Nonton Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC 2) membuat saya asyik pada kepribadian Cinta. Saking asyiknya, saya sampai tak bisa bedakan antara Cinta dan Dian Sastrowardoyo (Dian Sastro) yang memerankannya. Hingga, sepulang nonton AADC 2, saya aktif menonton video-video Dian Sastro di YouTube.
Namun, ada yang mengganggu saya ketika melihat video-video wawancara Dian Sastro, yakni penggunaan bahasanya yang dicampur-campur dengan bahasa Inggris. Sastrawan Remy Silado menyebutnya dengan fenomena “keminggris”.
Ia telah lama menjangkit masyarakat kita, khususnya anak muda. Bahkan, jika Anda perhatikan, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga terjangkit. “Sensitivitas sektor pertanian terhadap program pengentasan kemiskinan seperti halnya target MDGs dan Post-MDGs 2015 untuk melakukan eradicated extreme poverty and hunger, sangatlah besar,” kata SBY dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-50 IPB pada 20 Desember 2013.
Selebihnya, Anda perhatikan sendiri, banyak momen keduanya yang terekam kamera dengan gaya bahasa seperti itu. YouTube aja! Atau, saksikan saja acara-acara talk show atau lainnya di televisi, ia disesaki keminggris.
Parahnya, mereka keminggris bukan sekadar pada istilah-istilah yang mungkin memang lebih tepat dan populer dengan bahasa Inggris. Ada apa ini? Padahal, mereka adalah orang Indonesia, berbicara di Indonesia, dan pendengarnya juga orang Indonesia.
Puncaknya, media saat ini pun kerap melakukan praktik itu. Misalnya, kita dapati nama-nama rubrik media yang cenderung berbahasa Inggris: life & health, entertainment, finance, sport, dan lainnya. Padahal, di era kolonialis Belanda, pada dekade pertama tahun 1900 saja, justru muncul beberapa majalah berbahasa Jawa: Tri Koro Dharmo dan Darmo Kondo.
Apalagi, dalam ikrar Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia telah dinobatkan sebagai salah satu aspek pemersatu kita sebagai bangsa dengan segala keragaman suku, adat, dan bahasa daerah.
Kegandrungan pada bahasa Inggris semacam itu memang bukan hanya ada dalam bahasa Indonesia, tapi juga pernah melanda bahasa Arab dan bahasa Jepang yang telah memiliki peradaban sastra yang tinggi dan kuno. Namun, yang menarik dari bahasa Arab dan Jepang adalah adanya “keberanian” untuk menyerap kata-kata bahasa Inggris dengan dialek yang sesuai dengan sifat alami lidah anak negerinya masing-masing. Karenanya, kita dapatkan misalnya dalam bahasa Arab: kafitirya, buftik, aiskrim, sandawits, baib, bisklit, kik, mutusikl, sukar, bansiun, yang semua itu berasal dari bahasa Inggris: cafetaria, beef steak, ice cream, sabdwich, pipe, bicycle, cake, motor cycle, sugar, pension.
Atau dalam bahasa Jepang: manejasan, furutsu jusu, sandoitchi, aisukurimu, chizu, keki, bisuketto, hotto doggu, konsatu haru, shopingu senta, yang semua itu berasal dari bahasa Inggris: manager, fruit juice, sandwich, ice cream, cheese, cake, biscuit, hot dog, concert hall, shopping centre.
Dulu, kita punya “keberanian” seperti itu dengan melakukan pribumisasi bahasa Inggris yang telah membumi di Indonesia sejak zaman penjajahan Inggris pada tahun-tahun belasan abad ke-19. Misalnya, kata-kata dalam bahasa Indonesia: terup, dokar, cikar, peri, musti, peluit, siul, sama, hore, justru, yang semuanya berasal dari kosakata bahasa Inggris: troop, dog car, cheek car, fairy, must, flute, whistle, same, hurrah, just true.
Tapi, sekarang keberanian itu seolah sirna. Sehingga bahasa Inggris tak lagi diserap, tapi digunakan begitu saja. Berbeda, misalnya, dengan Malaysia yang sampai saat ini masih cenderung memilih menyerap bahasa Inggris dan melafalkannya sesuai lidah Melayu.
Namun, yang menjadi ironi karena tren keminggris disebabkan justru oleh ragam latar belakang rendahan: merasa tampak elite, keren, hingga pemanis saja. Karena itu, fenomena itu adalah simbol keminderan, mentalitas inferior. Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bahkan menolak namanya ditulis dengan ejaan “eo”, melainkan “u”: “Sukarno”, bukan “Soekarno”. Sebab, ejaan “eo” adalah warisan kolonialis, dan Bung Karno ingin kolonialisme tercerabut dari akar-akarnya di Bumi Pertiwi. Inilah paradigma kemandirian, kepercayaan diri, keberanian.
Achmad Husein, Bupati Banyumas, Jawa Tengah, pernah menyindir masyarakat kita yang merasa rendah diri saat menggunakan dialek kita sendiri, baik daerah seperti dialek Banyumas maupun nasional, yakni dialek Indonesia.
Oleh karena itu, melalui Keputusan Bupati Banyumas Nomor 1867/2013 tentang Pembinaan Bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas, ia waktu itu mewajibkan bagi pegawai negerinya untuk menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumas setiap hari Kamis. Setidaknya itu bisa menjadi titik awal untuk membangun apa yang dimaksud dengan “keberanian” itu, berupa kepercayaan diri dan kebanggaan pada bahasa Indonesia dengan segala ciri khasnya. Mbak Dian setuju?
Kolom Terkait: