, tak berbudaya, terbelakang, atau bahkan dianggap setengah manusia (half-human).
Anehnya, logika seperti ini diadopsi oleh para misionaris, evangelis, dan juru dakwah ketika mereka bertemu dengan para pemeluk agama leluhur dan Penghayat Kepercayaan. Banyak dari mereka yang meyakini bahwa tindakan misi yang dilakukan adalah membuat mereka tercerahkan dan terbebaskan dari keterbelakangan.
Mereka itu dianggap sebagai orang yang tak berperadaban, penyembah patung dan makhluk halus. Dalam salah satu wawancara yang saya lakukan dengan beberapa pemuka agama di Medan, salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa orang-orang Parmalim itu adalah orang-orang “kafir”. Makna istilah ini agak berbeda dari pemahaman bahasa Arab yang umumnya dipakai.
Arti “kafir” bukan hanya berbeda agama, tapi tidak beragama dan tersesat yang karenanya perlu diselamatkan. “Kafir” itu dekat maknanya dengan uncivilized people (orang yang tak berperadaban) atau orang barbar. Jadi, kehadiran para misionaris ke tanah Parmalim adalah untuk menawarkan peradaban dan menyelamatkan mereka.
Mirip dengan logika di atas adalah apa yang terjadi dalam peraturan perundangan seperti UU No. 1/PNPS/1965. Dalam penjelasan UU tersebut, misalnya, disebutkan: “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Para pengikut minoritas agama tertentu dianggap sebagai “tidak beragama” atau “belum beragama” atau mengikuti ajaran yang sesat dan tidak sehat, sehingga mereka perlu diobati dan dibawa kembali atau dibina kepada pemahaman agama yang sehat.
2. Kebajikan yang Salah (False Virtue)
Dalam wawancara dengan beberapa pelaku perusakan tempat ibadah dan diskriminasi terhadap minoritas agama, ada pernyataan-pernyataan yang mengejutkan dan menyedihkan. Sebagian dari mereka meyakini bahwa tindakan mereka itu bukanlah kejahatan atau dosa.
Alih-alih dianggap sebagai kejahatan, mereka justru meyakini bahwa tindakan mereka itu adalah untuk memenuhi panggilan keagamaan. Soirin Ahmad Abdulah, sesepuh Front Pembela Islam (FPI) Bandung Raya, yang ikut perusakan Masjid An-Nasir milik Ahmadiyah, misalnya, mengatakan, “Kita tidak kapok. Untuk kebenaran apapun kami siap. Dipenjara itu hal biasa, itu ujlah. Kalau dibunuh itu syahid bagi kami”. Tidak ada perasaan bersalah dalam aksi tersebut, bahkan itu dianggap sebagai sebuah jihad. Hal yang sama diungkapkan oleh penyerang gereja HKBP Bekasi, “Saya tidak pernah menyesal untuk berjihad di jalan Allah.
Bagi mujahid, difitnah itu biasa, dipenjara itu uzlah, dibuang itu tamasya, dan dibunuh adalah syahid”. Contoh seperti ini sangat banyak. Bahkan, banyak yang meyakini bahwa menyerang kelompok semisal Ahmadiyah dan Syiah itu adalah sebuah virtue atau kesalehan.
Penggunaan paksaan dan kekerasan untuk mengajak kepada jalan yang benar atau keberagamaan yang sehat itu mengingatkan kepada apa yang dilakukan gereja pada zaman pertengahan dulu. Ketika itu geraja melakukan pengejaran kepada mereka yang dianggap heretics atau orang sesat atau melakukan witch-hunt terhadap mereka yang menyimpang dari ajaran agama yang “benar”.
Logika yang dipakai untuk melakukan pemaksaan itu bisa diringkaskan menjadi “we force them to the ‘true path’ in order to save or rescue them from the punishment of God in the hell” (kita memaksa mereka ke jalan yang benar adalah demi menyelamatkan mereka dari siksaan Tuhan di neraka). “By torturing them, we save them from hell” (dengan menyiksa mereka, maka kita sesungguhnya menyelamatkan mereka dari siksaan neraka).
Jadi, mereka merasa melakukan sebuah misi dakwah, misi penyelamatan, ketika melakukan penyerangan dan penyiksaan terhadap kelompok yang dianggap sesat atau minoritas agama lainnya. Sebuah misi “suci” yang dilakukan dengan kekejaman.
3. Narasi Eufemistik tentang Intoleransi (Euphemistic Narrative of Intolerance)
Berkembangnya budaya intoleransi di sekitar kita itu diantaranya direfleksikan dengan perubahan makna dari beberapa istilah yang pada awalnya bernilai positif. Beberapa istilah dan kalimat mutiara seperti “harmoni” telah bergeser maknanya dan menjadi eufimisme dari intoleransi. Harmoni memang merupakan kata kunci yang disetujui oleh semua elemen masyarakat. Namun ketika kultur intoleransi berkembang, harmoni itu lebih sering menjadi eufimisme dari diskriminasi yang disetujui oleh mayoritas.
Selain konsep harmoni yang kadang berubah maknanya menjadi kamuflasi dari diskriminasi, beberapa peribahasa lama juga berubah maknanya menjadi mendukung sikap yang diskriminatif. Salah satunya adalah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Ketika terjadi peristiwa Tanjung Balai 2016, peribahasa ini sering diucapkan oleh beberapa tokoh masyarakat ketika menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi. Sebagian dari mereka menganggap umat Buddha di Tanjung Balai itu sebagai “minoritas yang tak tahu diri” dan tak menjalankan peribahasa itu.
Sebagai “tamu” dan minoritas, mereka mestinya tak membangun tempat ibadah, Vihara, yang sangat tinggi dan menaruh patung lima meter di atas Vihara Tri Ratna itu. Apa yang mereka lakukan telah menggantikan posisi tanjung yang menjadi simbol kota itu dan menjadikan masjid yang ada di kota itu terlihat sangat kecil. Pendeknya, peribahasa lama itu kini berubah maknanya menjadi salah satu pembenaran untuk menekan kelompok minoritas.
4. Konstruksi Mental Konservatif
Berbagai kelompok garis keras bisa dengan nyaman melakukan penyerangan dan bahkan mengklaim apa yang mereka lakukan sebagai representasi dari mayoritas umat Islam karena kebanyakan dari kita diam saja. Inilah yang disebut mental construct konservatif.
Sikap mental ini bisa didefinisikan sebagai “bentuk pemikiran yang mendukung, menyetujui, atau mendiamkan sikap-sikap intoleransi dan diskriminatif yang terjadi dalam masyarakat dan kadang berpikir bahwa berbagai kelompok yang diserang itu memang layak untuk diperlakukan seperti itu karena apa yang mereka lakukan selama ini dianggap meresahkan kenyamanan teologis kelompok mainstream”.
Mental construct ini memang lebih berada pada tataran pikiran, namun jika dibiarkan, hal ini bisa menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya aksi kekerasan atau bahkan terorisme.
Meski tak bisa disebut sebagai pelaku kekerasan, namun orang-orang yang memiliki mental construct konservatif itu menyebar dalam birokrasi pemerintah, kepolisian, kejaksaan, guru-guru sekolah, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), Kementerian Agama, dan termasuk juga para wartawan atau jurnalis.
Kelanjutan dari mental construct konservatif itu adalah lahirnya keberanian mengorbankan atau mengkompromikan hak-hak beragama kelompok minoritas. Ini terjadi, misalnya, di Bogor tahun 2015 lalu dengan beredarnya surat pemerintah tentang larangan penyelenggaraan peringatan Ashura oleh komunitas Syiah. Karena adanya ancaman penyerangan dari sekelompok orang, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk melarang penyelenggaraan kegiatan agama di ruang publik yang dilakukan oleh kelompok Syiah.
5. Pluralisme Terbatas (Delimited Pluralism)
Pluralisme yang diadopsi bangsa Indonesia adalah pluralitas yang terbatas atau delimited pluralism. Hal ini bisa dilihat dari implementasi dari pluralisme dan toleransi yang lebih banyak ditujukan kepada mereka yang masuk kategori enam agama yang “diakui”. Ini yang kemudian melahirkan favoritisme dan pelayanan penuh hanya kepada agama-agama yang “diakui” atau “resmi”.
Pemahaman tentang adanya “delimited pluralism” juga melahirkan pengkelasan atau stratifikasi dalam melakukan pelayanan keagamaan. Ini, misalnya, tertuang dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang masih diterapkan hingga sekarang. Tiga kategori agama tersebut adalah:
- Kelompok enam agama yang “dipeluk oleh penduduk di Indonesia”;
- Kelompok agama yang disebut dalam PNPS/1965 sebagai yang “dibiarkan adanya”, seperti Baha’i, Sikh, dan Yahudi;
- Aliran atau Penghayat Kepercayaan yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar di berbagai tempat di Indonesia;
Dalam stratifikasi tersebut, enam agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia mendapat beberapa keistimewaan. Mereka “mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”.
Wawasan Teoritis
Saya ingin menegaskan kembali pijakan awal saya bahwa minoritas adalah konsep tentang keberpihakan, sebuah kajian kemanusiaan yang memihak kepada mereka yang mengalami ketidakberuntungan di masyarakat, terutama karena sistem dan struktur negara dan masyarakat mendukung minoritisasi tersebut.
Berpijak dari pemahaman itu, saya beranjak kepada theoretical insight yang pertama, yaitu tentang relativisme konsep minoritas, terutama jika dasar yang dipakai semata statistik. Ada kelompok masyarakat yang jumlahnya besar tetapi bisa disebut sebagai minoritas karena posisinya justru sebagai subordinate dari kekuasaan tertentu. Karena sistem patriarki, misalnya, perempuan yang jumlahnya sangat besar di masyarakat kadang disebut sebagai kelompok minoritas, atau “minoritas yang mayoritas”.
Masih terkait dengan relativisme ini, minoritas adalah kenyataan sosiologis yang menunjukkan bahwa manusia itu tidak hanya memiliki satu identitas. Seorang Katolik Jawa, misalnya, maka secara etnis ia adalah bagian dari mayoritas. Namun dari segi afiliasi keagamaan, ia adalah minoritas. Pendeknya, setiap orang memiliki multiple identities (identitas yang banyak) yang menyebabkan bisa menjadi bagian dari mayoritas dan minoritas sekaligus.
Wawasan kedua adalah bahwa Kesesatan Lebih Dibenci Daripada Kekufuran. Mengapa kebencian sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah lebih besar dari kebencian mereka kepada umat yang secara utuh memiliki agama yang berbeda?
Seperti kelompok yang dianggap ‘sesat’ lainnya, posisi Ahmadiyah dalam Islam terletak pada “an intense union of both nearness and remoteness” (kesatuan antara kedekatan dan kejauhan). Posisi struktural yang sulit inilah, yakni dikotomi bipolar antara sesama Muslim ini, yang diibaratkan pertengkaran di antara dua saudara kandung, yang membuat konflik antara kelompok Ahmadiyah dan kelompok Muslim mayoritas di Indonesia lebih membara dalam dendam kesumat.
Wawasan ketiga adalah bahwa Ortodoksi dan Heterodoksi Tidak Permanen. Bagaimana membedakan antara reformis dan orang sesat? Sekilas, perbedaan di antara keduanya sangatlah tipis—keduanya sama-sama mencoba memberikan interpretasi baru terhadap ajaran agama. Namun seiring berjalannya waktu, yang dianggap reformis itu akan dapat diterima secara sosial walaupun sebelumnya mendapat penolakan dari masyarakat.
Penutup
Dalam sejarah, kita memiliki tradisi toleransi yang kuat. Kita berharap intoleransi yang kita lihat saat ini hanyalah gejala sesaat. Pekerjaan kita sekarang adalah bagaimana toleransi menguat kembali di masyarakat dan itu sudah dilakukan di beberapa kota, seperti Wonosobo. Karena itu, ada empat rekomendasi untuk mengatasi problematika dan dilemma minoritas di Indonesia.
Pertama, penekanan dan pendekatan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Bahwa hak-hak beragama kelompok minoritas adalah termasuk kategori non-derogable rights (hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara atau pihak mana pun, walau dalam keadaan darurat sekalipun).
Kedua, penekanan tentang adanya kewarganegaraan yang setara (non-differentiated citizenship) di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tanpa dibedakan berdasarkan agama atau etnis. Meski kewarganegaraan yang setara perlu menjadi prinsip, namun perlu disadari bahwa ada kelompok-kelompok yang perlu afirmasi politik tertentu dan menuntut negara untuk hadir.
Ketiga, menggunakan pendekatan teologis dengan menekankan bahwa sikap toleran terhadap minoritas bukanlan sesuatu yang asing dari agama. Bahwa bersikap baik kepada mereka yang lemah, kelompok minoritas, subordinate, atau mustadh’afin adalah panggilan suci agama dan perintah Allah. Keempat, pemerintah perlu memberikan peace education (pendidikan perdamaian) kepada putra-putri bangsa dan memberlakukan kebijakan yang non-diskriminatif.
Siaran Pers Orasi Profesor Riset LIPI Dr. Ahmad Najib Burhani, MA, MSc, 27 Agustus 2020