Kami merasa tak memiliki pemerintah. Kami dilarang beribadah. Warga membunuh saudara kami. Pemerintah setengah hati melindungi, membiarkan kami mengungsi (Nayati, Jemaah Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang, 2015)
Lima tahun lalu, 6 Februari 2011, tiga anggota Ahmadiyah tewas mengenaskan di ujung Selatan Banten, Cikeusik-Pandeglang. Ratusan bahkan ribuan warga mengejar, menelanjangi, menyeret, menusuk, dan memukuli belasan jemaah Ahmadiyah karena dianggap “sesat”. Tak ada bunyi senapan, meskipun ada aparat keamanan.
Peristiwa Cikeusik merupakan satu contoh perilaku umat beragama mengadili keyakinan seseorang atau kelompok dengan cara main hakim sendiri. Literatur ilmu sosial menamai perilaku tersebut sebagai vigilantisme keagamaan. Fenomena vigilantisme bukan hanya menyasar masalah sektarian, umumnya juga berkenaan dengan isu moralitas dan kelompok agama lain.
Tak jarang kelompok keagamaan atau warga melakukan sweeping serta merusak tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat. Selain itu, mereka kerap membubarkan paksa diskusi-diskusi yang dirasa mengancam nilai keagamaan. Para vigilante juga bersemangat mengintimidasi dan melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain ihwal tempat ibadah.
Vigilantisme keagamaan bukan barang baru. Mereka sudah populer baik di era rezim otoritarian Orde Baru, rezim transisi menuju demokrasi awal (pemerintah BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati), maupun rezim demokrasi baru (pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono jilid I). Hasil penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina tentang “Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia” (2009) mendapati tak kurang dari 274 insiden kekerasan keagamaan terjadi pada 1990 hingga 2008.
Pola-pola konflik menemukan 10,6% pelaku kekerasan berasal dari kelompok agama. Warga sebagai pelaku kekerasan agama menempati urutan pertama, yakni sebesar 47,8%. Sisanya, melibatkan mahasiswa/pemuda (2,6%), kelompok masyarakat (2,2%), aparat keamanan (1,1%), kader politik (0,4%), dan orang atau kelompok tak dikenal (35,4%).
Para vigilante bisa hidup di setiap zaman karena tindakan penguasa senafas dengan mereka. Pemerintah pusat memilih mempertahankan atau membuat beleid yang cenderung memihak pelaku kekerasan ketimbang korban. Pun sama halnya dengan pemerintah daerah. Lihat saja, misalnya, respons pemerintah lokal terhadap kebengisan anti-Ahmadiyah di Cikeusik pada 2011. Beberapa kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota mengeluarkan kebijakan pelarangan Ahmadiyah.
Kepolisian sebagai garda terdepan penjaga keamanan dan ketertiban begitu cepat menindak terorisme, namun tak bergigi menghadapi vigilantisme. Aparat keamanan harus sadar bahwa para vigilante adalah sumber potensial bagi perekrutan terorisme. Laporan International Crisis Group (ICG) “From Vigilantism to Terrorism in Cirebon” (2012) sangat gamblang menunjukakn vigilantisme keagamaan bisa berfusi dengan jihadisme karena keduanya menghalalkan kekerasan.
Harapan warga Indonesia bisa hidup damai dan tanpa rasa takut ketika menjalankan keyakinan agamanya muncul ketika Joko Widodo terpilih sebagai presiden. Jokowi melalui Sembilan Agenda Prioritas, atau Nawa Cita, berjanji menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi setiap warga negara. Iman terhadap komitmen Jokowi tersebut semakin kuat ketika menilik diktum terakhir Nawa Cita: memperteguh kebhinekaan dan membuka ruang dialog antarwarga. Kebhinekaan dan dialog bagi Jokowi adalah resep ampuh mencegah konflik dan kekerasan.
Namun, belum genap dua tahun usia pemerintah Jokowi, Nawa Cita belum bisa diandalkan. Jokowi gagal mengelola konflik keagamaan yang terjadi di ujung Timur dan Barat Indonesia pada tahun lalu. Negara absen sehingga main hakim sendiri menjadi pilihan penyelesaian konflik keagamaan di Tolikara, Papua, dan Singkil, Aceh.
Baru-baru ini aparat keamanan membiarkan para vigilante membakar rumah eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat karena “beda keyakinan”. Pemerintah Jokowi lebih memilih sibuk memindahkan eks Gafatar ke tempat pengungsian, tak mau capek meladeni para perusuh. Eks Gafatar menjadi pengungsi seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Agenda Nawa Cita juga terancam gagal karena kegemaran pemerintah daerah berkolaborasi dengan kelompok vigilante. Bupati Bangka Tarmizi lebih patuh terhadap seruan umat intoleran ketimbang imbauan pemerintah pusat untuk tidak mengusir warga Ahmadiyah. Jumat (5/2) lalu anggota Ahmadiyah di Kelurahan Sri Menanti, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, dipaksa pergi oleh bupati dan beberapa warga.
Vigilantisme keagamaan bukan penyakit yang tak bisa diobati. Presiden Jokowi masih cukup punya waktu memperbaiki marwah Nawa Cita yang mulai pudar. Rezim demokrasi baru jilid tiga ini harus menerapkan prinsip zero tolerance (tidak tunduk) kepada pelaku kekerasan agama. Presiden harus berani menghukum pejabat pusat maupun daerah dan aparat keamanan yang permisif terhadap vigilante. Jika Presiden Jokowi enggan menangani vigilantisme, jangan terkejut apabila warga merasa tak memiliki pemerintah seperti Nayati.
Itu saja tidak cukup. Pemuka agama yang anti-kekerasan harus aktif melawan vigilantisme keagamaan. Caranya bisa dengan internal policing atau pemolisian internal, yakni mengendalikan perilaku para pengikutnya supaya menahan diri dan tidak melakukan kekerasan ketika menyelesaikan masalah sosial keagamaan.
Jika agamawan yang nir-kekerasan hanya diam, tak perlu sinis terhadap pandangan bahwa agama sumber kekerasan, agama gagal membawa damai.