Sabtu, April 20, 2024

Mengukur Kerukunan Umat Beragama

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

dom-1455082801Sejumlah pemuka agama berdoa saat diskusi lintas agama di Gereja Kristen Indonesia, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (9/2) malam. Diskusi bertujuan memperkuat silaturahmi dan membangun toleransi dan keberagaman. ANTARA FOTO/Umarul Faruq.

Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ini salah satu peribahasa populer yang berarti “hanya karena kesalahan kecil yang tidak ada artinya, seluruh yang baik menjadi rusak.” Nila (keburukan/kejahatan) tidak boleh ditoleransi, karena sekali ditoleransi akibatnya bisa merusak semuanya.

Sama seperti ungkapan ini: satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Kita tidak boleh membiarkan dan menyepelekan kehadiran musuh, walaupun seorang.

Dari sinilah seyogianya kita berpijak bagaimana caranya mengukur kerukunan umat beragama (KUB). Bukan pada skala yang sedikit atau banyak, rendah atau tinggi. Tapi pada bagaimana menciptakan zero tolerance terhadap intoleransi agama.

Maka, pada saat Kementerian Agama pekan lalu merilis hasil survei nasional tahun 2015 mengenai KUB yang hasilnya 75,36 poin dari rentang nol hingga 100 poin, maka kita tidak bisa menganggap ini pertanda baik (karena poinnya cukup tinggi). KUB baru bisa dikatakan baik pada saat mencapai poin mendekati sempurna.

Mengapa demikian? Sebab, hadirnya satu orang intoleran sudah cukup untuk merusak tatanan KUB. Seorang intoleran bisa melakukan bom bunuh diri di tengah kerumunan, atau bisa melakukan propaganda permusuhan dari forum ke forum, dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah yang lain.

Lantas bagaimana caranya menumbuhkan zero tolerance terhadap intoleransi agama? Yang paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran pluralisme. Sayangnya, banyak kalangan, terutama para tokoh dan ahli agama, yang menyamakan pluralisme dengan sinkretisme, atau menyamaratakan semua agama.

Karena menyamakan pluralisme dengan sinkretisme, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme. Tragisnya, kesalahan pemahaman MUI tidak hanya pada pluralisme tapi juga pada liberalisme dan sekularisme.

Menurut Diana L. Eck (2003), pluralisme berbeda dengan sinkretisme. Sinkretisme menyamakan dan mencampuradukkan kebenaran agama. Sedangkan pluralisme mengandaikan saling menghormati di atas basis saling menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing tradisi agama.

Kita menghormati dan menghargai kebenaran suatu agama, sama sekali berbeda dengan mengakui kebenaran agama tersebut, atau menyamakan agama tersebut dengan agama yang kita yakini. Atau kita menghormati dan menghargai seseorang yang meyakini kebenaran suatu agama, sama sekali berbeda dengan kita meyakini kebenaran agama yang diyakininya itu.

Setiap pemeluk agama, apa pun agamanya, sudah pasti meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Karena adanya keyakinan itulah, maka siapa pun akan marah atau setidaknya tersinggung, jika kebenaran agama yang diyakininya diusik, dicemooh atau dihina. Maka jika ingin membangun KUB, jangan sekali-kali mengusik, apalagi menghina, agama yang diyakini orang lain.

Maka, cara mengukur KUB yang valid adalah bukan dengan meminta pendapat/persepsi seseorang atau orang per orang tentang KUB, tapi dengan mendeteksi ada atau tidak adanya orang yang menganggap agama atau keyakinan orang lain tidak boleh ada atau layak dihina dengan menyebutnya kafir atau tersesat. Pada saat anggapan seperti ini masih ada, maka pada saat itulah KUB belum ada.

Penolakan atau pelarangan terhadap pendirian rumah ibadah, misalnya, pada dasarnya bersumber dari anggapan bahwa agama, selain yang kita yakini, tidak boleh ada. Oleh karena itu, upaya membangun sarana dan tempat atau rumah ibadah bagi mereka pun harus dicegah.

Dan, faktanya, sepanjang tahun 2015 masih banyak kita temukan konflik di beberapa daerah yang dipicu oleh kisruh tentang pendirian rumah ibadah. Bahkan di Jakarta dan sekitarnya (Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), yang penduduknya beragam dan kita anggap sangat terbuka pada perbedaan, ternyata masih juga kita temukan penolakan atau pelarangan terhadap pembangunan rumah ibadah.

Pelarangan atas pendirian rumah ibadah merupakan ironi bagi umat beragama. Jika semua umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluknya mengajarkan kebaikan dan perbaikan, semestinya tak akan ada penolakan atau pelarangan atas pendirian rumah ibadah. Semakin banyak rumah ibadah di suatu tempat, akan semakin baik suasana kehidupan masyarakatnya.

Jadi, jika rumah ibadah diyakini sebagai sarana untuk memperbaiki perilaku dan karakter umat beragama, mengapa pendiriannya harus ditolak dan dilarang?

Konstitusi kita, khususnya Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dengan jelas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keyakinannya itu. Semua aturan main yang berlaku di negeri ini, dari ketetapan MPR, Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah, tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Maka, selain mengembangkan terus kesadaran pluralisme, untuk menumbuhkan zero tolerance terhadap intoleransi agama, harus ada peninjauan kembali (koreksi) terhadap semua aturan main yang mengatur tentang kehidupan beragama. Ketentuan yang melarang pendirian rumah ibadah, misalnya, harus dicabut atau dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945.

Selama masih ada aturan main tentang kehidupan beragama yang bertentangan dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, maka selama itulah KUB masih bermasalah di negeri ini.

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.