Sejak “Indonesia” disepakati dan diakui sebagai suatu entitas dalam pergaulan global, doktrin keutuhan wilayah menjadi agenda utama. Karenanya, perbatasan (Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan) tak luput dari proyek “menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa”, meski pada akhirnya dibiarkan mangkrang bertahun-tahun. Sebuah penafsiran tradisional atas ancaman kepentingan nasional. Tak heran, Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dianggap sebagai tulang punggung penjaga kepentingan nasional selalu dilibatkan.
Ya, wajar saja! Bangsa ini punya pengalaman buruk panjang terhadap kolonialisme klasik. Lagi pula, negara – meminjam terma Adrian B. Lapian – adalah “lautan yang ditaburi pulau-pulau”, bukan negara kepulauan yang dipisahkan lautan, ini sangatlah luas. Wilayah perairannya saja seluas 5.800.000 km², dengan luas laut teritorial 3.100.000 km², luas ZEE 2.700.000 km², dan panjang garis pantai mencapai 81.000 km (Peraturan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 3 Tahun 2015). Belum lagi segala bonus kekayaannya yang diincar para “predator” domestik dan mancanegara.
Di atas kertas (baca: Perka BNPP No 2/2015), pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sudah “direvisi”, tidak lagi sekonservatif pendekatan keamanan ala inward looking. Tetapi sudah disandingkan dengan pendekatan kesejahteraan, plus kelestarian lingkungan dalam outward looking. Up date, kan? Artinya, alokasi sumberdaya untuk pengembangan ketiga aspek pendekatan ini semestinya proporsional.
Tapi kenapa membeli senjata penangkis serangan udara Oerlikon Skyshield untuk Detasemen Hanud 473 Paskhas Pontianak (kabarperbatasan.com, 10/11/2015) bisa lebih cepat? Bandingkan dengan alat pemadam kebakaran hutan dan lahan yang menurut Kabid Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo selama ini di lokasi kebakaran tidak pernah cukup, ditambah lagi sumber air dan medan yang sulit (news.liputan6.com, 3/11/2015). Bandingkan juga dengan pembangunan puskesmas perbatasan yang baru sebatas rencana jor-joran, “Proyek 5 Ribu Puskemas”, itu pun setelah “Agenda Ke-3 Nawa Cita” Jokowi-Jusuf Kalla membahana.
Lalu, kenapa kalau pendekatan keamanan ala militer selalu lebih “berhasil”? Bukankah selama pengujung akhir tahun 2015 para “wakil” masyarakat perbatasan sibuk mengurusi “Papa Minta Saham” yang berujung kekisruhan sistemik? Lingkaran Survei Indonesia bahkan mendaulat kasus ini sebagai topik terpanas sepanjang tahun 2015, mempecundangi 4 topik panas lainnya seperti pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, gejolak rupiah, bencana asap, dan hukum mati terpidana narkoba. Bukankah Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada akhirnya lebih sibuk menyiapkan draf Perppu tentang hukuman kebiri untuk pelaku paedofilia? Opsss!!!
Lagi pula, bukankah pembelian senjata berkelas itu memang layak? Bukankah alutsista TNI AU sangat terbatas bahkan sudah banyak karatan? Anggap saja ini hanyalah solusi kecil atas segunung masalah yang dihadapi TNI dalam menjaga wilayah perbatasan. Andai ini sejenis “hiburan”, tetap saja tak mampu menutupi kenyataan pahit lainnya. Yakni tentang nasib para personil TNI penjaga perbatasan (darat). Mari hitung-hitungan!
Di sepanjang kawasan perbatasan Indonesia di Kalimantan Utara, sedikitnya terdapat 17 Kecamatan yang menjadi Lokasi Prioritas 2015-2019 dalam rencana bombastis BNPP, Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2011–2025. 17 lokasi prioritas yang bersinggungan langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia Timur, 5 di antaranya terletak di Kabutan Malinau dan 12 di Kabupaten Nunukan. Satu di antaranya memiliki batas laut (Sebatik Timur) dan 1 berbatas laut sekaligus darat, Tulin Onsoi. Soal luas wilayah setiap kecamatan itu, siapa meragukan?
Secara keseluruhan, berdasarkan Peraturan BNPP No. 1/2015, batas wilayah darat RI- Malaysia sepanjang 2.004 km, membentang dari Tanjung Datu di sebelah barat hingga ke pantai timur pulau Sebatik di sebelah Timur. Garis batas ini melintasi 8 kabupaten di 3 provinsi, yaitu Kabupaten Sanggau, Sambas, Sintang, Kapuas Hulu, dan Bengkayang (Kalimantan Barat), Kabupaten Kutai Barat (Kalimantan Timur) dan Kabupaten Malinau dan Nunukan (Kalimantan Utara). Di Kalimantan Utara, garis batas dengan Sabah dan Sarawak sepanjang 990 km.
Garis batas sepanjang 990 km itu hanya dipasangi patok (lebar 10 cm, tinggi permukaan 16 cm, dan kedalaman 76 cm) ala adarnya di titik-titik koordinat. Pun tak jarang dipindahkan bahkan dirusaki “oknum”. Garis batas dengan ratusan patok dan 17 kecamatan beserta segala sumber kekayaannya (termasuk masyarakat) inilah yang harus dijaga oleh para personil satuan tugas pengamanan perbatasan (Satgas Pamtas). Tentu dengan segala kekurangan (pengurangan) yang sejatinya tidak perlu.
Siapa yang tidak tahu kenyataan lirih para personil Satgas Pamtas? Mulai dari jumlah personil yang superramping (11-15 personil tiap pos), masa jaga selama 9 bulan bahkan tak jarang lebih, stok makanan sesuai standar gizi prajurit yang tidak dijamin bahkan harus berburu di hutan demi sekeping daging, kelangkaan sinyal hp, dan bangunan pos jaga yang mini berbahan kayu. Juga inimnya perlengkapan P3K (alih-alih fasilitas kesehatan), patroli 3 bulanan hanya mengandalkan jalur sungai, akses jalanan darat yang kejam hingga kurangnya Pos Pamtas yang, menurut KSAD Jenderal TNI Mulyono, idealnya berjumlah 50 pos (bulungan.prokal.co, 14/1/2016), dan bejubel masalah ‘teknis’ lainnya.
Ya, itulah rentetan masalah-masalah klasik yang tak jarang “diselesaikan” dengan kalimat-kalimat motivasi ala Mario Teguh. Masalah-masalah “sepele” yang tak jarang merenggut nyawa prajurit.
Nyaris tak terhitung jumlah mereka yang pernah ditugaskan di wilayah perbatasan. Belum lagi yang gugur, baik karena perang, termasuk yang “ditugaskan” saat proyek Ganyang Malaysia Tahun 1963-‘65 menggema di seantero negeri , maupun sebab-sebab “teknis” di luar perang. Seperti dialami 5 anggota TNI (dan 8 warga sipil) yang tewas dalam kecelekaan Helikopter MI-17 TNI AD di Malinau pada 9 November 2013, saat mengangkut material pembangunan pos pengamanan perbatasan di sekitar Desa Apoping (jakartagreater.com, 9/11/2013). Atau seperti dialami seorang prajurit dari Satgas Pamtas 521/Dadaha Yudha di Kecamatan Seimanggaris, Nunukan, 23 September 2015.
Dia Kopda Frenky, meninggal dunia setelah menggalami kecelakaan tunggal di Desa Sekaduyun Taka karena jalanan yang sangat tidak memadai. Terjadi saat Frenky menuju pusat desa untuk membeli keperluan harian, motornya tergelincir di salah satu turunan jalan utama akibat jalanan licin usai hujan (kaltara.prokal.co, 25 September 2015).
Belum lagi masalah-masalah “sesungguhnya” yang karenanya mereka ditugaskan. Sebut saja di antaranya sengketa 9 status segmen batas darat dengan Malaysia yang belum disepakati (outstanding boundary problem), maraknya pelintas batas ilegal, illegal fishing, illegal logging, penyelundupan narkoba dan senjata, dan perdagangan manusia.
Tentang nasionalisme, siapa yang meragukan TNI? Sayangnya, nasionalisme berada di ruang mental yang tak bisa diakses untuk memenuhi kebutuhan materi. Pun tak cukup menjadi sebentuk bargaining position untuk menjamin kehidupan layak di perbatasan. Karenanya, bagi Satgas Pamtas, tak mudah membedakan antara penugasan dengan pengasingan. Bisa dibayangkan, bagaimana lebih terasingnya para personil Satgas Pamtas di 92 pulau-pulau kecil terluar.
Sayangnya, isu perbatasan selalu tidak seksi bagi jamaah warung kopi, Facebook, Twitter, media sosial lain, dan majelis-majelis suci. Pak Presiden Jokowi peduli? Tapi sudahlah! Bukankah kepedulian instansi pertahanan terhadap kebugaran fisik (calon) prajurit saat diseleksi masuk tidak berlaku saat prajurit sudah “diasingkan” di perbatasaan?
Boro-boro bicara kesejahteraan prajurit dan keluarga atau kelengkapan fasilitas. Bukankah berita “perkelahian” antar-aparat atau aparat vs mahasiswa lebih nendang ketimbang kisah heroik aparat atau bakti sosiater di perbatasan? Bukankah kegigihan publik mem-viral-kan kasus teror bom Sarinah tidak berlaku untuk gangguan-gangguan besar di perbatasan?
Bukankah para “wakil” Tuhan lebih merasa berkewajiban “mendakwahkan” isu-isu sektarian ketimbang berlapang dada dalam keberagaman, alih-alih menjaga keutuhan NKRI? Bukankah yang disebut “masalah nasional” hanyalah apa yang terjadi di Jakarta?
Gugurnya prajurit di perbatasan mungkin akan berbeda ceritanya jika saja itu terjadi di dekat Istana Presiden. Juga akan beda ceritanya jika penyebab kejadian itu bukan kecelakaan motor atau kecelakaan pesawat “biasa”, tapi akibat ulah kelompok ekstrimis penganut mazhab tertentu. Bisa dipastikan, kedua perstiwa itu tidak akan sebisu saat ini.
Tampaknya, kegelisahan dalam pesan Hilmar Farid di Pidato “Arus Balik Kebudayaan”-nya (jakarnicus 10 November 2014) lebih dari sekedar nendang untuk diinternalisasi. Bahwa kita tidak perlu rencana besar tapi tindakan. Pemikiran dan rencana sudah berlimpah. Di sinilah pentingnya kemampuan belajar dengan sabar dan mendengarkan beragam ritme kehidupan dalam masyarakat dan keluar dari belenggu fanatisme ritme.
Kita hidup di dunia yang ramai dan bising sehingga kadang sulit menentukan apa yang (tidak) perlu kita dengar. Kita perlu keluar dari jebakan algoritma mesin pemilah timbunan informasi yang menghadirkannya sebagai kenyataan dalam bentuk trending topic. Kita perlu memilah suara yang semula tampil sebagai kekacauan dan mengolahnya sebagai kesatuan.
Good job Satgas Pamtas RI-Malaysia di Pos Long Nawang, Yonif 527/Baladibya Yudha, dan para penjaga lainnya. Selalu setia mendakwahkan teladan terbaik dalam bernasionalisme bahkan dalam masa “pengasingan”.
Selamat menanti masa “pembebasan” pada April 2016. Dan semoga penganggaran dana Rp 16 triliun setiap tahunnya oleh BNPP untuk “membangun kawasan pinggiran negeri” bukan mitos. Bukan begitu, Pak Presiden Jokowi?