Sabtu, April 27, 2024

Setelah Partai-Partai Merapat ke Jokowi

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang

dom-1453734901Menko Luhut Pandjaitan, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tjahjo Kumolo, menerima plakat deklarasi dari Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Balai Sidang Jakarta, Senin (25/1). Golkar resmi mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma.

Banyaknya partai politik yang bergabung ke pemerintahan Joko Widodo memang menarik perhatian. Lebih-lebih alasan yang dikedepankan adalah untuk membantu pemerintah melaksanakan program kerakyatan, yang terdengar agak klise. Umumnya publik mafhum, tujuan bergabungnya partai politik ini sangat jelas, yaitu untuk mendapatkan kekuasaan yang ditawarkan Presiden Joko Widodo.

Jika kecenderungan ini dicermati seksama, yang sebenarnya mengemuka adalah keinginan berkuasa partai politik untuk tujuan jangka pendek dan jangka menengah. Untuk tujuan jangka pendek, misalnya, partai harus dapat mempertahankan popularitasnya di mata masyarakat. Sebab, jika ada kader partai politik mendapat posisi, katakanlah menteri, di pemerintahan Joko Widodo tentu akan membantu partai tersebut tetap populer. Apalagi kalau program yang dibuat di kementerian yang dikuasainya mendapat respons positif masyarakat.

Sementara itu, untuk jangka menengah, partai politik memang sedang berlomba mengumpulkan uang yang cukup untuk menghadapi pemilihan umum mendatang.

Publik juga mengerti bahwa partai politik, mulai dari pusat hingga ke daerah, mengalami kesulitan keuangan untuk melaksanakan fungsinya. Hal ini tentu berisiko bagi partai untuk mendapatkan dukungan pada pemilu yang akan datang. Sulit dibantah partai politik memang perlu menyiapkan sedini mungkin untuk bersaing dengan partai lain menghadapi Pemilu 2019.

Pemilu 2019 terbilang strategis bagi partai politik karena pelaksanaannya akan menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Artinya, partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu memiliki peluang untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
Walau saat ini rancangan UU Pemilu gabungan ini masih dibahas, perdebatan yang akan terjadi akan berkisar pada formula apa yang sesuai bagi partai politik dalam mengusulkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Ini sebenarnya yang diharapkan oleh setiap elite partai politik: bagaimana partai mereka ikut serta dalam mengusulkan kandidat presiden ke depan. Jadi, tidak ada cara lain kecuali memanfaatkan peluang dalam pemerintahan agar tetap populer di mata publik.

Kini, nyaris tak ada lagi kekuatan pengawas dan penyeimbang di Dewan Perwakilan Rakyat sejak partai Koalisi Merah Putih membubarkan diri. Godaan terhadap kekuasaan di pemerintahan menyebabkan partai pendukung Koalisi Merah Putih meninggalkan idealismenya. Memang masih tersisa dua kekuatan politik lain dalam koalisi tersebut, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sayangnya, peran koalisi penyeimbang kedua partai ini terlihat jauh dari kesan efektif.

Partai Gerindra, misalnya, akan kesulitan menggalang dukungan di DPR, terutama dalam mengawasi dan menyeimbangkan peran pemerintah. Apalagi partai pendukung yang menjadi mitra koalisinya selama ini sudah merapat ke pemerintah. Jelas kenyataan ini akan menurunkan motivasi Gerindra mengkritisi kinerja pemerintah. Lihat saja, pada kasus revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, nyaris semua partai politik di DPR menyetujui revisi ini kecuali Partai Gerindra.

Begitu juga dengan PKS yang akan kesulitan melaksanakan fungsi pengawasannya di DPR. Belum lagi masalah internal PKS yang memunculkan persaingan internal, terutama sejak mencuatnya masalah rivalitas kader ke publik. Apa yang menimpa Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah adalah gambaran sedang terjadi masalah serius di internal PKS. Ini tentu akan mengurangi daya kritis serta konsentrasi PKS mengawasi jalannya pemerintahan.

Memang ada Partai Demokrat di DPR yang juga menjadi kekuatan penyeimbang. Akan tetapi, pilihannya menjadi kekuatan penyeimbang dan berjalan sendiri juga tidak terlihat efektif. Dari awal periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Partai Demokrat sudah menegaskan posisinya sebagai partai penyeimbang. Namun, melihat fungsinya selama hampir dua tahun di DPR justru tidak terlihat. Bahkan ada kesan publik mulai melupakan kehadiran partai ini sebagai partai politik yang pernah berkuasa pada periode sebelumnya.

Aktivitas kader Partai Demokrat di DPR juga hampir tidak tampak karena tenggelam dari sikap kritis kader-kader partai politik lain yang terhimpun dalam Koalisi Merah Putih. Belum lagi beban psikologis kekuasaan yang dialami Partai Demokrat selama ini pun menjadi kendala dalam mengkritisi jalannya pemerintahan. Sebab, bagaimanapun, bagi publik apa yang dikerjakan Presiden Joko Widodo saat ini adalah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya.

Banyak polemik yang dibuat oleh menteri-menteri di bawah kendali Presiden Jokowi yang cenderung “memojokkan” kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akibatnya, muncul persepsi di publik bahwa penyelenggaraan pemerintahan di bawah Presiden Yudhoyono tak lebih baik dari pemerintahan Joko Widodo sekarang.

Dengan banyaknya penilaian dan kritik terhadap kebijakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Yudhoyono sebelumnya mempengaruhi cara Partai Demokrat melakukan pengawasan dan penyeimbangan di DPR.

Juga sikap Yudhoyono yang terkesan hati-hati ketika ingin mengkritisi kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Akibatnya ini menjadi beban bagi kader-kader Partai Demokrati di DPR dalam menyikapi setiap kebijakan yang dibuat Presiden Joko Widodo.

Sistem politik yang sehat sebenarnya membutuhkan keseimbangan peran dari setiap lembaga negara. Jika semua kekuatan politik yang ada di DPR menjadi pendukung pemerintah, jelas ini berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi. Yang dikhawatirkan akan muncul justru kekuatan diktator mayoritas dalam sistem politik.

Hal yang tidak dapat dihindarkan adalah jika mayoritas partai politik sebagai kekuatan penyeimbang masuk ke dalam pemerintahan, maka keberanian kader partai politik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tempat mereka berhimpun nyaris akan hilang.

Padahal, demokrasi yang ingin dibangun melalui sistem multipartai saat ini adalah adanya keseimbangan peran dan fungsi kekuatan politik dalam bernegara. Sayangnya, cara pikir pragmatis elite politik menyelamatkan partai masing-masing untuk menghadapi pemilu mendatang lebih dominan ketimbang membantu menyalurkan aspirasi masyarakat saat berhadapan dengan pemerintah.

Begitu juga dengan pemerintah berkuasa yang hanya berpikir bagaimana kelancaran dan kenyamanan pelaksanaan programnya sendiri tanpa mau dikritik oleh partai politik di DPR.

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.