Jumat, Oktober 11, 2024

DPR dan Korupsi Berselubung Pengawasan

Reza Syawawi
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

dom-1454581819Mantan Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan pers seusai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/2). ANTARA FOTO/Deni Hariyanto.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga yang secara konstitusional menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran (APBN), dan kebijakan pemerintah. Ketentuan ini memungkinkan DPR untuk mengawasi seluruh sektor dan lembaga/institusi.

Namun, fungsi pengawasan ini harus ditempatkan dalam ranah yang benar sesuai konstitusi dan undang-undang. Fungsi pengawasan tidak serta merta diterapkan secara serampangan tanpa kontrol atau bahkan tanpa prosedur.

Ada instrumen dan prosedur yang ditujukan untuk mengatur bagaimana DPR menggunakan fungsi pengawasannya tersebut. Ini penting untuk dibahas agar DPR dan publik juga memahami bagaimana prosedur pengawasan yang baik dan benar sesuai undang-undang.

Serangan Balik
Solidaritas dan soliditas DPR dengan mengatasnamakan pengawasan dalam kasus pelanggaran etik dan dugaan pemufakatan jahat yang dilakukan oleh bekas Ketua DPR Setya Novanto bisa dilihat sebagai “serangan balik” kepada institusi penegak hukum, khususnya kejaksaan. Proses penegakan etik yang “kandas” memberhentikan Setya Novanto juga bisa dibaca sebagai sinyal bahwa DPR memang telah berencana untuk “mengontrol” proses hukum Setya Novanto yang sedang berproses di Kejaksaan.

Sikap ini bisa dibaca sebagai “balas dendam”, hal yang hampir sama pernah dilakukan DPR ketika menolak kehadiran pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah) di DPR dengan alasan keduanya masih berstatus tersangka (31/1/2011). Sikap ini dilakukan tak berselang lama setelah KPK melakukan penahanan kepada 19 politisi yang diduga menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom.

Fungsi pengawasan semacam ini bukan tidak mungkin akan disalahgunakan untuk “mengacak-acak” sistem di lembaga penegak hukum lain, termasuk di lembaga negara/pemerintah lainnya ketika berhadapan dengan anggota/pimpinan DPR.
Seyogianya DPR menggunakan instrumen pengawasan dalam ranah yang benar dan tidak terkesan melangkahi proses hukum. Ada tahapan-tahapan dalam pengawasan yang juga sangat jelas diatur di dalam undang-undang.

DPR memang berhak memanggil siapa pun untuk dimintai keterangan dan bahkan menggunakan upaya paksa untuk menghadirkan yang bersangkutan di DPR. Namun, upaya ini tidak diartikan sebagai kebebasan DPR untuk berlaku sewenang-sewang, khususnya jika menyangkut proses penegakan hukum.

Ada proses lain yang bisa ditempuh DPR untuk memperjelas konteks pengawasan, yaitu melalui penggunaan hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat. Hal ini mesti dilakukan jika objek yang diawasi DPR memang memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Dengan demikian, pernyataan dan pertanyaan yang cenderung mengarah pada upaya mempengaruhi proses hukum bisa dihindari.

Tindak Pidana
Fungsi pengawasan juga mesti dibatasi agar tidak mengarah pada tindak pidana. Dalam konteks tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur soal tindak pidana yang berkaitan dengan merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21).

“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Ada 3 (tiga) perbuatan yang dapat dikenai pidana menurut pasal ini, yaitu mencegah, merintangi atau menggagalkan. Terpenuhinya salah satu unsur tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, baik yang dilakukan secara langsung oleh yang bersangkutan atau dalam bentuk penyertaan (Pasal 55 dan 56 KUHP) atau tidak langsung/melalui perantara (R. Wiyono, 2012).

Oleh karena itu, penting bagi DPR baik secara institusi maupun individu anggota untuk memahami penggunaan fungsi pengawasan dalam ranah hukum. Ada batasan-batasan yang harus dijaga dan dipatuhi agar tidak terkesan sebagai bentuk “serangan balik” kepada institusi penegak hukum. Dan bahkan dalam derajat tertentu tindakan tersebut dapat dijerat sebagai bentuk tindak pidana merintangi proses pemeriksaan (obstruction of justice).

Reza Syawawi
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.